batampos.co.id – Dua tahun sudah rencana repatriasi ini tertunda. Tapi, pemerintah Bangladesh belum menyerah. Mereka ingin memulangkan penduduk Rohingya ke negara asalnya, Myanmar. Kesepakatan kali ketiga sudah tercapai. Mulai pekan depan, para pengungsi akan dikirim pulang. Tentunya tanpa paksaan.
”Kami telah setuju untuk merepatriasi 3.540 orang mulai 22 Agustus,” ujar Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Myanmar Myint Thu seperti dilansir Channel News Asia.
Mereka yang bisa pulang memang tak bisa sembarangan. Dari 22 ribu daftar pengungsi yang dikirim pemerintah Bangladesh, hanya 3.540 orang yang disetujui pulang oleh pemerintah Mayanmar. Latar belakang dan rekam jejak para pengungsi tersebut dicek lebih dulu.
Ini adalah kali ketiga pemerintah dua negara berusaha memulangkan penduduk Rohing-ya kembali ke Rakhine. Dua usaha sebelumnya gagal karena para pengungsi menolak.
Dulu mereka masih trauma dan takut untuk kembali pulang. Tak ada satu pun yang dengan sukarela mau dipulangkan. Padahal, di sisi lain pemerintah Bangladesh sudah kewalahan. Ada lebih dari 750 ribu pengungsi Rohingya di Bangladesh. Itu belum termasuk mereka yang datang sebelum kerusuhan 2016-2017.
![](https://batampos.co.id/core/uploads/2019/08/rohingnya.gif)
Anak-anak pengungsi Rohingya tengah bermain di pengungsian Cox’s Basar, Banglades, November lalu.
F. Mohammad Ponir Hossain/REUTERS
Belum diketahui apakah kali ini ada pengungsi yang mau kembali tanpa dipaksa. Yang jelas, Badan Pengungsi PBB (UNHCR) akan mengedukasi pengungsi terkait pemulangan tersebut. Mereka akan memastikan bahwa tidak ada paksaan kepada para pengungsi.
Pemerintah Bangladesh bersikukuh bahwa ini adalah repatriasi skala kecil. Tidak ada satu pun pengungsi yang dipaksa pulang jika mereka memang tak mau. Tapi, aktivis Arakan Rohingya Society for Peace and Human Rights Mohammed Eleyas meragukan hal tersebut. Sebab, para pe-ngungsi tidak diberi tahu sebelumnya tentang rencana terbaru pemulangan mereka.
UNHCR juga dipastikan bakal kesulitan memverifikasi para pengungsi. Sebab, waktu mereka terbatas, hanya sepekan. Bukan hanya itu, UNHCR juga akan kesulitan menjelaskan kepada para pengungsi apakah tempat tinggal mereka yang baru nanti aman. Sebab, selama ini pemerintah Myanmar tidak pernah memperbolehkan area pemulangan di Rakhine dikunjungi lembaga kemanusiaan dan orang asing.
”Jadi, mereka tidak bisa menjelaskan kepada para pengungsi sedikit pun tentang kondisi tempat relokasi mereka nanti,” tegas salah seorang aktivis kemanusiaan di Myanmar seperti dikutip The Guardian.
Situasi kian pelik karena bulan lalu Australian Strategic Policy Institute (ASPI) mengungkapkan tidak ada bukti persiapan besar untuk memastikan pengungsi pulang dalam kondisi aman dan bermartabat. Tidak ada kepastian ataupun jaminan 100 persen para pengungsi tersebut mendapat status kewarganegaraan saat pulang nanti. (sha/c25/dos)