Selasa, 16 April 2024

Mimpi Para Pekerja Migran Indonesia di Singapura yang Terwujud

Berita Terkait

Mengikuti jejak adik memakai toga dan menyemangati anak adalah sebagian alasan para asisten rumah tangga asal Indonesia di Singapura hingga akhirnya bisa diwisuda. Majikan ikut mendukung dengan membelikan laptop atau membiayai kuliah sampai selesai.

HARI itu semestinya jadi hari yang paling membanggakan bagi Wiratna. Tapi, terasa ada yang kurang. Sang bapak sakit sehingga tak bisa datang. Sedangkan kakak dan adiknya harus bekerja.

“Jadi, cuma video call saja. Terharu sekali rasanya bisa menunjukkan ke bapak kalau saya pakai toga,” kenang Ratna, sapaan akrabnya, ketika dia diwisuda sebagai sarjana sastra Inggris Universitas Terbuka (UT).

Matanya tampak berkaca-kaca. Meninggalkan Kediri untuk menjadi pekerja migran di Singapura pada 1999, menjadi sarjana memang sesuatu yang tak terbayangkan oleh Ratna. Pendidikan terakhirnya cuma SMP.

“Rumah saya dari gedek (anyaman bambu). Orangtua sering berutang untuk beli beras,” ungkap perempuan 37 tahun itu saat ditemui di Singapura Sabtu (28/12/2019) lalu.

Namun, semua kesulitan itu tak pernah menghentikannya untuk memupuk mimpi. Tawaran menjadi asisten rumah tangga di Singa­pura dia terima karena bisa memberinya penghasilan memadai.

Dan dari sana dia bisa mengumpulkan bekal untuk sekolah lagi.

“Dulu penginnya dua tahun saja. Eh, keterusan sampai sekarang,” lanjutnya.

Termasuk pendidikannya yang juga “keterusan”. Sampai akhirnya bisa menyabet gelar sarjana sembari tetap bekerja sebagai asisten rumah tangga.

Wiratna satu di antara 800 pekerja migran Indonesia (PMI) di Singapura yang berkuliah di UT.

Sebanyak 13 di antaranya diwisuda sebagai sarjana di Jakarta pada 12 November tahun lalu. Sejumlah lainnya diwisuda di Batam dan Singapura.

Tentu saja tak mudah berkuliah sembari bekerja, apalagi sebagai asisten rumah tangga di negeri orang.

Menyisihkan waktu dan tenaga serta di saat yang sama menanggung beban sebagai tumpuan keluarga di kampung halaman.

Ratna mengenang, sebelum pindah ke majikannya sekarang, dirinya sudah bilang akan melanjutkan sekolah.

Para pekerja migran berkumpul di sebuah restoran di Jalan Orchard, Singapura, Sabtu (29/12/2019). Foto: Hanung Hambara/Jawa Pos

Dia memulainya pada 2013 dari paket C. Dia merasa beruntung karena majikannya mendukung.

Bahkan, dia diberi fasilitas laptop dan waktu belajar. Ketika ujian, dia juga boleh libur sehari untuk belajar.

Tapi, meski mendapatkan kelonggaran, Ratna tetap harus membagi waktu. Semasa kuliah, pagi hingga sore dia selesaikan pekerjaan. Malamnya dia gunakan untuk belajar.

“Kuliah saya lama karena sering diajak liburan majikan,” imbuhnya.

Jurusan sastra Inggris dipilihnya karena itu yang paling familier dengannya. Sehari-hari dia berkomunikasi dengan majikan menggunakan bahasa internasional tersebut.

Ida Supartini, PMI lain, termotivasi kuliah karena ingin mengenakan toga seperti adik-adiknya.

Perempuan asal Semarang, Jawa Tengah, itu anak tertua dari enam bersaudara. Dia pula, dari hasil bekerja di Singapura, yang menyekolahkan mereka.

Nah, ketika tanggung jawabnya dirasa selesai, saat itu pula Ida mewujudkan cita-cita. Pada 2015 dia mendaftar kuliah di UT dengan jurusan yang sama dengan Wiratna.

“Dulu mau kuliah, tapi tidak ada biaya. Jadinya, saya kerja saja,” ungkap Ida.

Kuliah di UT, menurut Ida, bagus dan murah. Apalagi tak perlu datang rutin untuk tatap muka dengan dosen.

Itu yang paling sesuai dengan perempuan 45 tahun tersebut. Dia cukup menyesuaikan jadwal kuliah dengan pekerjaannya.

Yang terpenting baginya adalah bisa membagi waktu. Bekerja sambil kuliah, menurut Ida, bukan hal yang mudah.

“Apalagi di usia yang tidak muda lagi seperti saya. Namun, tekad saya kuat untuk mewujudkan cita-cita,” katanya.

Lain lagi alasan yang menguatkan Asmaunisak ketika memutuskan kuliah.

“Saya ingin memberi contoh kepada anak saya kalau harus sekolah yang tinggi,” tutur PMI berusia 36 tahun itu.

PMI dari Kendal, Jawa Tengah, tersebut menyisihkan penghasilannya untuk daftar kuliah setelah menyelesaikan paket C.

“Saya juga harus mengurangi waktu tidur agar bisa belajar dengan baik,” ujar perempuan yang akrab disapa Nisa itu.

Rupanya sang majikan melihat kesungguhan hati Nisa. Dia dipanggil dan ditanyai seputar sekolah.

Dari pembicaraan tersebut, majikan Nisa malah menyatakan bakal membiayai seluruh kuliahnya. Bahkan, buku pun akan diganti. Nisa gembira bukan main.

“Kata majikan, kalau saya nilainya bagus, maka akan dibiayai wisuda di Jakarta. Termasuk tiket keluarga di Kendal,” ungkapnya.

Janji tersebut kian memotivasi Nisa. Dan, pada 12 November tahun lalu, janji itu terwujud.

Keluarganya dari Kendal bisa datang ke Jakarta menyaksikannya diwisuda. Duta Besar Indonesia untuk Singapura Ngurah Swajaya mengaku bangga atas capaian Ratna, Ida, Nisa, dan para PMI lainnya tersebut.

Bagi yang sudah sarjana, dia meminta memberi tahu teman-temannya yang lain. Setidaknya satu orang membawa dua PMI untuk bersekolah.

“Ini bagian dari perlindungan. Ada pemberdayaan,” ujarnya.

Sekarang ini ada sekitar 800 PMI Singapura, dari total 120 ribu orang, yang terdaftar di UT. Sebagian lagi mengikuti kursus yang diadakan KBRI di Singapura.

“Semuanya demi masa depan yang lebih baik,” tuturnya.

Itu pula yang dicita-citakan Ratna. Dia sudah berancang-ancang bergabung dengan United Nations atau Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

“Saya ingin berkeliling ke berbagai negara untuk menolong sesama,” katanya.

Mimpi yang bisa jadi juga akan terwujud. Seperti cita-citanya memakai toga dulu.

Menolak Tawaran Jadi Dosen

Bagi Ester Mulatsari, belajar harus dilakukan sepanjang ha­yat. Belajar bukan saja untuk meraih gelar yang tinggi.

Bukan pula untuk memiliki pekerjaan wah. Tapi, belajar adalah untuk memperbanyak ilmu.

Pekerja migran Indonesia (PMI) asal Blitar, Jawa Timur, itu sudah bergelar magister. Ester konsisten mendalami ilmu manajemen.

Seluruhnya ditempuh tepat waktu. Jika ada kesempatan lagi, dia ingin melanjutkan ke jenjang doktoral.

Dulu Ester pergi ke Singapura hanya berbekal ijazah SMA. Meski ingin sekali kuliah, dia mengurungkannya karena kondisi perekonomian keluarga. Namun, keinginan untuk sekolah tinggi itu tetap dia simpan dalam hati.

“(Tahun) 2010 akhirnya masuk UT (Universitas Terbuka),” katanya kepada Jawa Pos (grup Batam Pos).

Ketika masuk bangku kuliah, Ester seperti membuka jendela. Seperti saat dia kali pertama ke Singapura.

Hal baru ditemukan. Itu membuatnya ketagihan untuk terus belajar. Meski waktu kuliah di UT dilakukan secara online, Ester tak kesulitan.

Buku-buku manajemen dibacanya. Entah itu e-book atau buku konvensional.

“Saya suka di bidang bisnis,” ucapnya.

S-1 diselesaikannya dalam kurun waktu empat tahun. Ada kesempatan S-2, Ester melanjutkan di UT dengan sistem belajar yang sama. Tanpa tatap muka.

“Sekolah sambil kerja itu tidak mudah,” tuturnya.

Yang terberat justru mengalahkan diri sendiri. Melawan kemalasan. Ester menceritakan, banyak temannya yang enggan melanjutkan sekolah.

Entah itu karena tidak mampu untuk membayar atau tidak mau. Ada juga yang mau dan mampu, tapi tidak tahu caranya bagaimana.

Ester merasa beruntung bekerja di Singapura. Sebab, orang-orang di lingkungan tempatnya bekerja memiliki pendidikan tinggi.

“Sebenarnya di sini S-2 atau S-3 itu biasa. Tapi, karena asisten rumah tangga, mungkin yang berbeda,” kelakarnya.

Ester tetap menekuni pekerjaannya sebagai asisten rumah tangga. Di sisi lain, dia juga menjadi tutor secara online. Dia membantu mahasiswa lain. Termasuk PMI di Singapura.

“Gajinya lumayan,” ungkapnya.

Setiap bertemu dengan PMI lain, Ester selalu memotivasi agar terus belajar. Sebenarnya masalah yang dihadapi tidak sesulit yang dihadapi.

Jika mau, banyak jalan. Jika tak punya uang, bisa mengandalkan beasiswa. Jika merasa minder dengan usia, banyak PMI lain yang juga sekolah lagi saat usianya di atas 35 tahun.

Menurut dia, semua itu bisa dilakukan ketika berusaha. Di sisi lain, Ester ingin menunjukkan bahwa seorang pekerja migran yang berprofesi asisten rumah tangga bisa bersekolah tinggi.

Memiliki ilmu, menurut dia, bisa meningkatkan derajat kehidupan. Buktinya, setelah mendapatkan gelar master, Ester menerima banyak tawaran kerja.

Salah satunya tawaran menjadi dosen di Batam. Namun dia tolak. Dia ingin membantu teman-temannya di Singapura.(*/lyn/c9/ttg)

Update