Kamis, 25 April 2024

Pedagang Online Temui BP Batam, Cari Solusi Atasi Kisruh PMK 199

Berita Terkait

batampos.co.id – Kepala Badan Pengusahaan (BP) Batam, Muhammad Rudi, mengundang ratusan pedagang online shop untuk membahas respons mereka terkait pemberlakukan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 199/PMK.010/2019 tentang Ketentuan Kepabeanan, Cukai dan Pajak atas barang impor kiriman yang mulai berlaku Kamis (30/1/2020) nanti.

Dalam aturan tersebut, Kementerian Keuangan memangkas batasan harga maksimum bea masuk dan pajak di e-Commerce dari semula 75 dolar AS menjadi 3 dolar AS. Dengan demikian, barang senilai sekitar Rp 45 ribu ke atas, sudah dikenakan bea masuk jika dibeli dari luar negeri.

”PMK 199 mulai berlaku pada 30 Januari nanti. Kita mencari solusinya supaya tidak terjadi cost (biaya) tinggi,” kata Rudi, usai acara.

Rudi mengaku heran dengan kondisi kawasan perdagangan bebas di Batam. Dengan fasilitas Free Trade Zone (FTZ), maka meskipun PMK 199 berlaku, seharusnya harga barang dan jasa pengirimannya keluar Batam tidak mahal sama sekali.

”Kalau barang FTZ kan tak bayar. Seharusnya barangnya murah. Nah, ini mengapa harganya sama dengan di Jakarta,” katanya lagi.
Pria yang juga menjabat sebagai Wali Kota Batam ini melihat bahwa FTZ yang ada saat ini memiliki kelemahan yang masih harus diteliti lebih jauh, khususnya terkait soal ongkos logistik yang tinggi dari luar negeri ke Batam.

”Artinya bisa dikurangi. Karena dari Tiongkok ke Singapura, masuk ke sini itu lebih dekat dibanding ke Jakarta lagi. Ongkos kapalnya mahal,” jelasnya.

Makanya, meskipun PMK 199 nantinya berlaku, Rudi ingin persoalan mengenai ongkos logistik ini bisa diselesaikan. Tujuannya, agar ongkos pengiriman yang naik akibat pemberlakuan PMK 199, bisa ditekan.

”Ada dua keuntungan di sini. Jarak dekat sama bebas pajak pertambahan nilai (PPn). Tapi kalau sekarang ini, setelah bayar PPn, tetap mahal juga,” tuturnya.

Persoalan ini, kata Rudi, akan segera dicarikan solusinya. ”Ini kita dudukkan. Supaya importir bisa berdagang. Kalaupun kena PPn, tak boleh lebih mahal dari Jakarta. Sudahlah dekat, tapi kok mahal,” tegasnya.

Di tempat yang sama, Ketua Forum Reseller Batam, Sarifah, mengatakan, PMK 199 ini membuat kalangan pedagang reseller online tidak bisa mengirim barang keluar Batam dengan leluasa.

”Ini efeknya berimbas kemana-mana. Kalangan ekspedisi juga sana. Kami akan cepat kehilangan omzet sejak PMK tersebut berlaku 30 Januari nanti,” jelasnya.

Sarifah berharap, pemerintah dapat memberikan solusi terkait persoalan ini, agar tidak berimbas kepada kegiatan usaha para pedagang online.

Dalam aturan ini, pemerintah menetapkan bahwa semua pengiriman barang yang dilakukan pelaku usaha, harus melalui jasa pengiriman yang telah disetujui dan ditetapkan oleh pemerintah. Terutama kepada barang impor yang dijual kembali oleh UKM ke seluruh Indonesia melalui e-Commerce.

”Perihal barang kiriman kita memang telah didesain dengan PMK 199 ini, bahwa untuk barang dari Batam ke daerah lainnya, maka pengenaannya saat keluar. Kita memang tidak samakan persis dengan daerah lain,” ucap Kepala Bidang Kepatuhan Layanan Informasi (BKLI) Bea Cukai Batam, Sumarna, Senin, (27/1).

Menurutnya, PMK 199 betul mempertimbangkan bebe-rapa aspek. Salah satunya, produk impor membanjiri Indonesia.

”Kalau untuk Batam, memang ada perlakuan khusus,” jelasnya.

Misalnya, barang eks indus-tri yang tak dikenakan biaya masuk ke Batam. Sementara, dikenakan biaya masuk lang-sung dari luar negeri ke Jakarta, ada PPn, dan Pajak Penghasilan (PPH).

Sementara, barang industri keluar dari Batam ke Jakarta, tak dikenakan biaya masuk dan hanya dikenakan PPn dan PPH nol.

”Ini yang harus dipahami bahwa ada perlakuan khusus bagi barang-barang eks indus-tri di Batam,” ujarnya.

Memang barang yang masuk ke Batam sama sekali tak dikenakan biaya masuk, PPH, dan PPn.

Berbeda dengan daerah lain yang setiap barang masuk dari luar negeri, akan dikenakan tiga komponen. Yakni, biaya masuk, PPn, dan PPH. Biaya masuk 7,5 persen, PPn 10 persen, dan PPH 10 persen.

”Tapi saat keluar Batam pun, hanya dikenakan biaya masuk dan PPn saja. Sementara PPH-nya nol,” tuturnya.

Ia menambahkan, jika nanti antarpenjual, pihaknya tak bisa mengukur seberapa porsi keuntungan dari masing-masing. Pemerintah tak bisa melihat karena itu merupakan business to business.

”Kita tak mengerti Jakarta memberikan marjin berapa, Batam berapa. Kalau marjin Batam setiap level itu tinggi, iya tentu setiap orang bisa bersaing dengan Jakarta yang mungkin memberikan marjin per levelnya rendah,” terangnya.

Tapi yang perlu disampaikan juga, Batam sudah diperlakukan sangat istimewa terkait dengan pengenaan pungutan negara ini.

”Karena berbeda dengan apa yang terjadi di wilayah lain di Indonesia,” ujarnya.

Sedangkan, untuk barang impor yang beredar di Batam, selalu meningkat dari tahun ke tahun. Dari data yang ada memang dari tiga tahun terakhir mengalami kenaikan signifikan. Dari sebelumnya tahun 2017 sekitar 9 jutaan, kemudian 2018 ada 17 jutaan, dan 2019 menjadi sekitar 45 juta.

”Jadi, kenaikan memang luar biasa tinggi, apakah hal tersebut yang menjadi pertimbangan pemerintah untuk mengatur kembali mengenai mekanismenya, mungkin saja,” kata dia.

Sumarna yakin, pemerintah sudah menggandeng pihak-pihak terkait termasuk Apindo, dan Kadin untuk membahas pemberlakuan PMK 199 ini. ”Jadi, ini sudah melalui berbagai macam pertimbangan yang sudah dibuat oleh pemerintah,” tegasnya.

Sementara itu, Deputi III BP Batam, Sudirman Saad, mengatakan, pertemuan pada hari ini sangat baik dalam momentum untuk menjelaskan pengenaan pajak untuk barang berharga 3 US dolar atau sekitar Rp 45 ribu ke atas, sekaligus untuk mendata supaya reseller ini tidak menjalar. Karena sebetulnya, Batam tidak dirancang untuk menjadi tempat berbisnis online untuk keperluan konsumsi.

Langkah pertama yang BP Batam akan ambil adalah mendorong kepada reseller online yang datang pada saat ini, untuk berhimpun dalam satu asosiasi.

”Agar memudah-kan BP Batam mendata berapa jumlah reseller yang benar-benar menjadikan usahanya menjadi pendapatan utama,” ucapnya.

Ia menambahkan, di luar hal tersebut, seharusnya Batam dirancang untuk tidak menjadi surga perdagangan barang konsumsi.

”Batam dirancang sebagi kawasan industri supaya kita bisa berproduksi di sini, lalu kemudian diekspor kembali,” jelasnya.

Jadi, dalam waktu dekat, BP Batam akan menghitung kembali kouta induk terhadap barang-barang yang dijual para reseller tersebut. ”Prinsipnya barang untuk konsumsi itu hanya untuk kebutuhan lokal Batam saja, tidak untuk diperdagangkan kembali ke daerah lain di Indonesia,” sebutnya.

DPRD Dukung Pemberlakuan PMK 199

DPRD Kota Batam mendukung kebijakan mengenai impor barang kiriman yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 199/PMK.04/2019 yang resmi akan berlaku mulai 30 Januari 2020 nanti.

Anggota Komisi II DPRD Kota Batam Udin P. Sihaloho mengatakan, regulasi tersebut bertujuan untuk melakukan penyelarasan pendapatan negara dari sektor pajak. Me-nurutnya, PMK 199 ini tidak berpengaruh bagi Kota Batam karena merupakan wilayah Free Trade Zone (FTZ) atau bebas pajak.

”Misalnya ke bisnis, mengirim barang dari Batam ke luar, dan kemudian dikenakan dengan aturan yang demikian saya rasa wajar-wajar saja, normatif itu. Tidak ada masalah,” kata Udin,” Senin (27/1).

Ia mengatakan, penjualan bisnis melalui online tidak menjadi sektor utama pendapatan bagi negara. Kebijakan yang ditandatangani Menteri Keuangan, Sri Mulyani tersebut sudah melalui kajian dan pertimbangan yang matang.

”Jangan karena ada kekhususan untuk Batam ini, kita jadi kesempatan untuk hal-hal yang tidak sesuai dengan peraturan. Kalau peraturan itu datang dari atas, pasti sudah mempertimbangkan baik buruknya untuk Batam ini,” katanya.

Udin mengungkapkan, setiap pekerjaan atau bisnis pasti memiliki konsekuensi dan risiko yang harus dihadapi. Pelaku usaha diminta agar tidak memanfaatkan momen ini untuk kepentingan pribadi dan mengesampingkan hal yang lainnya.

”Paling tidak jika barang di luar daerah tentu kan ada konsekuensi membayar pajak. Itu mau tak mau dong. Karena pendapatan negara itu paling besar dari sektor pajak. Nah, kalau kita mengelak dari sini, kita juga tak bisa banyak menuntut dong,” jelasnya.

Terkait naiknya harga batas pajak barang impor, katanya, sudah melalui pembahasan yang mendalam dari pemerintah pusat. Menurutnya, bisa saja pengusaha online mengirimkan paket yang harganya di atas Rp 45 ribu dengan sistem bertahap. Sehingga paket yang dikirim tidak dikenai pajak.

”Seorang pebisnis harus mau dikenakan pajak. Kita harus mengikuti selama pajak itu dikembalikan ke masyarakat untuk kesejahteraan masya-rakat juga,” katanya. (iza/leo/rng)

Update