Di era digital segala urusan memang semakin mudah. Termasuk urusan pinjaman uang. Sederet aplikasi dan jasa pinjaman online terus bermunculan. Hanya menyerahkan foto KTP, pinjaman duit tunai bisa langsung dicairkan dalam hitungan menit. Namun di balik kemudahan yang ditawarkan, ada jerat yang siap mencekik konsumen.
“Online kredit yang butuh dana cepat tanpa jaminan sertifikat, dengan bunga 2 persen per tahun. Maksimal pinjaman Rp 500 juta. Customer WhatsApp ke 0853982185* atas nama Erik”.
Begitulah bunyi salah satu pesan singkat yang masuk ke ponsel Sudipjo, 28, seorang karyawan di salah satu perusahaan di Batuampar, Batam. Tak hanya satu, dalam sehari ia menerima beberapa SMS senada dari nomor yang berbeda.
Awalnya, pria asal Purwokerto, Jawa Timur, itu mengabaikan SMS-SMS tersebut. Namun lama-lama ia mulai tergoda dengan tawaran itu.
Akhirnya, Desember 2018 lalu Sudipjo menelepon salah satu nomor pengirim SMS itu. Diangkat. Dengan ramah, si penerima telepon meminta Sudipjo menjawab pertanyaan seputar data pribadinya. Setelah semua dianggap lengkap, si penerima telepon memintanya mengirim fotokopi KTP Sudipjo.
“Itu saja syaratnya. Gampang,” kata Sudipjo saat ditemui di Jodoh, Batam, Jumat (9/8) lalu.
Saat itu, Sudipjo meminjam uang sebesar Rp 5 juta. Namun pihak jasa pinjaman online itu hanya mentransfer sebesar Rp 4,2 juta. Sudipjo tidak protes.
“Katanya untuk biaya administrasi dan apalah itu,” katanya.
Dengan pinjaman Rp 5 juta itu, Sudipjo memilih tenor selama enam bulan dengan cicilan sebesar Rp 980 ribu. Bunganya 3 persen dengan jatuh tempo pembayaran setiap tanggal 15 per bulannya.
Sudipjo membayar cicilan pertama pada Januari 2019. Pembayaran tepat waktu, sebelum jatuh tempo.
Namun di bulan kedua atau Februari, Sudipjo telat membayar cicilan.
Hingga pada 17 Februari, pihak jasa pinjaman online itu meneleponnya. Ia diminta segera membayar cicilan. Jika tidak, akan ada tim penagih yang akan mendatangi rumahnya.
Bukan tak mau membayar, Sudipjo mengaku saat itu ia sedang pulang kampung. Di kampung halamannya itu tidak ada mesin ATM. Sehingga ia kesulitan membayar tagihan utangnya.
Sayangnya, pihak admin tidak peduli dengan alasan Sudipjo itu. Mereka tetap meminta Sudipjo membayar tagihan, apapun kondisinya.
Tak hanya menelponnya setiap saat, pihak jasa pinjaman online itu juga menelepon keluarga dan rekan-rekan Sudipjo. Akibatnya, semua keluarganya tahu Sudipjo berutang.
“Seperti saya melarikan uang Rp 1 miliar saja. Kesal saya. Beberapa temanku dalam kontak ponsel dihubungi, memberitahukan terkait keterlambatan pembayaran utang,” katanya.
Lastiar, 32, rekan kerja Sudipjo menjadi salah satu yang dihubungi oleh pihak kreditur online. “Pulang kerja saya mendapat telepon gitu.
“Ini ibu Lastiar temannya Bapak Sudipjo? Kami boleh berbicara dengan Bapak Sudipjo? Kami mohon bantuannya untuk menyampaikan kepada Bapak Sudipjo untuk menyelesaikan kewajibannya membayarkan utang. Tagihan kedua sudah terlambat tiga hari. Mohon disampaikan’ kira-kira begitu,” ujar Lastiar.
Lastiar pun kaget. Dengan perasaan bertanya-tanya, ia pun menghubungi Sudipjo, menanyakan kebenaran tersebut. “Dipjo, kamu kenal nomor ini? Katanya kamu memiliki utang belum bayar ke mereka. Kok mereka menghubungi aku ya? Apa urusannya? Urusan pribadimu jangan turut bawa-bawa nama saya ya,” kenang Lastiar.
Ia mengaku sempat kesal dengan Sudipjo.
Atas bantuan abang pertamanya, Sudipjo pun menyelesaikan utangnya. Tanpa mencicil, ia pun mentransfer semua sisa utangnya.
“Saya langsung transfer Rp 4,9 juta. Uang yang dikasih ke saya cuma Rp 4,2 juta, tapi yang saya harus bayarkan kembali ke mereka Rp 6,680.000. Rentenir mereka itu. Lintah darat,” ungkapnya.
Sejak saat itu, Sudipjo berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak pernah mau lagi meminjam uang dari pinjaman online. “Cara-cara penagihannya ngalah-ngalahin rentenir kejam. Nggak manusiawi. Benar zaman lagi susah, tapi jangan mau diperbudak pinjaman online, aplikasi fintech atau apa pun namanya itu,” ujarnya kesal.
Apa yang dialami Sudipjo ini, banyak juga dialami warga lainnya. Hanya saja, mereka tak mau mengumbar, karena menganggap persoalan utang adalah masalah pribadi.
Kasus serupa juga dialami Yesi Lia, 25. Persoalan utangnya menjadi viral. Pasalnya, penagih pinjaman online menyebarkan foto-fotonya ke seluruh kontak ponselnya melalui aplikasi pesan instan WhatsApp. Seluruh temannya, bahkan bosnya di tempat kerja tahu.
Yesi yang bekerja sebagai marketing di salah satu showroom mobil asal Jepang itu mengaku sudah akrab dengan berbagai aplikasi pinjaman online atau financial technology (fintech) lending. Kemudahan syarat dan prosesnya menjadi alasan Yesi untuk memanfaatkan layanan jasa pinjaman online itu.
“Cuma kasih KTP saja langsung cair,” ungkapnya.
Saat kejadian itu viral, Yesi mengungkapkan utangnya hanya Rp 602 ribu. Ditransfer Rp 420 ribu.
“Tenor seminggu. Saya terlambat dua hari, karena memang gaji saya terlambat masuk. Saya malu banget. Pengalaman buruk. Ampun, saya kapok,” ungkapnya.
Pinjaman online atau yang lebih dikenal dengan istilah Fintech Lending mulai ramai di masyarakat 2016 lalu. Fintech menghadirikan gelombang disrupsi produk-produk jasa keuangan.
Di tengah kondisi kemampuan ekonomi masyarakat yang melemah akibat krisis dan hadir dengan penawaran pinjaman yang proses transaksinya sangat mudah dan sederhana, membuat Fintech berkembang pesat. Tak perlu direpotkan ke bank, mengisi formulir, pengajuan rekening, lalu menunggu disetujui atau tidak.
Calon konsumen cukup download aplikasi Fintech pilihan, hubungi nomor kontak, maka customer service akan membantu konsumen mencatat data pribadi. Konsumen cukup memotret KTP atau kartu pengenal lainnya, kirim ke mereka, maka duit akan cepat cair dan ditransfer ke rekening. Prosesnya sesederhana itu.
Namun, di balik proses sederhana itu, siapa sangka, ada jerat kejam saat proses penagihan dan bunga berlipatnya. Bahkan data digital pengguna pun turut ditelanjangi. Penawaran Fintech Lending ini kerap kali masuk melalui jaringan SMS. Sehari, bisa sampai tiga kali. Sangat mengganggu.
Dalam perkembangan dunia digital saat ini, pencurian data pelanggan sangat rentan terjadi. Celahnya bisa terjadi dari mana saja. Misalkan, ketika konsumen mengisi data di sosial media, mengisi data saat ada penawaran diskon, saat mengunduh aplikasi, mengisi nomor undian, atau bahkan saat mengisi data untuk perbankan atau pun untuk telekomunikasi. Data pribadi tersebut dicaptured menjadi database, dan rentan diperjualbelikan.
Ada lagi, pengelompokan data base menggunakan analisis diskriminan linear (LDA) untuk target pemasaran iklan tertentu dari beberapa operator yang dikirimkan kepada pelanggan melalui layanan SMS, atau iklan yang dibutuhkan dalam aplikasi. Sistem kerjanya menggunakan radius cluster, statitiska dan pola atau karakter pelanggan, seperti penentuan target SMS iklan dalam radius 2 km dari lokasi perusahaan yang bekerjasama dengan operator.
Misalnya, ketika si pelanggan sedang berkendara melewati mal di Baloi, Batam. Di sana, ada outlet penjual es krim yang telah bekerja sama paket SMS dengan operator. Pelanggan dengan pengeluaran rata-rata Rp 2 juta per bulan, hobi makan es krim, dan melewati cluster data base. Nah dalam sistem ini, secara otomatis akan mendapatkan SMS penawaran. Semua seluk beluk transaksi digital yang terdata dalam sejumlah data base, bisa dijadikan acuan.
Apakah SMS seperti pinjaman online, atau pinjaman mudah tanpa agunan yang kerap diterima oleh banyak pelanggan merupakan layanan iklan dari masing-masing operator seluler? Corporate Communication Telksomel, Agus, menyebutkan SMS tersebut bukan merupakan bagian dari layanan iklan operator seluler apabila SMS yang diterima menggunakan layanan long number atau nomor panjang.
“Kalau dia long number, berarti itu pengguna. Biasanya itu broadcast by system atau spam istilahnya. Dan itu bukan berasal dari operator kita. Kebetulan, nomor yang digunakan ya nomor dari operator kita,” ungkap Agus, Kamis (8/8) sore lalu.
“Masing-masing operator seluler intinya tak membatasi pelanggan mengirim SMS terhadap pelanggan lain. Kalau isi SMS-nya mengganggu misalkan seperti pinjaman online, bernada SARA, pornografi, atau yang lainnya, dilaporkan saja ke pihak yang berwajib,” tambahnya.
Kenali Risikonya
Fenomena pinjaman online sebagai produk financial technology (fintech) peer-to-peer lending (P2P) ini tengah mewabah di masyarakat. Tak sedikit yang menjadi korban. Menurut Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), perkembang Fintech di Indonesia telah lama menjadi perhatian mereka.
Kepala Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Kepri, Iwan M Ridwan, tidak menampik minimnya regulasi membuat Fintech ilegal bertumbuh pesat di kalangan masyarakat. Dikutip dari data Satgas Waspada Investasi (SWI), jumlah Fintech P2P tidak terdaftar atau tidak memiliki izin usaha dari OJK sesuai POJK Nomor 77/POJK.01/2016 yang berpotensi merugikan masyarakat pada Tahun 2018 sebanyak 404 entitas. Sedangkan pada 2019 meningkat menjadi 826 entitas.
“Secara total, ada 1.230 entitas sekarang,” ujar Iwan ketika ditemui di kantornya di Batam Center.
Berdasarkan hasil penelusuran terhadap lokasi server entitas tersebut, sebanyak 42 persen entitas tidak diketahui asalnya, diikuti dengan 22 persen dari Indonesia, 15 persen dari Amerika Serikat, dan sisanya dari berbagai negara lain. Namun, hal tersebut tidak menunjukkan identitas sesungguhnya dari pelaku di balik entitas tersebut.
Iwan menjelaskan, setiap fintech yang resmi memiliki aturan baku sesuai POJK Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. “Agar terdaftar dan berizin di OJK, wajib mengikuti aturan tersebut. Jika tidak, artinya ilegal,” terangnya.
Lebih rinci, ia menyebutkan ciri-ciri fintech ilegal itu. Yakni tidak memiliki izin resmi, tidak ada identitas dan alamat kantor yang jelas, pemberian pinjaman sangat mudah, informasi bunga dan denda tidak jelas, bunga tidak terbatas, denda tidak terbatas, penagihan tidak berbatas waktu, dan akses ke seluruh data yang ada di ponsel. Kemudian ada ancaman teror kekerasan, penghinaan, pencemaran nama baik, hingga menyebarkan foto atau video pribadi, dan tidak ada layanan pengaduan.
“Masyarakat dapat dengan mudah mengakses www.sikapiuangmu.ojk.go.id untuk mengetahui fintech yang terdaftar dan berizin, maupun informasi lainnya seputaran fintech. Yang pada intinya, lebih dulu kenali produk, kenali risikonya,” ungkap Iwan.
Kasubdit II Cyber Crime Ditreskrimsus Polda Kepri, Kompol Ike Krisnadian, ketika ditemui Sabtu (10/8) lalu mengungkapkan, pinjaman online memang tengah tumbuh di masyarakat, tapi sampai sejauh ini, Polda Kepri belum ada menangani kasus tersebut. ” Untuk laporan masalah pinjaman online, baik dari kreditur atau debitur, kasus FinTech ilegal belum ada laporan masuk sampai sejauh ini,” ujarnya.
“Kasus paling banyak kami tangani itu pencemaran nama baik, ujaran kebencian. Kalau kasus FinTech belum,” ucapnya.
Apabila ada kasus fintech ilegal, pinjaman online atau penipuan online, relatif sulit menangani kasusnya. Ike mengatakan kasus-kasus cyber crime memiliki pendekatan berbeda, dari kasus kriminal umum atau kejahatan konvensional.
Ia mengatakan, polisi harus menggunakan pendekatan teknologi untuk mengejar orang-orang yang melakukan tindakan kriminal di dunia maya. (gie/cha/nji/ska)