Kamis, 25 April 2024

Ibu Rumah Tangga Ini, Panen Cabai Keriting 1 Ton Per Hari

Berita Terkait

Menjadi petani tidak pernah terpikirkan sebelumnya di benak Ria Lubis dan suaminya. Itu karena keduanya tidak memiliki pengalaman maupun pendidikan di bidang pertanian. Namun, kemauan dan keberanian serta modal yang cukup, membuat mereka sukses menjadi petani cabai keriting.

Batam, Yulitavia

Ria tengah berbincang dengan pekerja yang sedang sibuk memanen cabai saat Batam Pos menjuampainya, beberapa pekan lalu.

Hari itu merupakan panen cabai yang kesekian kali di lahan seluas kurang lebih tiga hektare miliknya di Sembulang, Galang, Batam.

“Mereka karyawan saya,” ujar Ria sembari mengenalkan para pekerjanya.
Sudah menjadi rutinitas bagi perempuan asal Medan ini mendatangi pekerjanya di lahan pertanian yang ia kelola di Sembulang dan beberapa tempat lainnya.

Ia menceritakan bahwa saat ini ada delapan hektare lahan yang sudah ditanami dan dikembangkan khusus tanaman cabai.

Sebelumnya ia bersama suami sudah berhasil mengembangkan tanaman jambu madu dan lumayan sukses dipasarkan di Batam.

“Dulu sudah pernah tanam cabai tapi tak banyak. Waktu itu masih fokus ke jambu sama semangka,” kata ibu empat anak ini.

Ia memilih mengembangkan tanaman cabai keriting karena melihat pasar yang sangat terbuka lebar di Batam.

Permintaan pasar sangat tinggi sehingga sangat menjanjikan dan ia tak perlu repot mencari pasar di luar Batam.

“Iya, di sini semuanya didatangkan dari luar Batam. Jadi saya berfikir lebih baik bertanam cabai dan pasarnya cukup menjanjikan karena bisa dikatakan cabai sudah jadi kebutuhan pokok. Tak peduli mahal pasti dibeli juga,” beber perempuan kelahiran 23 Agustus 1976 ini.

Perempuan berhijab ini mengaku baru lima tahun menggeluti dunia pertanian. Khusus untuk cabai baru dua tahun belakangan ini.

Pertama kali ia bersama suami mencoba bertanam cabai dan mengandalkan petani serta mandor lokal untuk membantu budidaya cabai.

“Rugi dan tidak nutup modal. Dari situ mulai belajar sendiri,” ucapnya.

Tantangan pasti mengolah lahan karena harus dibersihkan, digemburkan hingga layak ditanami, lalu diberi mulsa plastik untuk mencegah tumbuhnya gulma pengganggu.

Awalnya, ia menggunakan bibit dari Medan. Hal ini karena kebanyakan cabai dari Batam berasal dari sana.

“Kami riset dan belajar juga ke Medan karena kami tidak ada background sebagai petani cabai. Bolak-balik Medan belajar sampai akhirnya bisa mandiri,” sebutnya.

Ia mengakui tidak mudah menjadi petani pemula. Namun, sekarang sudah bisa menghasilkan hingga satu ton per hari jika sudah masuk musim panen.

“Gagal panen belum pernah. Cuma kalau hasilnya tidak sesuai dengan harapan pasti pernah. Maka dari itu kami mencoba belajar hingga saat ini,” imbuhnya.

Ria menyebutkan, saat ini ia masih menghasilkan cabai hijau. Hal ini dikarenakan tidak membutuhkan waktu lama untuk masa panen.

“Karena kami butuh modal juga untuk mengembangkan tanaman ini. Jadi, biar uangnya cepat berputar kami panen cabai hijau dulu,” jelasnya.

“Kalau cabai merah butuh waktu yang lebih lama dari cabai hijau ini,” ungkap Ria.

Ria Lubis (kanan) saat meninjau kebun cabainya di Galang, Batam, beberapa waktu lalu. Foto: Yulitavia/Batam Pos

Ia menuturkan, untuk menghasilkan cabai yang bagus, ia membutuhkan waktu 25 hari untuk pembibitan.

Selanjutnya bibit cabai dipindahkan ke lahan yang sudah dipersiapkan. Untuk satu hektare lahan bisa menampung seribu hingga seribu lima ratus batang cabai.

Agar bisa dipanen, cabai harus tumbuh dalam perawatan hingga usia 30-40 hari.

“Jadi, umur satu bulan kami sudah panen pertama untuk cabai hijau. Sedangkan untuk yang merah itu membutuhkan waktu hingga 70 hari,” jelasnya.

Ia menuturkan kondisi kemarau saat ini justru sangat baik untuk berbagai jenis tanaman, khususnya tanaman cabainya.

Sebab di sekitar lahannya saat ini terdapat sumber air yang cukup untuk kebutuhan irigasi kebun cabainya.

“Kalau musim hujan tanaman sulit tumbuh. Kalau saat ini bisa bagus hasilnya. Intinya air cukup, jadi tanaman tidak mati karena layu,” kata dia.

Menurutnya, lahan di Batam cukup baik dan cocok untuk dijadikan lahan pertanian. Hal ini terbukti dari hasil yang sudah ada.

Memang membutuhkan usaha, tenaga, dan modal yang cukup ketika awal memulai. Namun, hasilnya bisa dinikmati hingga cabai berusia sepuluh bulan.

“Cukup mengembalikan modal yang sudah dikeluarkan,” ujarnya.

Untuk proses penyiraman, ia memasang pipa yang ujungnya disambungkan ke keran. Lalu pipa tersebut dibentang-kan ke setiap titik tanaman cabai. Cara ini cukup efektif untuk mengurangi tenaga manusia.

“Kami siramnya pagi dan sore. Jadi, dari kran induk tanaman bisa mendapatkan air karena ada pipa di setiap polibag yang menjadi tempat cabai ditanam. Hemat tenaga, jadi bisa menekan pengeluaran juga,” lanjut Ria.

Tidak saja keuntungan untuk sendiri, pertanian cabai ini sudah menjadi sumber mata pencaharian bagi warga setempat.

Ria mengaku memperkerjakan sejumlah petani lokal untuk membantu ekonomi mereka.

“Lumayan juga untuk ibu-ibu di sini. Mereka bisa bekerja membantu kami memanen cabai,” katanya.

Ia mengungkapkan untuk satu kilogram cabai yang berhasil dipanen, mereka diupah Rp 3 ribu. Satu hari masing-masing bisa dapat 200 kilogram cabai.

“Alhamdulillah. Mereka cukup ulet. Karena semakin banyak yang bisa dipanen upahnya semakin besar. Jadi bisa membantu ekonomi keluarganya.”

Meskipun hasil petani cabai ini belum bisa memenuhi kebutuhan warga Batam, ia berharap ke depan banyak petani cabai lainnya yang bisa mengambil peluang ini.

“Sekarang baru kami yang fokus ke cabai. Meskipun sudah ada juga yang lain tapi tetap saja belum mampu mengakomodir kebutuhan,” kata dia.

Melihat permintaan pasar dan harga yang cukup stabil, ia berencana akan merambah ke tanaman cabai merah.

Lahan seluas kurang lebih dua hektare telah dipersiapkan untuk merealisasikan rencananya itu.

“Kalau harganya aman kami akan mulai hasilkan cabai merah. Karena permintaan cukup banyak. Meskipun tidak banyak kami harap bisa mengurangi kelangkaan cabai di Batam,” tambahnya.

Kabag Perekonomian Pemko Batam, Zurniati, menambahkan, setiap tahun cabai selalu menjadi salah satu penyebab inflasi di Kota Batam.

Sebagai daerah yang bukan penghasil dan berharap dari daerah lain, menambah faktor harga cabai menjadi mahal di Batam.

Karena itu, ia berharap hadirnya petani cabai di Batam bisa menjadi suatu dorongan bagi pemerintah untuk mendukung petani cabai di Batam.

“Buktinya cabai bisa hidup dan berkembang di sini. Jadi, memang bisa karena lahan tidak ada masalah,” ujarnya.

Menurutnya jika hasil cabai ini bisa membantu memenuhi kebutuhan tentu harganya menjadi terjangkau dan inflasi bisa ditekan.

Jika hasil petani sudah ada, pemerintah sudah menyiapkan pasar TPID untuk memasarkan hasil petani ini.

Sementara Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan (DKPP) Batam Mardanis mengatakan, rencana untuk membangun pertanian di Batam sudah ada dari beberapa tahun lalu.

Dua pulau disiapkan untuk dijadikan lahan pertanian. Menurutnya tidak ada masalah dengan tanah.

Semua bisa diproses dan dengan pupuk organik dan lainnya agar lahan subur dan bisa ditanami.

“Cabai mahal kita mengeluh, tapi mau gimana lagi karena kita bergantung dari daerah lain,” imbuhnya.

Ia berharap, jumlah petani sayur dan cabai di Batam semakin bertambah. Sehingga kebutuhan sayur dan cabai di Batam sebagian besar bisa dipasok dari Batam sendiri. Hasilnya, harga komoditas tersebut bisa terus ditekan.(*)

Update