Jumat, 29 Maret 2024

BP Batam Mendapati Banyak Paket Kiriman Barang Impor Konsumtif Dikirim ke Daerah Lain di Indonesia

Berita Terkait

batampos.co.id – Badan Pengusahaan (BP) Batam akan mengevaluasi kembali kuota induk yang telah ditetapkan, pekan lalu. Pasalnya, BP baru mendapati banyaknya paket kiriman barang impor konsumtif yang dikirim ke daerah lain di Indonesia, ternyata mayoritas berasal dari Batam.

Dalam kuota induk tersebut, ada sejumlah kuota barang-barang konsumsi yang diimpor dari luar negeri. Kemungkinan besar, kuota yang khusus untuk barang-barang kiriman akan dibatasi.

Selain itu, seleksi importir dan perizinan impornya diperketat, atau ada beragam opsi lainnya. Contohnya sudah berlaku pada penetapan kuota induk khusus untuk barang-barang pendukung industri. Dimana, BP lebih selektif dan importir harus memberikan pemaparan rencana impor selama setahun penuh.

Hal ini diungkapkan oleh Deputi III BP Batam, Sudirman Saad. Ia sebelumnya terce-ngang saat mengetahui data paket kiriman barang dari luar negeri pada tahun lalu. Berdasarkan data dari Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), dari 57 juta paket kiriman asal luar negeri ke Indonesia, ternyata 77,7 persennya atau 45 juta-nya diki-rim dari Batam. Paket kiriman itu hampir seluruhnya merupakan barang konsumsi.

Sudirman mengungkapkan, tujuan awal pemberlakuan sistem Free Trade Zone (FTZ) di Batam adalah untuk memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat Batam.

”Konsen kami itu mengapa Batam jadi tempat transit. Kami akan cek kembali kuota itu, termasuk kuota ekspor ke Indonesia. Apa-apa saja barang itu dan berapa kebutuhan Batam. Jika itu barang konsumsi, pastikan peruntukannya untuk Batam dan juga kebutuhan wisman. Batam tak bisa jadi tempat transit, kecuali kalau ada kebijakan baru,” katanya di Gedung Marketing Centre BP Batam, Selasa (28/1).

Karyawan PT Pos Indonesia cabang Batam, Batam Center, sedang menyusun barang-barang paket sebelum dikirim, beberapa waktu lalu. F.oto: Cecep Mulyana/batampos.co.id

Maraknya pengiriman barang impor melewati Batam, memang tidak menyalahi regulasi apapun. Tapi dampaknya memukul industri kecil dalam negeri.

Pemberlakuan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 199/PMK.010/2019 tentang ketentuan kepabeanan, cukai dan pajak atas impor barang kiriman bertujuan untuk melindungi industri kecil dalam negeri. Dalam aturan tersebut, Kementerian Keuangan memangkas batasan harga minimal bea masuk dan pajak di e-Commerce dari semula 75 dolar AS menjadi 3 dolar AS.

Dengan demikian, barang senilai sekitar Rp 45 ribu ke atas, sudah dikenakan bea masuk jika dibeli dari luar negeri.

”PMK itu untuk memproteksi industri kecil menengah. Di Jawa, banyak industri kecil gulung tikar, contohnya Sepatu Cibaduyut di Bandung yang tutup karena diserbu barang impor,” tuturnya.

Praktik yang berlaku, yakni pedagang besar atau reseller di Batam memborong barang impor dari luar negeri, kemudian masuk ke Batam. Pedagang besar akan mendapat untung besar. Karena, dalam sistem FTZ, barang kiriman dari luar negeri tidak akan dikenakan bea masuk dan pajak pertambahan nilai (PPN) ketika masuk ke Batam.

Kemudian, pedagang besar menjualnya dari Batam ke-luar wilayah lainnya di Indonesia, biasanya ke Jakarta. Margin keuntungan yang diperoleh tentu sangat besar karena tidak membayar pajak.

Praktik tersebut terkadang juga dilakukan pedagang besar dan reseller di luar Batam seper-ti di Jakarta. Dengan memanfaatkan keuntungan dari insentif FTZ, praktik tersebut terus marak terjadi sejak 2010. Dimana, praktik e-Commerce mulai marak-maraknya.

Maka dengan keluarnya PMK 199 ini, nilai pembebasan bea masuk atas barang kiriman yang semula ditetapkan 75 dolar Amerika menjadi 3 dolar Amerika per kiriman. Selain itu, pungutan pajak dalam rangka impor (PDRI) juga dikurangi dari semula 27,5 hingga 37,5 persen menjadi 17,5 persen, dengan rincian bea masuk 7,5 persen, PPN 10 persen dan pajak penghasilan (PPh) nol persen.

Pria berkacamata ini yakin, PMK tersebut dapat mengurangi secara drastis impor barang-barang kiriman dari luar Batam. Dengan begitu, maka industri kecil dalam negeri dapat dilindungi keberlangsungan hidupnya.

Sudirman menuturkan bahwa jasa pengiriman juga menerima keuntungan yang cukup besar, bisa mencapai Rp 1,3 triliun.

”Sekali pengiriman Rp 30 ribu. Kalikan saja Rp 30 ribu kali 45 juta kiriman,” ungkapnya.

Dari 2900-an HS-Code barang-barang impor yang masuk ke Batam, ada lima HS-Code barang konsumsi yang akan dievaluasi BP Batam, antara lain sepatu, tas, alas kaki, tekstil dan garmen.

”Kami akan evaluasi dari sisi kuota dan permohonan berdasarkan HS-Code. Seperti jilbab impor itu juga banyak yang ke Batam,” imbuhnya.

”Batam ini dirancang FTZ dalam kaitannya untuk memenuhi konsumsi Batam dan industri. Batam tidak dirancang sebagai lalu lintas transit masuk (barang impor) ke Indonesia. Saya akan cek kuota barang-barang, 45 juta barang konsumsi ini,” paparnya.

Menurut Deputi Bidang Pengusahaan dan Investasi ini, secara kepabeanan, Batam termasuk luar negeri. Sehingga, barang-barang yang masuk juga tidak boleh berlebihan, apalagi jika bukan merupakan barang yang benar-benar dibutuhkan masyarakat Batam.

Sedangkan Kepala Bidang Bimbingan Kepatuhan dan Layanan Informasi Kantor Pelayanan Bea dan Cukai Utama Batam, Sumarna mengatakan, PMK 199 akan berlaku Kamis (30/1) besok.

”Tujuan perubahan dari PMK itu untuk melindungi kepen-tingan nasional sehubungan dengan meningkatnya volume impor barang kiriman. Untuk mendorong pertumbuhan industri dalam negeri dan menciptakan perlakuan perpajakan yang adil dan melindungi industri kecil menengah (IKM),” ungkapnya.

Adapun, beberapa hal pokok yang diatur dalam PMK 199 antara lain batasan minimal barang yang dikenakan pajak senilai 3 dolar AS.

”Khusus untuk barang kiriman berupa sepatu, tas dan garmen dikenakan tarif yang berlaku umum sesuai dengan Buku Tarik Kepabeanan Indonesia (BTKI). Dan untuk barang kiriman berupa buku dibebaskan dari bea masuk, PPN dan PPh, karena untuk mendorong minat baca dan kemampuan literasi masyarakat Indonesia,” tuturnya.

Ia juga menambahkan, Batam merupakan wilayah Indonesia, maka peraturan tersebut tetap berlaku di Batam.

”Namun, mengingat Batam adalah wilayah FTZ, maka pengenaan pungutan negara adalah pada saat barang dikeluarkan dari Batam menuju wilayah Indonesia lainnya,” pungkasnya. (leo)

Update