Sabtu, 20 April 2024

Ternyata Ada Dokter Bertarif Rp 10 Ribu di Indonesia

Berita Terkait

LIMA hari dalam seminggu Dokter Mangku tidak bisa diganggu. Dia sudah punya jadwal tetap. Bertemu dengan ratusan pasiennya.

Setiap Rabu dan Sabtu dia praktik di Klinik Pratama Bhakti Sosial Kesehatan Santo Tarsisius yang terletak di Jalan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.

Pada Kamis, Jumat, dan Minggu, giliran dia bertugas di klinik Gereja Santo Yohanes Penginjil di bilangan Melawai, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

Saat ditemui, dokter yang bernama lengkap Mangku Sitepoe itu baru turun dari angkutan umum yang sudah jadi langganannya.

Jarum jam menunjuk pukul 13.00 pada Rabu pekan lalu (14/8/2019). Hari itu giliran dia praktik di Kebayoran Lama.

Dari rumahnya di Kebon Nanas, klinik tidak terlalu jauh. Cukup berjalan kaki seperempat jam, sudah sampai. Hanya, fisik yang tidak sekuat dulu memaksa Mangku naik mikrolet.

Tahu kedatangan Jawa Pos untuk menulis kisahnya, Dokter Mangku langsung mengajak masuk klinik yang berdiri di atas lahan 7 ribu meter persegi itu.

Sebuah bangunan tua, bekas pabrik tegel yang telah disulap menjadi tempat berobat.

”Kalau pasien baru, harus periksa semua. Dari kepala sampai kaki,” katanya sambil meletakkan tas jinjingnya.

Tangan dokter sepuh yang mulai gemetar itu mengeluarkan jas dokter. Setelah mengenakannya dengan rapi, dia duduk.

Dokter Mangku bercerita tentang klinik yang menjadi tempatnya mengabdikan diri itu. Ingatannya sangat kuat.

Dari kursi di ruang kerjanya, dia menyusuri lorong memori sampai medio 1995.

Dokter Mangku Sitepoe memeriksa pasien di Klinik Pratama Bhakti Sosial Kesehatan Santo Tarsisius, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Rabu (14/8/2019). Foto: Syahrul Yunizar/Jawa Pos

Kala itu, Mangku bersama tiga koleganya menggagas klinik gratis. Dasarnya sederhana. Pertama, keyakinan bahwa setiap manusia punya sifat dengan kecenderungan ingin membantu sesama.

Kedua, bakti sosial yang biasa diselenggarakan pemerintah lebih sering bersifat sementara.

Padahal, banyak penyakit yang membutuhkan pengobatan terus-menerus. Misalnya, darah tinggi, jantung, dan diabetes. Tidak bisa beres dengan sekali pelayanan.

Dengan misi itu pula tempat tersebut juga dikenal dengan nama Klinik Bhakti Sosial Abadi.

Selain Mangku, tiga pendiri lainnya adalah seorang lulusan farmasi Universitas Indonesia, seorang pastor, dan seorang pengusaha obat.

Mereka merintis klinik itu di Gereja Santo Yohanes Penginjil. Sampai 1999, pelayanan benar-benar gratis.

Mulai pemeriksaan, konsultasi, dan obat. Semua tanpa biaya. Namun, kebaikan itu malah disalahgunakan.

Banyak pasien yang menjual kembali obat-obatan yang mereka dapat.

”Dijual di Senen,” ungkapnya pelan.

Masalah berbuntut. Suplai obat yang tadinya mengalir jadi tersendat. Pengusaha obat tidak lagi mau membantu.

Mangku memutuskan untuk keluar dari kolaborasi sosial itu. Pengobatan yang semula gratis mau tidak mau dibikin berbayar.

Namun, Mangku tetap ingin mempertahan­kan identitas klinik. Ramah bagi masyarakat menengah ke bawah.

Apalagi, dia tahu, tidak semua pasien menjual kembali obat yang mereka dapat.

”Saat itu sudah ada 200-an pasien setiap hari,” tuturnya.

Keteguhan itulah yang membuat klinik tersebut menjadi yang paling terjangkau di ibu kota. Mangku mematok tarif murah. Dia lupa awalnya berapa. Yang pasti, sekarang biayanya hanya Rp 10 ribu.

Mangku bersama rekan-rekannya tidak membatasi jumlah pasien. Semua yang datang pasti dilayani. Selain pelayanan umum, klinik membuka poliklinik anak dan gigi.

Tidak seperti kebanyakan dokter yang memilih buka praktik saat masih aktif bekerja, Mangku tidak melakukan itu.

Tugas yang diberikan negara dia tuntaskan sampai pensiun pada 1992. Setelah itu, baru dia merintis klinik. Karena pasiennya semakin ramai, pada 2003 dia mendapat tempat di bekas pabrik tegel itu.

Sebelum menjadi dokter umum, Mangku adalah dokter hewan. Kakek asal Langkat itu memutuskan untuk mengambil pendidikan dokter umum setelah diberi amanat untuk bertugas di kampung halamannya.

Banyak warga setempat yang meminta tolong ketika sakit. Mereka tidak peduli Mangku adalah dokter hewan. Karena belum ada pilihan lain, mau tidak mau Mangku pun melayani mereka.

Lama-kelamaan, dia merasa perlu mengambil pendidikan dokter umum. Universitas Sumatera Utara (USU) jadi pilihannya.

Sampai tuntas menjalani studi dokter umum, Mangku juga sempat mengenyam pendidikan di Filipina dan Denmark.

Jadilah dia kini dokter ganda. Selama berkiprah di dunia kedokteran, Mangku melahirkan hampir 26 buku. Selain itu, dia aktif menulis di berbagai media massa.

Lalu, mengapa pada usia tua masih mau capek-capek berhadapan dengan pasien? ”Di sini saya sudah puas,” katanya.

”Tidak ada cita-cita saya mau jadi apa lagi, mau beli mobil, mau istri dua, tidak ada,” tambahnya.

Tekadnya juga sangat bulat. Selama masih hidup, dia hanya ingin mengobati. Ketulusan Mangku turut dirasakan pasien-pasiennya.

Mereka yang sudah biasa ditangani mantan kepala Dinas Peternakan Bojonegoro itu dengan sabar mengantre.

Marsiningsih, misalnya. Sudah tujuh tahun dia berobat di Dokter Mangku karena cocok.

”Dokter Mangku bisa banyak bahasa. Saya dari Jawa, diajak ngobrol bahasa Jawa juga enak,” ungkap nenek kelahiran 1958 tersebut.

Tentu bukan hanya itu. Ningsih mengaku Mangku juga bisa melenyapkan bermacam-macam keluhan kesehatannya. Mulai sakit kepala, demam, sampai sakit kaki.

Keinginan Dokter Mangku saat ini hanya dua. Terus bisa mengobati pasien dan kliniknya bisa terus buka untuk membantu masyarakat.

”Semoga dokter-dokter yang pernah magang di sini atau yang pernah membantu di sini nanti mau meneruskan klinik ini,” katanya berharap.(*/c5/ayi/jpg)

Update