Kamis, 25 April 2024

Korban Penipuan First Travel Gigit Jari

Berita Terkait

batampos.co.id – Kejaksaan Negeri (Kejari) Kota Depok segera melelang barang bukti dan sitaan kasus penipuan umrah First Travel (FT).

Sejumlah 72.682 orang korban penipuan bakal gigit jari. Sebab uang hasil lelang itu bakal dimasukkan ke dalam kas negara.

Kabar ini sontak mendapatkan respons negatif dari pihak korban penipuan perusahaan milik Andika Surachman dan Anniesa Hasibuan itu.

Di antaranya disampaikan oleh Victorianus L. Maitimo. Warga Surabaya ini, bersama 90 lebih orang lainnya, menjadi korban First Travel dari kantor cabang Sidoarjo.

’’Ya jelas kecewa,’’ katanya, Kamis (14/11/2019).

Dia merasa agak aneh dengan keputusan tersebut. Sebab uang yang dihimpun FT merupakan uang rakyat.

Uang umat Islam yang ingin menjalankan umrah melalui FT yang saat itu mendapatkan izin resmi dari Kementerian Agama (Kemenag).

Nah, setelah keluar keputusannya, uang hasil lelang aset kekayaan FT nanti kok masuk ke kas negara.

Dia menegaskan dalam kasus penipuan FT ini negara sama sekali tidak dirugikan. Berbeda dengan kasus korupsi anggaran negara, wajar jika kemudian uangnya kembali ke kas negara.

Polisi menggeledah kantor First Travel di TB Simatupang, beberapa waktu lalu. Sebanyak 72.682 orang korban penipuan bakal gigit jari, uang hasil lelang bakal dimasukkan ke dalam kas negara. Foto: Miftahulhayat/Jawa Pos

Victor menceritakan jemaah FT melaporkan kasus ini ke negara karena merasa ditipu. Kemudian negara melalui aparat penegak hukumnya membantu masyarakat.

Sampai akhirnya pemilik FT telah dijatuhi sanksi.

’’Kemudian kalau asetnya dilelang, uangnya itu harapannya bisa dikembalikan ke jamaah,’’ jelasnya.

Kasus penipuan FT ini mencuat para 2017 lalu. FT dikenal sebagai travel umrah resmi yang mematok tarif di bawah rata-rata.

Hanya sekitar Rp 14,3 juta, jemaah sudah dijanjikan bisa menjalankan ibadah umrah. Ternyata akhirnya puluhan ribu jemaah tidak bisa diberangkatkan.

Uangnya ludes. Diperkirakan uang yang berhasil dike-ruk FT dari masyarakat sekitar Rp 1 triliun.

Putusan Kajari itu sendiri belum disikapi secara tegas oleh Kejaksaan Agung. Jawa Pos (grup Batam Pos) mengkonfirmasi tentang putusan tersebut dan dasar hukum yang menguatkan putusan agar hasil lelang barang bukti diserahkan ke negara alih-alih ke jemaah korban.

”Belum terkonfirmasi,” jelas Kepala Pusat Penerangan Hukum (Puspenkum) Kejagung Mukri, kemarin.

Sementara informasi dari Kejari Depok, pelelangan barang bukti tersebut belum dimulai.

Untuk pelelangan barang bukti sitaan, institusi penegak hukum seperti Kejagung berpedoman pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 13/PMK.06/2018.

Ada beberapa jenis prosedur pelelangan yang diatur dalam pasal 4, berdasarkan status kepemilikan barang sitaan tersebut.

Di antaranya pemilik barang atau yang berhak atas barang tersebut tidak ditemukan.
Namun, Kajari Depok sebelumnya menjelaskan bahwa pihaknya mengeluarkan putusan tidak mengembalikan barang rampasan ke korban karena khawatir pembagian tidak jelas antara ribuan korban.

Di sisi lain, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menyayangkan tidak adanya pertimbangan kerugian terhadap korban.

Memang benar jika pembagian dikhawatirkan tidak sesuai dengan kerugian masing-masing korban karena jumlah barang sitaan sendiri tidak sebanyak dana yang digelapkan dari jemaah.

Namun, tetap saja harus ada pengembalian ke korban walau tidak utuh, bukan mengambil putusan yang terkesan malah me-nguntungkan negara.

”Negara yang tidak mengala-mi kerugian justru mendapatkan tambahan untuk kas negara. Sudah seharusnya terobosan hakim juga memikirkan kerugian yang dialami puluhan ribu korban,” terang Wakil Ketua LPSK, Maneger Nasution, kemarin.

Maneger mendesak perspektif korban harus diutamakan, karena posisi mereka yang mengalami kerugian dobel.

Selain ditipu, tidak jadi berangkat umrah atau haji, dan kini uang mereka pun menguap begitu saja.

Pakar hukum pidana Abdul Fickar Hadjar menyampaikan bahwa putusan tersebut keliru. Dia menilai hakim yang memutus perkara tersebut sudah melampaui kewenangan.

”Seharusnya hakim pidana hanya mengadili perbuatan dan meng-hukum penjara,” terang dia.

Terkait dengan aset, harusnya diserahkan kepada korporasi.

”Untuk kemudian berurusan secara perdata dengan para korban,” tambahnya.

Dengan keluarnya putusan tersebut, para korban bisa saja mengajukan gugatan untuk menuntut hak mereka.

”Kecuali korporasinya menjadi terdakwa. Bisa menjadi alasan dirampas negara,” imbuh Fickar.

Senada dengan Fickar, pakar hukum pidana Suparji Ahmad menyebut, negara tidak memiliki legal standing untuk mengelola aset yang bersumber dari uang calon jemaah umrah First Travel.

Namun demikian, hakim yang menyidangkan perkara tersebut punya kewenangan untuk memutus sesuai pertimbangan mereka.

”Hakim memiliki otoritas untuk menemukan hukum dalam rangka menyelesaikan masalah tersebut,” jelas Suparji.

Dalam pertimbangannya, lanjut dia, hakim khawatir muncul persoalan baru apabila hasil lelang aset First Travel dikembalikan kepada calon jemaah umrah.

Pengadilan menilai, pengembalian kepada calon jemaah umrah sulit.

”Takut ada rebutan di antara jamaah,” ungkapnya.

Karena itu, hakim memutuskan supaya hasil lelang aset First Travel masuk kas negara.

Sehingga potensi muncul masalah baru bisa dihindari. Hanya, putusan itu juga memantik pertanyaan.

”Negara tidak mengalami kerugian. Mengapa kemudian malah disita barang (aset Firs Travel) itu,” lanjutnya.(wan/syn/deb/jpg)

Update