Kapal-kapal asing yang kerap masuk ke perairan Natuna membuat nelayan resah. Selain melanggar hukum keberadaan kapal asing mengganggu aktivitas melaut nelayan Natuna yang masih menjaga kearifan lokal.
“Alat kami di sini mata pancing ulur, sementara kapal asing model pukat,” kata Adhar, nelayan Desa Tanjung, Kecamatan Bunguran Timur, yang ditemui ACTNews, Senin (13/1).
Adhar menceritakan sejumlah keresahan saat bertemu dengan kapal-kapal asing, saat Aksi Cepat Tanggap singgah ke desanya memberikan dukungan untuk para nelayan berupa paket pangan.
Adhar mengatakan, nelayan Natuna tidak menutup kesempatan pemberdayaan yang lebih optimal. Mereka pun mau menerima bantuan kapal yang sesuai dengan perairan dan kebiasaan melaut nelayan Natuna.
Adhar mengaku, sejumlah nelayan pernah menerima bantuan pompong, namun ukuran pompong tidak sesuai dengan keadaan kerja para nelayan.
“Pompong yang diberikan besar, butuh (bahan bakar) minyak banyak. Di sini (Natuna) rata-rata paling besar 7 GT (gross ton), kalau terlalu besar, biayanya besar, tidak sanggup,” ungkapnya.
Selama lima hari melaut, untuk kapal berukuran 3-5 GT, Adhar membutuhkan bahan bakar hingga 100 liter. Sebab itu, ia berpesan, jika ada bantuan kapal yang diberikan sesuai dengan kesanggupan nelayan Natuna.
“Ingin punya kapal yang lebih besar, bantuan kapal 5 GT misalnya, keperluan kami segitu, agar bisa dikelola, servisnya juga enggak besar biaya,” lanjutnya. Setu kapal, kata Adhar, biasanya diservis hingga empat kali setahun. Sekali servis, butuh biaya hingga Rp2 juta untuk ganti cat.
Adhar pun menyadari potensi besar laut Natuna. Itu pula yang menarik perhatian nelayan asing, terutama di musim angin utara karena arus bergerak ke selatan sehingga di laut utara minim ikan.[*]