Kamis, 25 April 2024

Melihat Perjuangan Petugas Kesehatan di Pulau-Pulau Terpencil Indonesia

Berita Terkait

”Sedih karena saya tidak bisa berbuat banyak,” ucap bidan honorer Puskesmas Pembantu (Pustu) Pulau Satanger, Nike Indria. Pasien yang dia tolong meninggal karena preeklamsia dan terlambat dibawa ke daerah rujukan. Penyesalan seperti itu sering dirasakan oleh banyak tenaga medis di wilayah sulit.

Di sebuah sore Februari lalu, saat sedang santai, Nike dipanggil seorang warga di Pulau Satanger, Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep), Provinsi Sulawesi Selatan. Ada kondisi gawat. Seorang ibu muda hendak melahirkan, tapi pembukaan jalan lahir berjalan lambat.

”Sudah ditangani dukun, tapi tidak keluar (bayinya),” ujar dia.

Pukul 19.00 Nike sampai di rumah ibu tersebut. Baru pembukaan 5. Untuk mempercepat proses, pasien meminta izin jalan-jalan.

Dua jam berselang, Nike kembali memeriksa pembukaan. Hanya bertambah 2 cm. Pasien mulai stres, tapi tetap minta untuk jalan-jalan.

Tak lama kemudian ibu itu jatuh. Tubuhnya kejang. Matanya hanya kelihatan bagian putihnya.

Semua panik. Kejang berlangsung sekitar dua menit. Ibu tersebut kembali sadar. Nike mengecek tekanan darah.

Meski lupa angka pastinya, dia ingat betul angkanya tinggi. Pasien harus dirujuk untuk mendapat perawatan yang lebih lengkap.

Sayang, laut sedang surut. Kapal yang ada di bibir pantai tak bisa menuju ke tengah. Oke, ditunggu sampai besok pagi. Azan Subuh belum terdengar.

Langit masih gelap. Air sudah tinggi. Semalaman Nike menunggu pasiennya yang beberapa kali kejang itu.

Mengejar waktu, Nike ditemani keluarga pasien membawa ibu muda tersebut menuju Sumbawa. Estimasi perjalanan delapan jam.

”Kapalnya tidak menggunakan mesin mobil, jadi lama,” kenang perempuan 23 tahun itu.

Di perairan dekat Pulau Moyo, Nusa Tenggara Barat, pasien kembali kejang. Kali ini lebih parah.

Tubuhnya membiru. Aduh, apa yang harus dilakukan Nike yang jadi satu-satunya tenaga kesehatan (nakes) di kapal kayu itu?

Dia mencoba menjaga kesadaran pasien. Lainnya dipasrahkan kepada Yang Maha Kuasa.

”Saat kejang hanya bisa dilihatin. Perasaan sedih, tapi gimana?” ungkapnya.

Pasien selamat sampai Sumbawa dan segera dibawa ke rumah sakit. Dokter kandu-ngan di salah satu rumah sakit daerah memvakum bayi yang tak kunjung keluar.

Empat kali divakum, tak ada perkembangan. Yang terakhir menunjukkan bahwa tekanan bayi terlalu kuat.

Menurut Nike, itu akibat tensi si ibu masih tinggi. Paramedis memutuskan untuk melakukan operasi sesar.

Kurang lebih pukul 20.00 jabang bayi perempuan lahir. Semuanya lega. Tenaga harus dipulihkan, maka semua beristirahat.

Dini hari kabar duka datang. Si ibu meninggal dunia. Itu bukan kali pertama pengalaman yang memacu jantung Nike. Kerap dia panik karena keterbatasan dalam menangani pasien.

”Saya sering menjadi perawat merangkap dokter,” kelakarnya.

Sebagai satu-satunya tenaga di Pulau Satanger, Nike harus serbabisa. Tak hanya menolong ibu hamil, tapi juga melakukan pemeriksaan jika ada keluhan berbagai penyakit.

Sudah tiga tahun dia mengabdi sebagai tenaga kesehatan. Selama itu pula statusnya hanya tenaga harian.

Bayarannya tak lebih dari Rp 300 ribu per bulan. Itu pun dibayarkan tiga bulan sekali.
Meski demikian, Nike enggan meninggalkan tempat dinas yang merupakan tanah kelahirannya tersebut.

Bidan Nike Indira saat di temui di Pulau Sailus Besar, Sulawesi Selatan, Rabu (30/10/2019) lalu. Foto: Foto: Salman Toyibi/Jawa Pos

”Kata bapak, kalau saya saja meninggalkan Satanger, lalu bagaimana orang luar yang ditugaskan ke sana?” tuturnya.

Meski terbatas, Nike bertahan. Rasa kemanusiaan yang selalu memenangkan hatinya.
Tak berbeda dengan Nike, Asmilawati juga memilih mengabdi di wilayah sulit.

Perawat honorer di Puskesmas Pulau Sailus itu ingin pemerintah memperhatikan tenaga kesehatan di wilayah sulit.

Salah satunya dengan pengangkatan tenaga kesehatan yang berasal dari putra daerah.
Mila, sapaan Asmilawati, sudah tujuh tahun mengabdi.

Dia asli Pulau Sapuka, ibu kota Kecamatan Liukang Tangaya. Kurang lebih sepuluh jam perjalanan dengan kapal kecepatan 7 knot dari Pulau Sailus Besar.

”Dengan risiko lebih tinggi, seharusnya ada tunjangan yang lebih besar. Agar ada yang tertarik ke pulau,” tuturnya.

Selain itu, Mila menyarankan agar ada pelatihan untuk tenaga kesehatan. Dengan keterbatasan sumber daya, tenaga kesehatan yang hanya satu atau dua orang harus serbabisa. Update ilmu, menurut dia, harus dilakukan.

Jika di kota perkembangan bisa berjalan cepat, sayangnya tidak di Pulau Sailus. Tak ada operator telepon yang masuk.

Sehingga untuk berkomunikasi menggunakan radio. Sebenarnya ada satu warga yang menyediakan wifi.

Namun, biayanya cukup menguras kantong. Untuk kuota internet 50 mb, warga harus merogoh Rp 15 ribu.

Janji untuk membawa jaringan ke Pulau Sailus sudah kerap diutarakan politisi di setiap kampanye. Warga sampai tak percaya lagi dengan janji itu.

Hal tersebut yang menghambat perkembangan di Pulau Sailus. Jika saluran informasi di Sailus lancar, Mila bermimpi bisa menghubungi seniornya ketika ada kesulitan. Hal itu pasti akan membantunya dalam menolong warga yang sakit.

Keterbatasan tak membuat Nike dan Mila mengeluh. Sebab, keluhan saja tak bisa menolong warga yang sakit.

Di luar sana mungkin ada ribuan Nike dan Mila yang bertahan dalam keterbatasan demi kesehatan.

Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Kabupaten Pangkajene, Indriaty Latief, saat dihubungi Jawa Pos (grup Batam Pos) menyatakan bahwa tenaga kesehatan menjadi masalah pokok di Kecamatan Liukang Tangaya.

Hanya ada satu atau dua yang sudah PNS di puskesmas. Selain itu, semuanya tenaga lepas harian.

”Pendapatannya di bawah upah minimal provinsi,” ucapnya.

Indriaty mengatakan bahwa sebelumnya ada pegawai tidak tetap (PTT) yang dibiayai pusat.

Sekarang program tersebut dihapus dan diganti dengan program Nusantara Sehat (NS). Program itu, menurut dia, kurang. Sebab, tidak semua ditempatkan di puskesmas dan hanya tinggal selama satu tahun.

”Kami tidak bisa berbuat apa-apa karena anggaran kecil. Kami mau berikan honor yang besar, tapi tidak bisa,” ujarnya.

Majelis Pengembangan Pelayanan Keprofesian (MPPK) PB Ikatan Dokter Indonesia (IDI), dr Poedjo Hartono SpOG, menjelaskan penyebaran tenaga kesehatan memang menjadi problem.

Wilayah sulit acap kali dihindari. Hal itu, menurut dia, manusiawi karena susah dijangkau dan banyak keterbatasan.

”Terobosannya, orang lokal disekolahkan dan wajib kerja di daerahnya,” tutur dia.

Program penyebaran tenaga kesehatan seperti NS, menurut Poedjo, tidak banyak diminati. Bahkan, program wajib kerja dokter spesialis (WKDS) sampai digugat dan akhirnya aturannya dibatalkan Mahkamah Agung.

”Padahal, ada janji gaji yang besar dan sebagainya,” ungkap dia.

Menurut Poedjo, persebaran tenaga kesehatan yang belum merata bukan hanya masalah pemerintah pusat.

Pemerintah daerah juga harus hadir. Apalagi, sejumlah kasus kesehatan menimpa anak yang semestinya menjadi penerus generasi bangsa.(Ferlynda Putri/c9/ayi/jpg)

Update