Jumat, 29 Maret 2024

Gangguan Jiwa Mematikan yang Banyak Menelan Korban

Berita Terkait

“Suicide is not a blot on anyone’s name; it is a tragedy.”—Kay Redfield Jamison

Kematian dari dua orang artis perempuan asal negeri ginseng yaitu Sulli (eks personel f(x)) pada tanggal 14 Oktober 2019 dan kemudian disusul dengan Goo Ha-Ra sebulan setelahnya yaitu 24 November 2019 menyebabkan dunia hiburan kembali diselimuti oleh kabar duka.

Hal ini tentu membuat penggemarnya dan orang-orang yang mendengar berita tersebut heran dan bertanya-tanya dalam hati, mengapa? Kecantikan paras, penggemar yang menyayanginya, barang-barang bagus dan mewah impian banyak orang, rumah mewah dan nyaman, kekayaan dan rasanya banyak hal sudah dimilikinya, apa lagi yang kurang dalam hidupnya?

Mengapa memilih mengakhiri hidupnya? Meski sesungguhnya pada dasarnya pertanyaan tersebut sudah salah dari awal, karena bagaimanapun kekayaan dan material tidak selalu berbanding lurus dengan kebahagiaan, kita tahu itu. Tapi, tetap saja, mengapa?

Terlepas dari berbagai spekulasi mengenai penyebab dari aksi bunuh diri yang dilakukan sang artis, faktor yang dapat meningkatkan resiko bunuh diri pada seseorang umumnya banyak dan kompleks dan salah satu diantaranya adalah gangguan kejiwaan.

Sejalan dengan hal  tersebut, penemuan oleh studi terbaru yang dilakukan seorang psikiater asal Jerman bernama Bachmann S (2018) menunjukkan bahwa kebanyakan dari kasus bunuh diri berhubungan dengan maupun disebabkan oleh depresi.

Terdapat studi lain yang mendukung yaitu diperkirakan bahwa resiko bunuh diri ditemukan lebih tinggi 5 sampai 8 persen pada beberapa orang yang memiliki gangguan mental yaitu depresi, alkoholisme dan skitzofrenia.

Pada kasus bunuh diri dua artis tersebut, pemberitaan  mengaitkannya dengan depresi. Lalu, apa itu depresi?

Perlu diingat bahwa depresi berbeda dengan kesedihan ataupun stress. Stress merupakan bentuk respon tubuh terhadap suatu perubahan yang terjadi, contohnya ketika kita ditinggalkan oleh seseorang yang kita cintai lalu bentuk responnya adalah dengan kita sedih dan menangis.

Maka, stress bisa menjadi salah satu pemicu depresi pada seseorang. Dan mengenai kesedihan, biasanya orang akan mengalami rasa sedih akibat sesuatu untuk beberapa saat, itu normal.

Namun ketika kesedihan tersebut terasa berlarut-larut, mengganggu aktivitas dan terjadi selama lebih dari 2 minggu, maka hal tersebut perlu diperiksa lebih lanjut. Penyebab depresi pada tiap orang pun beragam.

Stres, pengalaman traumatis, mengonsumsi obat tertentu hingga faktor genetika dapat menyebabkan seseorang merasa depresi.

Depresi juga berdampak pada otak dimana terjadi penuruan aktivitas pada otak, ketidakseimbangan senyawa kimia di otak hingga volume bagian di otak yaitu hippocampus yang mengecil.

Depresi memiliki kaitan erat dengan pain (rasa sakit) dimana depresi dapat menyebabkan rasa sakit pada bagian tubuh tertentu dan rasa sakit pada bagian tubuh dapat menyebabkan seseorang merasa depresi (Hall-Flavin, 2019).

Meski peneliti kontemporer masih merumuskan pain tersebut sebagai sesuatu yang kompleks namun selain physical pain (rasa sakit fisik) terdapat istilah mental pain atau emotional pain yaitu rasa sakit psikologis yang diakibatkan suatu hal yang bersifat non-fisik.

Studi terbaru menunjukkan bahwa saat kita merasakan sakit secara emosional, bagian otak yang aktif sama dengan ketika kita merasakan sakit secara fisik.

Hasilnya adalah bagian otak yang aktif pada saat seseorang mengalami sakit secara fisik yaitu somatosensory cortex dan dorsal posterior insula—­juga aktif pada saat seseorang mengalami social rejection tersebut (Kross, Berman, Walter, Smith, & Wager, 2011).

Seseorang yang depresi bisa saja merasakan keduanya, yaitu sakit secara fisik maupun mental.

Perasaan sakit tak tertahankan yang dialami tersebut dapat menjadi penyebab seseorang memilih jalan bunuh diri dan akhirnya sebagai penghenti atau jalan keluar atas rasa sakit baik fisik maupun mental yang ia rasakan.

Meski begitu, kabar mengenai bunuh diri yang dilakukan oleh seseorang seringkali mengejutkan, pasalnya hal tersebut acapkali tidak terduga.

Barangkali pada hari ini ia terlihat tersenyum dan tertawa bersama, namun siapa sangka keesokannya ia bisa saja ditemukan sudah tidak bernyawa.

Berdasarkan studi yang dilakukan oleh beberapa peneliti asal Universitas Helsinki-Finlandia, 45 persen orang yang meninggal karena bunuh diri sebelumnya melakukan konsultasi kepada dokter tanpa mengungkapkan ide, pikiran maupun keinginan bunuh dirinya (Isometsa, Heikkinen, Marttunen, Henriksson, 1995).

Hal tersebut pula lah yang tampaknya kita temukan pada kasus beberapa artis yang melakukan bunuh diri belakangan ini, dimana bahkan tidak lama sebelum mengakhiri nyawanya tersebut, ia sempat mengunggah­ gambar dirinya yang tak menunjukan tanda-tanda apapun di media sosial Instagram.

Penting bagi kita untuk peka terhadap sekitar. Jangan menyepelekan orang di sekitar kita yang mulai menunjukkan tanda-tanda ataupun membicarakan tentang bunuh diri.

Dorongan bunuh diri yang dilakukan oleh orang memang beragam dan kompleks, apapun itu jangan menjustifikasinya dan menganggapnya remeh, ingatlah bahwa mental illness is not a personal failure.

Terkait persoalan bunuh diri ini terdapat hal yang paling kecil yang bisa kita lakukan yaitu mengidentifikasi diri sendiri terlebih dahulu, sebagaimana pepatah yang mengatakan mencegah lebih baik daripada mengobati.

Identifikasi yang dimaksud adalah dengan merasakan, menyadari dan mengakui akan hal yang terjadi dalam diri.

Kenali dan sadari bagaimana kondisi kesehatan mental kita kini. Tidak perlu membenci atau marah kepada diri sendiri jika ternyata mental kita tidak sedang baik-baik saja, karena selain fisik mental kita juga bisa ‘sakit’.

Jangan ragu dan takut untuk segera berkonsultasi ke psikolog. Ingatlah hal ini; ketika terbesit pemikiran dan ide terkait bunuh diri, jangan biarkan dirimu tenggelam dalam pemikiran tersebut.

Beranikan diri untuk membicarakan hal tersebut kepada orang yang kita percaya, atau jika masih tidak berani gunakan layanan konseling daring yang kini banyak tersedia.

Jangan khawatir, depresi itu bisa dialami oleh siapa saja dan ia dapat disembuhkan. Sayangi dirimu, ya!

Oleh Talidah Putri Syafril

Mahasiswi Semester 1 Psikologi Universitas Brawijaya

Update