Jumat, 19 April 2024

Iuran Naik, Direktur Utama BPJS Kesehatan Bilang Begini

Berita Terkait

batampos.co.id – Iuran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan sejak pertama diluncurkan disebut tidak sesuai hitungan aktuaria (penaksiran).

Hal ini diungkapkan Direktur Utama BPJS, Fahmi Idris dalam diskusi ‘Tarif Iuran BPJS’ garapan Forum Merdeka Barat 9, Senin (7/10/2019).

Menurut Fahmi, tidak sesuainya iuran BPJS Kesehatan terhadap aktuaria, merupakan permasalahan utama yang menyebabkan program ini mengalami defisit.

Hal ini disimpulkan setelah sebelumnya pemerintah melalui Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) melakukan audit BPJS Kesehatan yang meliputi fasilitas-fasilitas kesehatan (faskes) yang bekerja sama di dalamnya.

“Setelah semua dilihat, diaudit, ditemukanlah memang ada potensi fraud. Tapi angkanya tidak sampai satu persen dari angka spending kita,” jelasnya.

“Total spending kita itu hampir Rp 95 triliun, fraudnya kurang dari 1 persen. Ada juga masalah collectability, tapi itu kira-kira sekira 3 persen dari total income,” beber Fahmi lagi.

Setelah dilihat semua penyebab utamanya, ternyata memang iuran yang belum sesuai dengan hitungan aktuaria.

Sehingga menurutnya, tidak ada jalan lain bahwa untuk menyelamatkan program ini kecuali dengan menyesuaikan iuran berdasarkan hitungan aktuaria.

Dijelaskan Fahmi, sejak 2016 misalnya, untuk kelas III nonformal hitungan aktuaria pada saat itu adalah sekira Rp 53 ribu. Namun iurannya diputuskan Rp 25.500.

Artinya sejak 2016 iuran tersebut sudah didiskon. Dari yang seharusnya Rp 53 ribu menjadi Rp 25.500, yang berarti terdapat minus Rp 27.500.

“Untuk kelas II dari yang seharusnya Rp 63 ribu diputuskan Rp 51 ribu, diskonnya Rp 12 ribu. Nah ini yang kemudian membuat persoalan kita semakin membesar defisitnya. Karena apa? Karena peserta bertambah banyak,” terangnya.

Petugas BPJS Kesehatan memberikan penjelasana kepada salah seorang warga saat melakukan pengurusan JKN-KIS di Kantor BPJS Kesehatan Cabang Batam beberapa waktu lalu. Foto: Cecep Mulyana/batampos.co.id

Fahmi mengungkap, peserta yang terdaftar BPJS Kesehatan saat ini sudah mencapai 222 juta jiwa. Jumlah ini menjadikannya sebagai jaminan sosial terbesar di dunia.

Penambahan peserta yang diikuti penambahan pendapatan ini di satu sisi turut membuat terjadinya peningkataan penggunaan.

Hal inilah yang membuat gap defisit semakin besar. Kata dia, sejatinya iuran yang dibayarkan masyarakat nonformal merupakan dana pemeliharaan terhadap kesehatan diri sendiri.

Bila dianalogikan menabung per hari, makan untuk kelas I iurannya sekira Rp 5 ribu per hari, Rp 3 ribu per hari untuk kelas II, dan untuk kelas III sekira Rp 1.800 per hari.

Apabila tidak digunakan untuk pelayanan kesehatan diri sendiri, dana tersebut digunakan untuk membantu orang lain.

“Nah kalau menyisihkan itu berat, pemerintah tidak tinggal diam. Pemerintah hadir untuk mereka yang betul-betul miskin dan tidak mampu.,” ujarnya.

“Ada anggaran APBN dialokasikan untuk peserta miskin dan tidak mampu yang jumlahnya saat ini 133 jiwa,” sebut Fahmi lagi.

Menurut dia, program BPJS Kesehatan telah banyak membantu masyarakat, baik kalangan tidak mampu maupun kalangan mampu sekaligus.

Pasalnya, terdapat jenis-jenis penyakit berat yang sangat menguras biaya dalam hal penanganannya. Seperti misalnya gagal ginjal yang mengharuskan cuci darah secara rutin.

Untuk itu, program ini semestinya tidak berhenti. Sehingga, penyesuaian tarif menjadi satu-satunya jalan agar program ini tetap berjalan.

Karena apabila tidak disesuaikan, dalam lima tahun ke depan BPJS Kesehatan bisa mengalami defisit hingga Rp 77 triliun. Setelah di tahun ini mengalami defisit Rp 32 triliun.

“Ya pilihannya program mau jalan atau berhenti, itu aja. Kalau kita ingin program ini berjalan ayo kita gotong royong, kita bangun semangat itu, tapi dengan catatan pemerintah memang tidak pernah tinggal diam,” tuturnya.

Kata Fahmi, sekalipun iuran BPJS Kesehatan dinaikkan, pemerintah sejatinya sudah berkontribusi hampir 80 persen dalam menutupi kebutuhan anggarannya.

Baik untuk meningkatkan iuran penerima bantuan iuran, maupun kewajiban pemerintah sebagai pemberi kerja.

Sehingga tidak tepat bila kenaikan iuran ini hanya menjadi beban masyarakat, melainkan juga tetap menjadi tanggung jawab pemerintah.

Disebutkan lagi, pelayanan medis yang diberikan untuk Kelas I, II, dan III sama saja. Yang membedakan hanya ruang perawatannya.

Bagi masyarakat yang mampu, diberikan keleluasaan untuk memilih antara ketiga kelas tersebut.

Kalau misalnya tidak mampu, bisa memilih program penerima bantuan pemerintah yang tentunya sesuai dengan kriteria-kriteria yang ada.

“Jadi yang kita bangun adalah semangat membangun, semangat gotong royong, saling bantu membantu,” tegas Fahmi.(luk)

Update