Jumat, 19 April 2024

Profesor Korea Selatan Jadi Rektor Asing Pertama di Indonesia

Berita Terkait

batampos.co.id – Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti), Mohamad Nasir, memperkenalkan rektor asing pertama di Indonesia.

Dia adalah Jang Youn Cho. Profesor asal Korea Selatan (Korsel) yang akan memimpin Universitas Siber Asia.

Nasir mengumumkan Cho dihadapan para rektor perguruan tinggi negeri/swasta, peneliti, dan dosen yang hadir pada pembukaan kegiatan ilmiah Hari Kebangkitan Teknologi Nasional (Hakteknas) di Grand Inna Beach Hotel, Bali, kemarin.

Cho pernah menjabat Wakil Presiden Hankuk University periode 2014-2017. Sekaligus, menjadi Rektor Cyber Hankuk University of Foreign Studies pada periode yang sama.

”Rektor asing harus pernah memimpin perguruan tinggi. Cho mempunyai pengalaman memimpin Hankuk University. Dan sekarang dia menjadi rektor di Universitas Siber Asia,” jelas Nasir.

Menteri 59 tahun itu berharap dengan kehadiran Cho, mampu meningkatkan angka partisipasi kasar (APK) pendidikan tinggi di Tanah Air.

Sekaligus mendatangkan minat mahasiswa-mahasiswi asing untuk kuliah di Indonesia.

”Harapan saya mahasiswanya tidak hanya dari Indonesia. Bisa dari Asia maupun Afrika, mudah-mudahan ini bisa jalan,” harapnya.

Menristekdikti, Mohamad Nasir. Foto: Jawa Pos

Cho adalah profesor bidang akuntansi. Pengalaman akademisnya banyak didapat dari Amerika Serikat. Dia meraih gelar Ph.D di University of Florida pada 1983.

Kemudian, menjadi asisten profesor hingga menyandang gelar profesor dari NebraskaLincoln University pada 1997.

Saat krisis keuangan melanda Asia tahun 1997, Cho memutuskan untuk kembali ke Korsel.

Dia membantu pemerintah menata administrasi keuangan dan bisnis negara. Dua tahun berselang, Cho menjadi Wakil Ketua Dewan Standar Akuntansi Korsel.

Meski begitu, pengalaman kepemimpinan di kampus, baru dimulai tahun 2006. Menjabat Dekan Sekolah Tinggi dan Pascasarjana Bisnis, Hankuk University selama empat tahun.

Cho menuturkan, visinya adalah fokus meningkatkan kualitas pendidikan tinggi pada lima bidang.

Yakni, manajemen, akuntansi dan perpajakan, komunikasi, sistem informasi, dan teknologi.

”Karena industri 4.0 tidak hanya teknologi. Banyak aspek. Semuanya harus terintegrasi dalam big data,” jelas pria 66 tahun itu.

Era 4.0 terbentuk karena kebutuhan manusia. Mereka ingin semuanya serba cepat, saling terkoneksi, dan tidak ribet.

Untuk mendukung program tersebut, Cho meminta profesor rekanannya dari Amerika Serikat dan Korsel datang ke Indonesia.

”Saya pilih profesor terbaik dari kedua negara itu untuk membuat konten pembelajaran. Tentu juga berkolaborasi dengan profesor Indonesia,” jelasnya.

“Saya yakin program ini akan membawa Indonesia meraih masa depan yang lebih baik,” ujarnya lagi.

Pada acara itu pula, Yayasan Memajukan Ilmu dan Kebudayaan (YMIK) menerima izin prinsip pendirian Universitas Siber Asia dari Menristekdikti Nasir.

”Terima kasih Kemenristekdikti telah memberikan lisensi untuk pendirian Universitas Siber Asia,” paparnya.

“Sebuah mimpi yang menjadi kenyataan untuk mewujudkan misi memberikan akses pendidikan tinggi yang merata dan terjangkau kepada generasi bangsa,” kata Ketua Pengurus YMIK Ramlan Siregar.

Universitas Siber Asia, lanjut Ramlan, merupakan universitas swasta berbasis full online learning pertama di Indonesia yang mendapatkan lisensi dari pemerintah.

Universitas yang satu yayasan dengan Universitas Nasional (UNAS) Jakarta itu akan menjalankan tiga strategi utama.

Meningkatkan kuantitas, memberikan fitur-fitur pengajaran yang sesuai era industri 4.0, dan menghadirkan pengajaran dengan kualitas dunia (world class learning).

Saat ini, menurut Ramlan, jumlah penduduk Indonesia usia 19-23 tahun baru 34 persen yang melanjutkan ke pendidikan tinggi.

Sementara itu, Malaysia mencapai 51 persen, Singapura di angka 82 persen, dan Korsel sudah 96 persen.

Full online learning and management system selaras dengan keinginan pemerintah menjawab tantangan era Industri 4.0.

”Memberikan efisiensi dalam layanan pendidikan tinggi dalam skala tidak terbatas bagi penduduk Indonesia tidak saja di perkotaan namun juga daerah terpencil yang memiliki akses internet,” urai Ramlan.(han)

Update