DUA hari, Selasa dan Rabu (17-18/9), saya dan beberapa pengurus PWI Kepri, gagal diterbangkan ke Letung, Anambas, dari Bandara Hang Nadim, Batam.
Di hari pertama, kami menunggu di bandara selama empat jam, sejak pukul 12.00 WIB hingga 16.00 WIB.
Hari kedua, kami menunggu tiga jam lamanya. Rabu itu, Ustaz Abdul Somad yang sedianya akan melakukan tablig akbar di Anambas, juga gagal berangkat.
Padahal, bupati, wakil bupati, dan FKPD sudah stanby di Bandara Letung.
Sedianya, kami memang akan ke Anambas untuk keperluan pengembangan organisasi PWI.
Kami akan melakukan rekrutmen calon anggota baru PWI di Kabupaten Kepulan Anambas, sekaligus akan mengukuhkan PWI Persiapan Anambas.
Namun, apa daya, pekatnya kabut asap yang memapar langit Kepri, membuat jarak pandang di bandara Letung dikabarkan tak lebih dari 1,5 KM.
Artinya, karena pesawat yang melayani rute tersebut jenisnya proppeler (baling-baling), maka ketinggian terbangnya masih berada di “kawasan” sebaran kabut asap kiriman dari Sumatera dan Kalimantan itu. Beda jika pesawar jet, ketinggian jelajahnya aman dari paparan asap.
Apa daya, kami harus balik kanan dua hari berturut-turut. Hari pertama, semua calon penumpang yang berkumpul di gate 9, diberi kompensasi nasi kotak dan dijanjikan akan diberangkatkan keesokan harinya, Rabu.
Akan tetapi, di hari keduapun, kembali gagal terbang karena selain kendala udara, bandara Letung pun hanya beroperasi sampai pukul 17.0 WIB.
Akhirnya, calon penumpang melapor ke konter Wings Air di bandara untuk mengembalikan tiket.
Belum kerugian akibat makanan dan minuman yang sudah dipesan di Anambas untuk acara PWI, pasti tidak terkonsumsi seluruhnya.
Begitu pula rencana penginapan dan lain sebagainya. Padahal, pengembalian uang (refund), katanya, baru dapat dilakukan minimal 14 hari. Beugh!
Ini memang cerita soal organisasi. Dalam periodisasi kepemimpinan saya di PWI Kepri, 2018-2023 kelak, kami diamanahkan oleh Ketua Umum PWI Atal S Depari untuk menyelesaikan pembentukan PWI Kabupaten/Kota se-Kepri yang sebelumnya terkendala. Kendalanya hanya masalah teknis.
Misalnya, belum memenuhi syarat jumlah anggota biasa, atau kendala teknis lainnya.
Hingga saat ini, sudah terbentuk PWI di Karimun, Natuna, PWI Tanjungpinang-Bintan, dan PWI Pokja Batam, karena PWI Provinsi Kepri berkedudukan di Batam.
PWI Lingga statusnya sama seperti Anambas, yakni PWI Persiapan. Kelak, dua tahu kemudian, akan ditingkatkan menjadi PWI Kabupaten Lingga. Penyebutannya pun tidak seperti PD/PRT yang lama, di mana untuk provinsi disebut PWI Cabang dan di kabupaten/kota disebut PWI Perwakilan.
Kini, penyebutannya langsung saja, PWI Provinsi dan PWI Kabupaten/Kota, diikuti nama daerahnya.
Baiklah. Soal organisasi kita sudahi saja. Kembali ke masalah asap akibat kebakaran hutan.
Kondisi pekatnya asap saat ini tak jauh beda dengan beberapa tahun lalu, dimana saat itu Presiden SBY harus turun ke Pekanbaru, Riau, setelah sebelumnya mengancam akan “mengambil-alih” kendali pemerintahan di Riau.
Soal ini, Presiden SBY boleh dibilang cekatan dan responsif. Dia langsung memimpin rapat di Bandara Sultan Syarif Kasim II Pekanbaru dan memerintahkan aparat TNI, Polri, dan Pemda bahu-membahu memadamkan api.
Tak begitu lama, asap yang juga memenuhi langit negara tetangga itu pun dapat diata-si. Berton-ton garam ditaburkan di atas langit Riau untuk membuat hujan buatan.
Di lain pihak, warga Riau melakukan salat istiska di banyak tempat. Sama seperti Presiden Jokowi di paruh periode pertama, saat Riau kembali dihajar kebakaran hutan yang sebagian besarnya disebut-sebut sengaja dibakar pihak-pihak tak bertanggung jawab.
Presiden berang dan memerintahkan menghentikan semua izin pembukaan lahan baru bagi korporasi.
Moratorium pembukaan lahan baru lang-sung dijalankan. Asap kemudian dapat berkurang bahkan hilang sama sekali. Kini, menjelang periode kedua kepemimpinannya, Presiden Jokowi kembali ke Pekanbaru dan mengambil beberapa langkah untuk mengatasi persoalan tahunan itu.
Sayangnya, Menkopolhukam Wiranto kembali membuat pernyataan kurang simpatik. Katanya, di media, asap akibat kebakaran di Riau tahun ini tak separah diberitakan oleh media.
Hmm, media mana, Pak? Media sosial? Bapak sudah benar-benar memeriksa dan merasakan dampaknya?
Di Kepri, selain telah menggangu penerbangan ke Anamnas dan Natuna, indeks standar pencemaran udara (ISPU) di Batam hari Rabu yang lalu, sudah mencapai 170 atau mendekati kategori “sangat tidak sehat”.
Begitu pengakuan Kadinkes Batam dr Didi Kusmarjadi kepada wartawan. Demikian pula penuturan Kasi Data dan Informasi BMKG Hang Nadim, Suratman, jarak pandang pada siang hari terpantau hanya 4.000 sampai 5.000 meter saja.
Bahkan petang harinya, lebih parah, hanya 2.000 meter. Akan tetapi, diakui, penerbangan secara umum tidak mengalami kendala, kecuali delay beberapa saat saja. Namun untuk ke Letung dan Palmatak, terpaksa dibatalkan akibat jarak pandang sangat tidak layak untuk didarati pesawat jenis propeler tersebut.
Apa boleh buat. Rencana PWI Kepri untuk merekrut, menguji, dan mengukuhkan PWI Persiapan Anambas, terpaksa ditunda, dengan segala risiko.
Padahal, memberi orientasi kepada calon wartawan yang akan bergabung di bawah bendera PWI, terutama di kabupaten, diyakini dapat menambah pemahaman wartawan di lapangan tentang kode etik jurnalistik (KEJ), UU Pers Nomor 40 tahun 1999, dan serta mengajak pewarta untuk lebih bertanggung jawab atas setiap liputan yang mereka buat.
Ujungnya, akan terbangun berita-berita yang lebih berimbang dan mematuhi UU Pers yang lex spesialis tersebut.(*)