HINGGA pukul 16.00 WIB, Kamis kemarin, saya belum punya tema soal catatan kecil yang rutin menemui pembaca setiap hari Jumat ini. Awalnya mau nulis lagi seputar digabungnya pimpinan BP Batam dengan Pemko Batam. Tapi ini agak sensitif kalau ditulis sekarang, berhubung Kepala BP Batam HM Rudi disebut-sebut akan kembali berlaga dalam pilkada 2020. Nanti khawatirnya tulisan saya agak nyerempet, trus dianggap nyerang (kalau kritis) atau dianggap nyanjung (kalau membela).
Kan repot?!
Padahal, serius, soal rangkap jabatan ini menarik untuk kembali diperbincangkan. Bukan dari sisi hukum dan aturannya, tapi dari sisi ekspektasi (harapan) masya-rakat dan pelaku pasar atas disatukannya kepemimpinan dua instansi yang sebetulnya berbeda “maqom” tersebut. Intinya, ada harapan besar atas pelantikan HM Rudi sebagai Kepala BP Batam (sekali ini tidak pakai sebutan ex officio, karena sudah dilantik).
Harapannya adalah agar roda pembangunand an perekonomian Batam kembali membaik. Sesegera mungkin. Setinggi mungkin. Tapi apa iya semudah itu?
Tentu saja tidak semudah membalik telapak tangan atau seperti menggosok lampu aladin. Pertumbuhan ekonomi Kepri (dan Batam) yang pernah mencapai titik nadir, 2,02 persen dan saat ini sudah merangkak ke 5 persen, sudah pasti tidak mudah untuk menyentuh angka 8 persen, apalagi melewati dua digit. Singapura saja sekarang pertumbuhannya tidak sampai 2 persen. Tapi beda size, bro!
Menarik sebetulnya kalau kita tanyakan mau dibawa ke mana Batam ini setelah kepalanya dijabat oleh Wako Batam secara ex officio? Kali ini penyebutannya benar, karena ada frasa “dijabat oleh wako Batam secara ex officio”. Hehe…
Itulah pertanyaan penting sebetulnya. Bukankah rakyat atau pelaku pasar sebetulnya tidak begitu peduli siapa yang akan menjabat kepala BP Batam? Mau dipimpin seorang profesional atau orang terafiliasi dengan partai politik, misalnya, tidak begitu penting.
Sebab yang terpenting adalah apakah kemudian Batam dapat lebih baik, ekonomi tumbuh lebih tinggi, lapangan pekerjaan terbuka lebih luas, dan harga sembako lebih bersahabat? Inilah soalnya.
Secara sederhana, mungkin orang dapat berkata bahwa penyatuan kepemimpinan antara Pemko dengan BP Batam akan dapat mengurai berbagai persoalan. Sebab, ada tuduhan bahwa selama ini ada aroma kuat soal dualisme antara Pemko dan BP Batam. Hal itulah yang dituding sebagai penyebab utama melambatnya pertumbuhan ekonomi akibat tersendatnya berbagai perizinan dan pembangunan di Kota Batam.
Hmmm, akhirnya saya benar-benar kembali menulis soal ini. Harapannya, bukan untuk menyindir, nyinyir, atau mengkritik saja. Ini lebih kepada sumbangsih pikiran untuk siapapun yang memerlukan masukan. Bagi yang tidak memerlukannya, maaf, silakan tinggalkan tulisan ini. Lebih baik Anda baca berita-berita hiburan, olahraga, atau berita penusukan atas Menkopolhukam Wiranto yang sedang heboh itu. Boleh juga cari-cari berita tentang film Joker, si komedian yang “tersesat” menjadi jahat dan kemudian memusuhi Batman.
Saya sering mendapat pertanyaan, di banyak forum, setelah walikota memimpin BP Batam, apakah ekonomi akan kembali bergairah? Apakah hibah aset dari BP ke Pemko jadi lebih mudah? Apakah hubungan BP Batam dengan Pemko jadi harmonis? Apakah Pak Rudi kemudian bertahan jadi walikota dua periode atau naik kelas ke provinsi? Satu-persatu pertanyaan itu saya coba jawab, dan rencananya akan saya uraikan di bawah, kecuali pertanyaan terakhir, karena sensitif!
Soal ekonomi, iya, kita semua berharap bahwa penyatuan itu akan berdampak langsung terhadap perbaikan pertumbuhan ekonomi Batam. Mengapa demikian? Karena semua kita berkepentingan. Mari kita ambil satu contoh di sektor properti. Harapannya adalah semua perizinan terkait pembangunan properti jadi lebih cepat, dan lahan yang sudah dialokasikan segera terbangun. Tinggal lagi masalah permintaan pasar (demand) yang juga terkait dengan hukum pasar itu sendiri. Ada order, ada penjualan. Ada penjualan, akan menaikkan biaya promosi dan iklan. Media akan kebagian.
Perbaikan ekonomi juga akan menyebabkan efek domino, yang ujungnya akan menyentuh hal-hal lain yang lebih substantif. Misalnya, pertumbuhan ekonomi akan menyebabkan naiknya daya beli rakyat, lancarnya konsumsi, dan syukur-syukur menaikkan saving (tabungan). Bagi dunia usaha, ini tentu angin segar. Bisnis akan kembali bergairah karena daya beli rakyat akan membaik. Demikian pula jika sektor industri menerima order lebih banyak, tentu akan meningkatkan supply barang yang diproduksi, oleh karenanya memerlukan faktor produksi berupa tenaga kerja. Jika ini berjalan beriringan, dmapak lanjutannya adalah membaiknya pendapatan masya-rakat sekaligus konsumsi terhadap kebutuhan primer, sekunder, dan tertier.
Begitulah di antara harapan masyarakat yang secara sederhana melihat penyatuan kepemimpinan BP Batam dan Pemko Batam. Akan tetapi, tentu tak semudah itu. Menyatukan ritme kerja antara karyawan BP dengan Pemko, memerlukan keahlian khusus. Pemko Batam selama ini diidentikkan dengan pegawai rekrutmen daerah, sementara pegawai BP direkrut instansi pusat yang kemudian ditempatkan di Batam. Maqomnya berbeda, emosionalnya terhadap daerah juga belum tentu sama. Ditambah lagi, selama ini, ada semacam persaingan di antara kedua instansi dalam mengelola Batam.
Sejak kapan? Di era reformasi, persaingan itu terjadi sejak UU 53 tahun 1999 tentang Pembentukan Kota Batam disahkan pemerintah. Sebelumnya, sejak Batam masih berstatus kota administratif, bahkan ketika Batam baru mulai dikenal mengikuti induknya, Belakangpadang, bibit-bibit persaingan antara “orang pusat” dengan “orang daerah” mulai ada. Tapi, saya pribadi yakin dengan kemampuan HM Rudi. Tuh kan, saya terpaksa memuji akhirnya…
Singkat kata, selain hal-hal di atas, masih banyak PR Kepala BP Batam yang baru. Misalnya soal izin-izin yang sampai hari ini masih dipegang oleh instansi pusat di berbagai kementerian. BP Batam tentu tak semegah Otorita Batam dalam hal kewenangan. Kalau Otorita Batam dahulu, kewenangannya hampir tanpa batas. Hampir semua dilimpahkan pusat ke Otorita Batam. Kini, setelah menjadi BP Batam, sejak terbitnya Perppu I 2007, diikuti PP 46, tak semua izin dan kewenangan diberikan oleh pusat ke BP Batam.
Kepala BP yang baru punya PR yang cukup berat untuk itu. Belum lagi soal kewenangan lain seperti diatur dalam UU Pemda, hari ini sudah banyak dipegang oleh provinsi. Kewenangan pemanfataan laut misalnya, 0 sampai 12 mil, menjadi kewenangan pemerintah provinsi. Padahal, Batam adalah kota pulau yang dikelilingi lautan.
Bagaimana dengan lahan? Bagaimana pula soal UWTO (uang wajib tahunan otorita) yang di era BP Batam penyebutannya “disamarkan” menjadi UWT (uang wajib tahunan) itu? Bagaimana dengan janji yang kerap dilontarkan oleh Wako Batam yang ingin membebaskannya untuk permukiman di bawah 200 meter dan kampung tua? Sabar. Masih akan berproses. Sebab, tidak mudah merealisasikan sesuatu yang belum jelas benar payung hukumnya. Bisa-bisa si pengambil keputusan berurusan pula dengan hukum. Ah, sabar ya warga… Terima saja dulu kenyataan di era baru ini: Pemko-BP United! (*)