Selasa, 23 April 2024

PMK 199 Ancam Bisnis Online di Batam

Berita Terkait

batampos.co.id – Kalangan pengusaha menilai, Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 199/PMK.010/2019 tentang Ketentuan Kepabeanan, Cukai, dan Pajak atas Impor Barang Kiriman, merugikan pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) di Batam. Khususnya yang berdagang melalui media daring (online) untuk pasar luar Batam.

Terutama reseller barang-barang impor dari berbagai negara yang masuk ke Batam tanpa kena pajak.

”Tujuan sebenarnya dari PMK tersebut untuk melindungi produsen dalam negeri. Tapi, kebijakan tersebut akan berdampak langsung kepada rekan-rekan UMKM yang bergerak dalam bisnis penjualan online, khususnya di Batam,” kata ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Batam, Rafki Rasyid, Sabtu (18/1/2020).

Rafki menjelaskan, selama ini, para pengrajin dalam negeri banyak yang gulung tikar karena kalah bersaing dengan produk-produk luar negeri, terutama dari Tiongkok. ”Jadi untuk melindungi mereka, pemerintah mengeluarkan kebijakan itu,” terangnya.

Sebenarnya, dalam PMK 199 tersebut pemerintah juga melakukan rasionalisasi pembayaran pajak dan bea masuk dari 27,5 persen jadi 17,5 persen. Jadi, biaya pajaknya menjadi lebih ringan dibandingkan sebelumnya.

”Namun, bagi pengusaha online shop yang ada di Batam, tetap menjadi berat dan menyebabkan produknya menurun daya saingnya karena harganya akan menjadi mahal. Kemungkinan ada penurunan penjualan dibandingkan sebelumnya,” jelasnya.

Selain itu, juga akan berefek pada penyedia usaha jasa pengiriman. Jika biasanya pengiriman banyak karena banyaknya warga Batam yang menjual beragam produk lewat jejaring sosial, setelah diberlakukan aturan itu, dipastikan akan turun drastis.

Rafki mengimbau agar sosialisasi PMK ini dilakukan terlebih dahulu sebelum berlaku 30 Januari nanti.

”Supaya menyamakan persepsi antara pemerintah dan pengusaha serta untuk meredam keresahan pengusaha online shop akibat PMK tersebut. Tentunya masyarakat dan dunia usaha perlu diberikan pemahaman yang baik mengenai PMK tersebut,” paparnya.

Sementara itu, jika PMK yang diteken Menteri Keuangan Sri Mulyani pada 26 Desember 2019 dan diundangkan pada 31 Januari 2019 itu, ditelaah, memang ada beberapa pasal yang memberatkan bagi pelaku usaha online shop di Batam. Khususnya yang selama ini menjadi reseller produk impor dari Tiongkok atau negara lainnya.

ilustrasi

Apalagi status Batam sebagai kawasan FTZ, sehingga barang impor yang masuk ke Batam dari kaca mata kepabeanan, dianggap ”luar negeri”. Sehingga, saat dijual ke wilayah lainnya di Indonesia akan dikenakan pajak.

Antara lain, setiap barang dengan nilai minimal 3 USD akan dikenai PPH dan PPN sebesar 17-40 persen. Sebelumnya, nilai bebas bea masuk atas barang kiriman sebesar USD 75 per kiriman.

”Aturan ini sangat memberatkan kami dan pelaku usaha daring lainnya di Batam,” ujar Yuliana, Sabtu (18/1/2020).

Ia mengungkapkan, selama ini, barang-barang yang ada di Batam sangat diminati pembeli dari luar Batam. Perempuan yang biasa mengirim barang ke Indonesia bagian Timur ini mengaku sudah diberatkan dengan ongkos kirim yang sangat tinggi.

”Sudah pasti ini berat. Jualan tak seberapa, namun keuntungan tak ada. Nanti pembeli jadi malas kalau kami pasang harga tinggi. Ini bisa berdampak pada permintaan atau penjualan,” ujarnya.

Yuli mengaku sudah lima tahun belakangan menjadi pelaku usaha online, namun baru kali ini khawatir karena aturan yang memberatkan usaha online ini. Bisa membuat pelaku usaha berhenti berjualan atau gulung tikar.

”Ongkir mahal saja pembeli sudah mengeluh. Padahal permintaan cukup banyak. Apalagi ditambah pemberlakuan pajak dengan nilai barang mulai dari 3 USD,” jelasnya.

Sementara itu, kepala Dinas Koperasi Usaha Kecil Mene-ngah (KUKM), Suleman Nababan, mengatakan, kebijakan ini sudah sesuai dengan aturan yang ada. Barang impor memang dikenai pajak bila dikirim keluar dari Batam. Sebab, barang-barang tersebut masuk ke Batam tanpa dikenakan pajak apapun karena status Batam sebagai kawasan perdagangan dan pelabuhan bebas (FTZ).

Menurutnya, untuk pelaku UMKM, keluarnya aturan itu menjadi merupakan kesempatan untuk menghasilkan produk lokal yang berkualitas dan bisa bersaing dengan produk impor.

”Mungkin yang rugi itu reseller kali ya. Karena selama ini mereka selalu jual barang impor. Sehingga adanya aturan ini berdampak pada penjualan mereka,” jelasnya.

Penerapan aturan ini diakui memang berdampak pada penjualan mereka yang selama ini memasarkan produk impor. Karena Batam sangat banyak barang-barang impor seperti aksesoris, jam tangan, hingga tas lainnya. Bahkan surga bagi produk KW impor.

”Banyak produk dari Cina yang selama ini mereka jual. Ini mungkin mengeluh semua dengan adanya aturan ini. Namun, saya rasa ini sudah ketentuan, jadi harus dipahami dan diterapkan,” terangnya.

Sebelumnya, kasi Bimbingan Kantor Pelayanan Utama Bea san Cukai (KPUBC) Kota Batam, Zulfilkar Islami, kepada wartawan mengatakan, aturan baru itu memang akan diberlakukan mulai 30 Januari 2020. Hakikatnya untuk melindungi industri atau pelaku usaha lokal yang terkena gempuran produk impor, sehingga sulit bersaing selama ini.

“Aturan ini berlaku di seluruh wilayah NKRI. Khususnya pengiriman barang dari Batam ke wilayah Indonesia lainnya,” ujarnya, Kamis lalu.

Besaran pungutan pajak pengiriman barang ke luar Batam memang beragam. Namun, kisarannya bisa dari 17,5 persen hingga 50 persen. Tergantung jenis dan nilai barangnya. Sebab, mencakup bea masuk dan pajak dalam rangka impor atau PDRI (PPN, PPh).

Rencananya, kata Zulfikar, pihaknya akan melakukan sosialisasi PMK 199/PMK.010/2019 ini ke pelaku usaha terkait, Rabu 22 Januari mendatang. Pihaknya akan mengundang Asperindo (Asosiasi Perusahaan Jasa Pengiriman Ekspres, Pos, dan Logistik Indonesia), PJT (perusahaan jasa titipan), agen, PT Pos Indonesia, dan pihak terkait lainnya. (tim)

Update