Sabtu, 20 April 2024

Nobar Nostalgia

Berita Terkait

SELASA (10/12) lalu, bersama ratusan komunitas suporter sepakbola Ultras Garuda, saya diajak nonton bareng (nobar) final sepak bola SEA Games 2019. Lokasinya di areal parkir Kepri Mall, bersebelahan dengan jalan raya jalur Mukakuning-Batuampar. Gerimis sesekali menyiram kami.

Tiga hari sebelumnya, saya dihubungi Mbak Ning, begitu Siti Isbandiyah biasa disapa. Dia mengajak diskusi soal rencana nobar tersebut. Sebetulnya ada juga Mas Nopi, pimpinan Ultras Garuda Kota Batam dan satu lagi temannya yang saya lupa namanya.

Kami diskusi ditemani Mas Eddy Prasetyo yang baru mendarat dari Jakarta.
Kami diskusi sebentar memilih tempat nobar, yang awalnya ada dua opsi yakni Dataran Engku Puteri atau bundaran BP Batam. Namun karena bos kedua lokasi itu sedang menunaikan umrah, tak ada satu pun pejabat yang bisa mengeluarkan izin pemakaian tempat, akhirnya kami pilih Kepri Mall. Ada yang menjanjikan izin, namun harus memasukkan surat dulu. Wah, sudah kasip. Itu hari Sabtu dan libur pula. Ya sudah, Kepri Mall tempat yang cukup memadai.

Terus terang, saya menerima ajakan nobar final SEA Games sepak bola itu sebetulnya cuma ingin bernostalgia. Siapa tahu, kehadiran malam itu bisa menyaksikan Indonesia meraih emas setelah 28 tahun puasa gelar cabor sepakbola. Namun apa boleh buat, Evan Dimas dkk belum berhasil mempersembahkan emas bagi Indonesia. Kembali Indonesia meraih perak.

Sebelum nobar, saya sempat memprediksi, siapapun yang berhasil menyarangkan gol pertama kali, apakah Indonesia atau Vietnam, maka tim itulah yang akan tampil sebagai juara. Sebab, melihat perjalanan tim pasukan Indra Syafri di babak sebelumnya, kemenangan atau kekalahan Tim Garuda memang tergantung gol pertama. Terbukti, malam itu timnas tampil anti-klimaks, dicukur Vietnam 0-3.

Tak mengapa. Meskipun kalah, Garuda tetap di dadaku. Begitu saya menghibur diri. Apalagi malam ini cuaca kurang bersahabat. Gerimis menerpa beberapa kali. Hebatnya, ratusan suporter Ultras Garuda tidak banyak yang beranjak dari lapangan yang mulai basah itu. Semuanya mengelu-elukan Timnas. Sebagai penghangat suasana, panitia menghadirkan biduanita yang “salah kostum” malam itu. Ya iyalah, anginnya lumayan kencang mengganggu rok mini penyanyi malam itu.

Saya memang sedang bernostalgia. Meskipun acara nobar malam itu tak sesuai skenario, namun saya cukup terhibur. Istri dan anak-anak saya tinggalkan di sebuah kafe di pelataran Kepri Mall. Mereka melihat dari kejauhan saja, karena gerimis tak henti-hentinya. Anak sulung saya, Abin, tetap berada di antara kerumunan penonton.

Tahun 1993 yang lalu, ketika masih menjadi mahasiswa di Universitas Riau (Unri) Pekanbaru, saya memulai karir sebagai reporter olahraga di Harian Riau Pos. Senior saya yang jadi redaktur olahraga waktu itu silih berganti, setelah Taufik Muntasir pindah ke Ade Adran Syahlan. Tulisan-tulisan olahraga yang saya buat diterima dengan baik dan jarang diedit oleh keduanya. Sampai akhirnya, Ade selalu bertanya ketika KL (koordinator liputan) menyerahkan naskah kepadanya, “Berita siapa? Kalau Candra, tak usah diedit lagi, langsung layout,” katanya. Saya bangga sekali. Hehe…

Waktu menjadi wartawan olahraga itulah saya mulai asyik keliling Indonesia untuk meliput berbagai pertandingan. Saya berkeliling Sumatera, Jawa, Kalimantan, hingga Sulawesi. Mulai meliput sepak bola, sepak takraw, hingga multi cabang seperti Porwil dan PON. Saya sempat meliput Porwil di Banda Aceh, selama dua pekan sebelum terkena tsunami. Saat itu, Pekanbaru, Riau, baru punya satu tim sepak bola yang mulai sukses, yakni PSPS Pekanbaru. Saya ikuti jejak perjalanan PSPS dari Divisi II ke Divisi I. Bertanding dari satu kota ke kota yang lain. Hingga akhirnya PSPS masuk ke divisi elite Liga Indonesia, yakni Divisi Utama. Tahun 2005 saya pindah ke Batam Pos di Batam dan sejak saat itu sudah jarang keliling meliput sepak bola.

Ya, saya memang sedang bernoslatgia di Kepri Mall malam itu. Meskipun bukan untuk meliput, tapi berada di antara kerumunan suporter sepak bola yang tidak satu pun membawa atribut klub, sungguh menyenangkan. Malam itu hanya ada satu, suporter Timnas Garuda. Saya bangga berada di sana, meskipun saat menulis catatan kecil ini hidung saya masih meler dan tersumbat, pun emas belum berhasil didapat. Tak mengapa.

Ibarat kata Mas Nopi, di atas panggung: “Kita di sini tanpa bendera apapun, tanpa jersey apapun, kecuali Indonesia!” (***)

Update