Sabtu, 20 April 2024

Jempol dan Otak

Berita Terkait

AKHIR-akhir ini, saya semakin sering bicara soal etika di media sosial dan anti-hoax. Diundang di banyak tempat. Di kampus, sekolah, kompleks perumahan, rumah ibadah, bahkan di kafe. Selagi waktunya pas dan tidak mengganggu tugas saya di perusahaan, pasti saya penuhi undangan untuk bicara seputar itu. Mengapa? Karena sebagai orang yang “dituakan” di PWI Kepri, bicara soal media (termasuk media sosial), merupakan salah satu tugas penting sebagai tanggung jawab insan pers terhadap negara. Wuih!

Dunia medsos itu ibarat rimba. Hutan belantara. Kerap kita merasa itu soal privasi belaka. Masalah pribadi. Sehingga, sebelum memposting foto, video, atau tulisan, kita merasa itu hak kita sepenuhnya. Medsos, medsos saya kok. Suka-sukalah mau posting apa. Begitu kira-kira. Padahal, begitu hasil karya jempol kita itu di-posting ke medsos, maka dia akan menjadi milik publik. Dibaca khalayak ramai. Maka ketika itulah ada aturan atau UU yang siap menjerat kita. Kebebasan individu tidak boleh mengganggu kenyamanan publik. Itu prinsipnya. Ancamannya, mulai UU ITE (Informatika dan Transaksi Elektronik) hingga pasal-pasal dalam KUHP.

Seperti Senin malam, di depan mahasiswa, BEM, calon mahasiswa, dosen, dan Ketua STIE Bentara Persada Romo Nikolaus, saya kembali menjelaskan pentingnya etika untuk memerhatikan rambu-rambu hukum dalam bermedia sosial. Banyak sekali aplikasi yang tersedia hari ini dari bergai vendor. Mulai dari chatroom, games, video karaoke, video, sampai aplikasi livestreaming. Ini membuat semua orang seolah-olah bebas berkreasi dan berselancar di dunia maya, lalu meng-upload ke akun medsos. Padahal, satu kesalahan fatal dapat mengantarkan pemilik akun atau penyebar konten mendekam ke balik jeruji besi.

Generasi zaman now –atau generasi zaman old sekalipun yang tidak mau ketinggalan zaman, memanfaatkan medsos ini hampir secara rutin. Tujuannya macam-macam. Ada untuk jualan, sekadar share foto, berbagi informasi, mencaci-maki, cari jodoh, bahkan ada juga hanya untuk nyinyir. Tipe terakhir ini masuk dalam kategori susah move on, padahal pileg dan pilpres sudah lama berlalu. Yah, mirip abege labil yang susah move on setelah diputusin pacarnya. Hobinya, stalking akun mantan. Pertemanan dihapus, namun ngintip dari akun teman. Hehe…

Amar Satria, seorang pegiat internet kreatif dari Batam, pernah menyebutkan, saat ini, ada sekitar 700-an ribu warga Batam yang connected dengan medsos. Artinya, lebih dari separuh penduduk Batam berselancar di media sosial. Artinya juga, ada ratusan ribu akun yang sewaktu-waktu bisa berususan dengan aparat penegak hukum jika tidak wise dan berhati-hati menggunakan medsos. Ingat, Polri sudah punya alat lebih canggih untuk melacak pemilik akun, meskipun Anda menggunakan akun kloning atau akun anonim sekalipun.

Nah, di medsos inilah yang paling banyak ditemukan kabar bohong (hoax). Sebab, penggiat medsos ini tidak dibekali dengan aturan atau perundang-undangan yang cukup. Setiap orang bisa mengetik sebuah pesan (status) lalu mempostingnya di medsos. Demikian pula semua orang bisa memproduksi video atau foto lalu menaik-muatkannya (meng-upload) di akun multiplatform (IG, FB, WA, dan lainnya). Setelah dinaikkan, jadilah dia milik publik dan semua orang dapat melaporkan ketika mengan­dung unsur pidana.

Ada pertanyaan menarik dari salah satu mahasiswa. Saat ini, setiap orang dapat menjadi saksi dari sebuah kejadian, lalu mengambil gambar atau videonya, kemudian men-share ke akun medsos miliknya. Apakah hal seperti itu diperbolehkan? Apakah warga umum dapat melakukan itu tanpa harus menjadi “profesional” seperti wartawan/jurnalis yang dalam pekerjaannya harus telah lulus ujian (UKW) dan medianya terverifikasi?

Medsos tentu tidak sama dengan berita. Medsos itu hanyalah wadah (platform) untuk berbagi (men-share) pelbagai kabar, baik itu foto, video, status, atau link berita. Seorang bisa menulis apapun di WA, lalu memasukkannya ke WA grup yang diikutinya. Apakah itu berita? Tentu saja bukan. Sebab, berita itu haruslah diperoleh dengan cara yang sah, memenuhi kaidah jurnalistik seperti diatur dalam UU Nomor 40 Tahun 1999, tentang Pers, lalu kemudian disiarkan di sebuah media (cetak, online, elektronik) secara teratur. Bukan hanya ketikan atau curhat yang disebarkan di media sosial. Akan tetapi, postingan link berita atau kopian berita di medsos dengan menyebutkan sumbernya, barulah dapat dikategorikan sebagai sebuah sebuah berita.

Apakah semua informasi yang dikabarkan di media, termasuk media online, adalah kebenaran? Kapan dia disebut sebagai kabar bohong atau hoax? Untuk membahas ini, panjang waktunya dan luas dimensinya. Dia harus diuji dulu oleh publik. Oleh UU. Jika dia bukan produk jurnalistik, maka penanganannya bisa masuk ke UU ITE. Akan tetapi, jika ada yang merasa dirugikan, difitnah, atau dicemarkan, sepanjang itu adalah produk jurnalistik, maka harus diuji melalui mekanisme pers (hak jawab, hak koreksi, dan lainnya) hingga sampai ke Dewan Pers.

Hemat saya, jika Anda menerima kabar, baik itu dari WA grup, medsos, akun pertemanan, bahkan sampai menyer-takan link beritanya, sebaiknya tanyakan dalam hati. Jika sedikit saja ada keraguan dalam hati Anda, cukup dibaca saja. Jangan diteruskan (forward), jangan dibagikan. Cari jugalah berbagai sumber lain, referensi lain terkait kabar yang Anda terima. Jika banyak media memberitakan kabar yang sama, besar kemungkinan yang Anda baca itu adalah benar. Kecil kemungkinan media melakukan kesalahan berjamaah. Jika dia bukan berita dan hanya hoax, siap-siap berhadapan dengan persoalan hukum. Oleh sebab itu, tahan jempol Anda, janganlah lebih cepat jempol dari (maaf) otak. Ups!… (*)

 

Update