Rabu, 24 April 2024

Iuran BPJS Naik, Beban Bertambah

Berita Terkait

batampos.co.id – Keputusan pemerintah menaikkan iuran peserta jaminan kesehatan nasional kartu Indonesia sehat (JKN-KIS) yang dikelola Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan mulai Januari 2020 mendatang, menambah beban masyarakat dan pemerintah daerah (Pemda).

Sebab rencana kenaikan itu mencakup semua kelas, termasuk penerima bantuan iuran (PBI) dari Pemda bagi peserta kurang mampu.

Seperti diketahui, rencananya pemerintah menaikkan iuran PBI dari Rp 23 ribu menjadi Rp 42 ribu per bulan per jiwa.

Kemudian kelas I naik dari Rp 80 ribu menjadi Rp 160 ribu, Kelas II dari Rp 51 ribu menjadi Rp 110 ribu, dan Kelas III dari 25 ribu menjadi Rp 42 ribu per bulan per jiwa.

Di Kota Batam sendiri, untuk peserta BPJS Kesehatan kategori PBI jumlahnya mencapai 36 ribu jiwa.

Biaya iuran mereka ditanggung anggaran Pemko Batam melalui Dinas Kesehatan Kota Batam.

Setiap bulannya Pemko Batam harus mengeluarkan dana sebesar Rp 900 juta lebih atau sekitar 10,8 miliar per tahun.

“Kalau tarif baru benar-benar diterapkan, berarti anggaraanya naik dua kali lipat dari tahun ini. Kami masih menunggu informasi resminya, jadi belum kami hitung detailnya,” jelas Kepala Dinkes Batam Didi Kusmarjadi, Selasa (8/10/2019).

Kadis Kesehatan berlatarbelakang dokter spesialis kandungan ini membenarkan setiap tahunnya Pemko Batam menanggung iuran 36 ribu lebih warga miskin atau tidak mampu yang menjadi peserta BPJS Kesehatan kategori PBI.

Jumlah PBI tersebut mengacu pada data warga miskin Kota Batam yang dimiliki Kementerian Sosial.

Massa buruh dari beberapa serikat pekerja di Batam menggelar demontrasi di depan kantor Wali Kota Batam, Rabu (2/10/2019). Mereka menolak kenaikan iuran BPJS Kesehatan dan revisi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Foto: Dalil Harahap/batampos.co.id

“Penerima bantuan iuran itu sudah diverifikasi terlebih dahulu oleh Dinsos,” katanya.

Didi menambahkan, rencana kegiatan penggunaan anggaran 2020 oleh Dinkes Batam sudah disusun.

Namun, jika kenaikan iuran BPJS Kesehatan itu benar-benar diterapkan mulai 1 Januari 2020, maka pihaknya akan mengubahnya kembali dengan memasukkan usulan anggaran untuk kenaikan iuran PIB itu.

“Kami menunggu surat resmi tentang kenaikan iuran itu dari pihak BPJS-nya terlebih dahulu, baru bisa ajukan anggaran,” ujarnya.

Ia menambahkan, jika nanti keputusan keluar setelah ketok palu APBD 2020, pihaknnya terpaksa berutang kepada BPJS hingga pengajuan APBD perubahan nantinya.

“Kalau itu keadaannya terpaksa utang dulu. Tapi nanti pasti dibayarkan. Intinya selama masih belum ketok palu APBD aturan keluar berarti masih bisa diubah usulannya. Kalau tidak ya kita utang sama mereka,” bebernya.

Menurutnya Didi, kenaikan BPJS harus seiring dengan membaiknya pelayanan kepada masyarakat.

Sebab mereka sudah bayar dua kali lipat tentu harus ada kompensasi pelayanan yang lebih baik yang mereka terima.

“Kalau bayarnya naik pelayanan tetap sama, maka peserta BPJS Kesehatan bisa kecewa. Jadi rumah sakit yang bekerja sama dengan BPJS perlu memperhatikan ini. Jangan sampai pengguna BPJS kecewa,” ujarnya.

Marlina, salah satu peserta BPJS Kesehatan, mengaku sangat keberatan dengan tarif baru iuran BPJS Kesehatan.

Kenaikan dilakukan saat ekonomi masyarakat sedang susah. Apalagi, ia harus membayar mandiri lima anggota keluarganya yang semuanya masuk di kelas dua.

“Pemerintah mestinya mikir kondisi masyarakat saat ini. Naikin iuran juga tak tanggung-tanggung,” ujar wanita 40 tahun ini.

Menurut dia, selama ini pelayanan BPJS di sejumlah faskes bahkan rumah sakit belum maksimal.

Bahkan tak jarang pelayanan pasien BPJS Kesehatan dibedakan dengan pasien umum.

“Kalau memang mau naik, harusnya bisa memperbaiki pelayanan faskes tingkat pertama maupun lanjutan,” imbuhnya.

Kepala Bidang SDM, Umum, dan Komunikasi Publik BPJS Kesehatan Cabang Batam Irfan Rachmadi mengatakan, pihaknya tak bisa memberi informasi kenaikan iuran peserta BPJS tersebut.

Sebab, hingga saat ini pihaknya belum menerima informasi atau surat resmi dari BPJS pusat.

“Sampai saat ini saya belum tahu berapa kenaikannya. Kami juga belum menerima,” kata Irfan.

Menurut dia, seluruh kebijakan terkait BPJS Kesehatan berada di pusat. Pihaknya hanya menjalankan kewajiban dan menginformasikan kepada peserta nantinya.

“Kami juga masih menunggu informasi resmi dari pusat,” kata Irfan.

Irfan juga enggan mengomentari rencana kenaikan tarif kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang mencapai 100 persen.

“Untuk berapa kenaikan itu juga saya belum tahu. Kan belum ada dari pusat,” jelas Irfan.

Wakil Presiden: Orang Miskin Tak Terdampak

Wakil Presiden Jusuf Kalla atau JK menilai naiknya iuran BPJS Kesehatan tidak akan memberatkan rakyat.

Ia membandingkannya dengan kemampuan masyarakat membeli pulsa. “Beli pulsa aja jauh lebih besar dari itu.

Masa lebih mementingkan pulsa daripada kesehatan,” kata dia di Kantor Wakil Presiden, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta, Selasa (8/10/2019).

Menurut JK, kenaikan iuran ini untuk menutupi defisit yang dialami BPJS Kesehatan tiap tahunnya.

Pemerintah, kata dia, juga tetap menanggung biaya lebih dari 120 juta masyarakat tidak mampu.

“Sebenarnya ini hanya cara pergantian defisit, karena kalau defisit pemerintah juga bayar. Tapi kalau ini naik tarif, pemerintah juga yang bayar yang lebih 120 juta itu,” ujarnya.

JK berujar masyarakat yang tidak masuk kategori kurang mampu seharusnya tidak masalah jika iuran BPJS Kesehatan dinaikkan.

“Jadi jangan dianggap itu menyusahkan rakyat kecil,” ucapnya.

Selain itu, kata JK, ke depan pembiayaan iuran BPJS Kesehatan akan dibantu oleh pemerintah daerah.

“Artinya penduduk satu daerah, ini silakan kelola dengan dana sekian. Lebih desentralistis. Pokoknya kalau sudah naik tidak ada lagi defisitnya,” ujarnya.

JK menjelaskan selama ini yang menunggak pembayaran iuran BPJS Kesehatan itu bukan kategori orang miskin.

Sebab dia menegaskan lagi, iuran BPJS Kesehatan orang miskin dibayar pemerintah.

Sehingga kenaikan iuran BPJS Kesehatan kali ini tidak akan berdampak pada warga miskin.

“Itu dulu dipegang dulu. Ada 120 juta orang dibayar negara. Kira-kira Rp 20 triliun dibayar oleh pemerintah. Jadi tidak perlu khawatir,” katanya.(she/yui)

Update