Kamis, 28 Maret 2024

Amanda Putri Witdarmono, Dirikan We The Teachers untuk Guru di Indonesia

Berita Terkait

Guru memiliki peran penting dalam pendidikan karakter anak sejak usia dini. Peduli tentang peran guru di Indonesia dalam mendidik penerus bangsa, Amanda Putri Witdarmono mendirikan organisasi We The Teachers (WTT).

Senyum bahagia mengembang di wajah Amanda saat menyambut rombongan Louis Dreyfus Company (LDC) Indonesia di SMAN 1 Batu Brak, Lampung Barat.

Perempuan 31 tahun itu lalu membimbing kami untuk memasuki ruang kepala sekolah. Dia memberikan penjelasan tentang program We The Teachers dan LDC Indonesia di sekolah tersebut.

Setelah itu, Amanda mengajak kami berkeliling sekolah dan masuk ke salah satu ruang kelas yang riuh oleh suara anak-anak.

Di situ, Otik Nawansih tengah mengajarkan pengolahan kopi basah kepada para siswa. Sekitar 70 siswa antusias mengikuti penjelasan dosen teknologi hasil pertanian Universitas Lampung itu.

Dalam satu momen, terlihat seorang siswa, Iwan Saputra, membacakan presentasi tentang cara pengolahan kopi basah.

Presentasi itu berisi sejumlah penjelasan yang sebelumnya dipaparkan Otik yang berstatus guru tamu di SMA 1 Batu Brak.

“Kami survei ke industri dan agronomis untuk melihat apa yang dibutuhkan industri dan apa yang harus dilakukan petani masa depan. Karena ini untuk jangka panjang 5–10 tahun seperti apa,” terang lulusan SD Santa Ursula tersebut.

WTT merupakan lembaga yang digandeng LDC, perusahaan pengolah produk pertanian asal Swiss, untuk memberikan pelatihan kepada siswa SMA.

Khusus SMA 1 Batu Brak, mereka diberi pengetahuan industri dan keterampilan pertanian kopi.

“Mayoritas anak di sini adalah anak petani kopi,” jelas Amanda.

Materi pelatihan pun berkisar tentang teori penanaman kopi, siklus pertanian kopi, dan ekonomi pertanian.

Diharapkan, siswa paham akan teknik penanaman dan pengolahan kopi yang optimal. Selain SMAN 1 Batu Brak, WTT telah melakukan pembinaan kepada guru di puluhan sekolah di Indonesia.

WTT lahir karena pengalaman pribadi Amanda. Lulusan jurusan pendidikan dasar (elementary education) Boston University itu merasa peran guru sangat penting baginya dalam beradaptasi di sekolah.

Sebab, Amanda berbeda dengan teman-teman sebanyanya. Saat SD, dia hanya menempuh pendidikan dasar itu selama empat tahun.

Masa perkuliahan juga diawali Amanda lebih dini, yakni pada usia 16 tahun.

“Agak berat karena mental yang berbeda dengan teman-teman,” ungkap lulusan SMA Methodist Girls School di Singapura itu.

Usia yang lebih muda daripada teman sebayanya membuat Amanda minder. Meski berstatus teman seangkatan, perbedaan usia membuat Amanda dianggap berbeda oleh teman-temannya.

“Walau secara jenjang kelas saya sudah di tingkat yang cukup tinggi, kan secara fisik maupun mental sebenarnya saya masih kecil. Sehingga kadang kesulitan beradaptasi dan diejek anak kecil,” paparnya.

Salah satu kegiatan We The Teachers dan LDC Indonesia di SMAN 1 Batu Brak, Lampung Barat. Foto: Virdita R. R/Jawa Pos

Di situlah Amanda merasakan bahwa peran guru sangat penting dalam pembentukan karakter seseorang.

WTT muncul saat Amanda berupaya mengerjakan tesisnya pada 2014. Ketika itu, dia mengambil master bidang pengembangan pendidikan internasional (international education development) di Columbia University, AS.

Amanda yang telah merasakan pendidikan sebagai guru selama empat tahun di Negeri Paman Sam ingin membandingkannya dengan pendidikan guru di Tanah Air.

Dia lalu melakukan survei di program studi pendidikan guru sekolah dasar di Indonesia.
Dari tesis tersebut, ditemukan beberapa perbedaan.

Misalnya, dalam pendidikan sekolah dasar di AS, mahasiswa sudah wajib mengajar pada hari ketiga masuk kuliah.

Sementara itu, di Indonesia, mahasiswa baru bisa terjun praktik mengajar saat tingkat ketiga kuliah atau semester keenam.

“(Saya) buatlah tesis tentang itu. Salah satu suggestion-nya membuat school based teacher training,” ungkapnya.

Sebenarnya, setiap tahun guru memiliki jatah jam training. Namun, karena kendala penyedia training yang tidak sebanyak kuantitas guru, setiap guru baru bisa ikut training 2–3 tiga tahun sekali.

Setelah mendapat gelar master pada tahun yang sama dengan berdirinya WTT, Amanda pun memilih untuk kembali ke Tanah Air.

Tekadnya hanya satu, mengabdikan diri dan berbagi ilmu dengan para guru di tanah air.
WTT sebagai lembaga nonprofit mempunyai slogan Reimagine Teaching untuk mendorong pengembangan guru-guru Indonesia.

“Kita jadi guru itu seperti naik helikopter, untuk melihat apa saja elemen lain yang berpengaruh pada pendidikan itu sendiri,” katanya.

Program pelatihan guru yang dilakukan WTT minimal harus berjalan selama 6 bulan di suatu sekolah.

Kegiatan yang diberikan WTT cukup beragam. Selain pelatihan bagi guru, WTT memberikan pengembangan kurikulum untuk mulok (muatan lokal).

Mereka juga mengupayakan distribusi peralatan sekolah seperti sepatu dan seragam.

“Saya berjalan dengan kepercayaan we have great teachers. Guru itu profesi baper (bawa perasaan, red),” paparnya.

“Kalau tidak menaruh hati, tidak akan tahan menjadi guru sehingga tetap ada sisi yang bisa digali dan bisa bermanfaat bagi sekitar,” ujarnya lagi.

Awalnya, WTT hanya melakukan pelatihan di Pulau Jawa seperti DI Jogjakarta, Jawa Tengah, DKI Jakarta, serta Jawa Barat.

Seiring berjalannya waktu, WTT pun mulai melakukan pelatihan ke berbagai wilayah selain Jawa.

Sebagian guru di daerah seperti Lampung Barat, Bengkulu, Balikpapan, Sumba Barat Daya, dan Kepulauan Sangihe telah mendapat pelatihan dari WTT.

Selama memberikan training, Amanda juga belajar banyak. Dia menyadari, guru-guru di Indonesia selama ini berjuang dengan kesulitan masing-masing.

Terutama mereka yang mengajar di daerah luar perkotaan.

“Pengalaman mengajar di rural area memang sangat berbeda dengan di perkotaan,” ujarnya.

Meski demikian, dia juga sering menemui pahlawan-pahlawan pendidikan di daerah. Ada sejumlah guru maupun kepala sekolah yang berani bertindak demi anak didik maupun sekolah mereka.

WTT pernah membuat sayembara untuk mendengar cerita guru-guru di seluruh Indonesia.

Amanda mendapati kisah guru di Papua Barat yang berjuang naik motor, lewati medan berlumpur-lumpur, hanya untuk mendaftarkan anak didiknya ikut olimpiade.

Sang guru percaya bahwa panggung olimpiade sangat berpengaruh bagi anak didiknya untuk meningkatkan kepercayaan diri, kedisiplinan, daya saing, maupun pengetahuan.

Ada pula guru-guru yang sampai mengajukan proposal ke perbankan untuk meminta sumbangan komputer agar anak-anak mereka bisa belajar untuk menghadapi ujian nasional berbasis komputer (UNBK).

Dari hasil sayembara tersebut, WTT pun mengirimkan paket materi training bagi guru-guru yang berkontribusi.

“Banyak sekali cerita mikro yang tidak terangkat dari ruang kelas. Willing (tekad, red) untuk anak-anak dan cerita-cerita tersebut tidak banyak yang tahu,” ungkapnya.

WTT menggunakan skema fundraising guna membiayai proyek mereka. Tak jarang, sejumlah korporasi menggandeng WTT guna me­ngembangkan sekolah yang menjadi bagian dari corporate social responsibility (CSR) perusahaan.

Salah satunya LDC Indonesia yang memiliki program sekolah masa depan di sejumlah wilayah operasional perusahaan mereka, yakni Lampung Barat dan Balikpapan.

Di Balikpapan, WTT dan LDC Indonesia memberikan sejumlah pengembangan guru dan sekolah di SD Negeri 4 Penajam, Penajam Paser Utara.

Guru-guru di sekolah tersebut setiap hari harus menaiki perahu. Mereka menyeberang dari Kota Balikpapan ke Penajam Paser Utara demi mengajar.

Setiap metode yang digunakan Amanda untuk pelatihan berbeda. Dia mempertimbangkan aspek sosial dan budaya di setiap daerah.

Sebab, setiap karakter pendidik dan siswa tidak lepas dari konteks budaya wilayah masing-masing.

“Budaya adat menjadi bagian besar dalam pendidikan. Lalu, kita pahami aspirasi pendidikannya kenapa masyarakat ke sekolah juga berbeda-beda,” ungkapnya.

Misalnya, di masyarakat urban atau perkotaan, seorang siswa bersekolah untuk mendapatkan pekerjaan.

Hal itu berbeda dengan di Nusa Tenggara Timur. Siswa bersekolah untuk membahagiakan orangtua.

“Biasanya yang kita tinggalkan adalah program-program sekolah dengan value set. Misalnya, tertib, aman dari sisi sosial, bebas bullying yang mereka dalami lagi jadi program sekolah dan kelas,” paparnya.

WTT juga selalu melakukan evaluasi dengan mengadakan pretest dan posttest dengan pertanyaan yang sama untuk melihat dampaknya.

Amanda memandang, tantangan berkecimpung di dunia pendidikan memang berat secara sistemik.

Banyak hal yang membuat guru tidak kreatif. Padahal, mereka juga ingin berkembang dan berperan di dunia pendidikan.

Tantangan sosial, infrastruktur, budaya, dan ekonomi menjadi hambatan bagi guru.
Amanda menilai, guru sulit mendapat ruang gerak karena kewajiban tatap muka 24 jam dalam seminggu.

Po­la itu berbeda dengan Si­ngapura. Kewajiban mengajar 24 jam dibagi dalam 8 jam tatap muka, 8 jam persiapan, 6 jam one-on-one dengan siswa, serta 2 jam untuk ekstrakurikuler.

“Padahal, diperlukan pula persiapan untuk tatap muka. RPP (rencana pelaksanaan pembelajaran) kayak gimana,” jelasnya.

“Nah, banyak hal terkait dengan sistem yang akhirnya membuat guru sulit bernapas,” tuturnya.

Mengajar, kata Amanda, memang memerlukan kesiapan mental. Secapai apa pun seorang guru, dia harus siap saat menghadapi murid-muridnya.

“Memang harus bangun lebih pagi. Sampai di sekolah, secapek apa pun, sudah harus on,” tegasnya.(*/c5/bay/jpg)

Update