Rabu, 24 April 2024

Kekhawatiran Orangtua yang Anaknya Berada di Tiongkok

Berita Terkait

PROF Subandi berkali-kali menghubungi anak pertamanya, Brandy Juan Ferrero, lewat aplikasi WeChat, Selasa (28/1) sore. Melalui panggilan video call, dia ingin mendengar dan melihat wajah anaknya yang saat ini terisolasi di Kota Wuhan, Tiongkok, itu.
Juan tengah menjalani studi di Central China Normal University (CCNU) Wuhan. Berangkat Agustus lalu, dia akan mengambil jurusan hubungan internasional. Saat ini Juan masih mengikuti kelas persiapan bahasa Mandarin selama setahun.

Subandi ialah guru besar bidang ilmu linguistik bahasa Jepang Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Surabaya (FBS Unesa) dihantui kekhawatiran mengenai nasib anaknya di daerah tempat asal virus corona itu. Untuk melegakan hatinya, Subandi setiap saat berusaha menghubungi Brandy. Sehari bisa video call tujuh kali. Tak jarang sampai sepuluh kali. ”Di situasi yang begini, kalau gak dengar suara dan melihat wajah ya gak tenang,” ujar Subandi saat ditemui di kediamannya, kawasan Lidah Wetan, Surabaya.

Gagal lewat video call, Subandi menjajal telepon biasa dan akhirnya tersambung. Subandi yang awalnya tegang lang-sung merasa plong begitu suara anaknya terdengar.

”Bagaimana perkembangan kondisimu Juan di sana,” tanyanya.

Juan menjawab bahwa dirinya sedang berada di asrama dan berkumpul dengan teman-teman asal Indonesia lainnya. Mereka dalam kondisi baik. Juan menambahkan bahwa para mahasiswa Indonesia itu sehari-hari lebih banyak berada di dalam asrama.
Mereka berkumpul dan mendukung satu sama lain. Untuk mengisi waktu, mereka bermain game, bercerita pengalaman, sampai memasak bersama.

”Biar gak bosen aja sih. Karena masih ada tugas, ya saya juga menyelesaikan tugas-tugas gitu,” kata Juan.

Fadil, rekan Juan asal Aceh yang kini studi doktoral di CCNU, mengatakan bahwa harga bahan makanan di sana naik empat kali sampai lima kali lipat. Masker juga langka. Banyak toko yang tutup. Karena itu, harga jual barang-barang melejit. Biasanya hanya Rp 2 ribu per masker, kini harganya naik menjadi Rp 10 ribu.

Mereka merasa lega dengan kabar pengiriman logistik dari pemerintah Indonesia ke Wuhan karena bisa membantu saat kekurangan makanan. Saat ini, yang mereka inginkan adalah dievakuasi secepatnya untuk bisa kembali ke Indonesia. ”Inginnya kita ya segera pulang,” ujarnya.

Setelah telepon ditutup, Subandi mengatakan bahwa solusi terbaik untuk anaknya dan para mahasiswa di sana adalah evakuasi dan pemulangan ke Indonesia. Dia siap meski sampai di Indonesia nanti anaknya harus menjalani proses karantina terlebih dahulu. Menurut Subandi, itu lebih baik ketimbang melihat anaknya hidup dalam suasana yang tidak menentu dan berada di luar jangkauannya.

Subandi berharap evakuasi segera dilakukan. Jangan mengulur waktu hingga akhirnya mereka bisa jadi turut terjangkiti virus yang sudah menewaskan ratusan orang itu.

”Jangan sampai telat, ini menyangkut kebaikan anak saya dan generasi Indonesia di sana,” ujar Subandi mulai terbata-bata menahan harapan yang begitu besar.

”Jokowi lewat perangkat negaranya pasti bisa lah melakukan diplomasi yang terbaik untuk kepulangan mereka,” imbuhnya.

Meski komunikasi intens bisa dilakukan bersama anaknya, rasa takut tetap saja muncul setiap saat. Terlebih, persebaran virus corona sudah semakin luas. Wajah Juan selalu terbayang di kepalanya. Sampai dia tidak fokus melakukan bimbingan skripsi dan tesis para mahasiswanya di kampus. Biasanya dia berada di kampus pagi sampai sore, bahkan malam. Sekarang jadi kurang betah di kampus. Setelah bimbingan sebentar, Subandi langsung pulang.

”Sampai di rumah ya tak hubungi anak saya, hanya untuk memastikan kondisinya saja. Biar sesak di sini sedikit berkurang,” ujarnya sambil memegang dada.

Bisa mendengar suara atau melihat anaknya tak lantas membuat perasaan khawatir Subandi lenyap. Hanya berkurang sedikit. Padahal, Juan sudah berusaha selalu menunjukkan dirinya baik-baik saja. Malah Juan sering mengajak ayahnya bercanda. Salah satu yang mampu membuat Subandi tertawa adalah saat Juan bilang dia terkenal lantaran sering siaran langsung video call di televisi untuk menceritakan kondisi mereka di Wuhan.

’’Pa, Juan masuk TV terus gara-gara virus,’’ cerita ayah dua anak itu.

Perasaan serupa menghinggapi Afifudin, warga Simo Sidomulyo, Surabaya. Anaknya, Ammanda Nurintani Pratiwi, saat ini mengikuti program belajar satu tahun di Zhejiang Agriculture and Forestry University. Meskipun Ammanda berada di Kota Hangzhou, Provinsi Zhejiang, yang tidak diisolasi, sang ibu, Ida Pratiwi, 54, terus menangis. Afifudin hanya bisa meminta istrinya tetap tenang dan banyak berdoa. Selain itu, Afifudin menghubungi anaknya setiap saat lewat WhatsApp dan MiChat.

’’Namanya anak ya, nggak tenang tidur, nggak bisa makan, kepikiran terus,” ujarnya.

Jika anaknya sedang tidak bisa dihubungi, Afifudin hanya menatap kumpulan foto putrinya di galeri handphone sembari mengikuti perkembangan informasi terbaru tentang virus corona.

”Saya serahkan kepada Tuhan. Anak kami pergi dengan niat baik dan saya percaya Tuhan akan mengembalikannya dengan baik pula,” ujar Afifudin.

Sementara itu, tak sanggup menanggung kekhawatiran akan nasib anaknya sendirian, Sri Astuti mendatangi Pendapa Bupati Sampang, Selasa (28/1) siang. Ditemani kerabatnya, dia ingin bertemu dengan Bupati Slamet Junaidi. Tujuannya satu, berharap bisa dibantu memulangkan putrinya, Laili Nadhifatul Fikriya, yang kuliah pascasarjana di Shandong University, Qingdao.

”Anak saya itu kurang lebih sudah enam bulan di sana. Dia mendapat beasiswa S-2 dari pemerintah Tiongkok,” terang warga Desa Rapa Laok, Kecamatan Omben, Sampang, itu.

Laili tidak bisa pulang karena tak punya biaya. Meski lokasi anaknya ribuan kilometer dari Wuhan, Astuti tetap panik mendengar segala berita tentang virus corona. Setiap saat dia memonitor kondisi anaknya. Setelah pertemuan dengan bupati itu, asa Sri terbangun. Bupati menyanggupi membiayai pemulangan putrinya.

”Terima kasih, Pak Bupati,” ucapnya.

Dihubungi melalui WhatsApp, Laili mengatakan ingin segera pulang ke Indonesia. Sekarang dia tinggal di asrama kampus. Kondisi di sekitar begitu sepi. Stok masker dan makanan di toko dan apotek sekitar kampus mulai habis.

”Semoga pemerintah segera memulangkan saya. Di sini kami resah. Keluar tanpa masker sangat berbahaya, sedangkan stok sudah habis,” ujar lulusan Universitas Jember yang kini mengambil master jurusan hubungan internasional itu.

Bupati Slamet Junaidi mengatakan, pemerintah daerah siap membantu. Jika Laili tidak bisa pulang secara mandiri, pihaknya siap membiayai. Tapi, semua harus sesuai prosedur. Pihaknya juga berkoordinasi dengan Kementerian Luar Negeri.

”Tentunya, sebelum dipulangkan, mahasiswi tersebut disterilkan. Setelah sampai di Indonesia, juga akan disterilkan,” paparnya.

Persebaran virus corona juga berdampak pada lima mahasiswa asal Pamekasan. Mereka diisolasi dalam apartemen dengan kondisi persediaan makanan yang menipis. Herman Kusnadi, warga Kelurahan Barurambat Timur, Kecamatan Kota Pamekasan, menuturkan, dua anaknya berada di Kota Xianning. Ilhan Tri Kusnadi dan Tika Putri Laksmi serta tiga teman lainnya asal Pamekasan tidak bisa keluar apartemen. Bahkan, aktivitas belajar-mengajar di Hubei University of Science and Technology diliburkan sampai waktu tidak ditentukan.

Herman mengatakan, jarak antara Kota Xianning dan Wuhan hanya 80 kilometer. Pemerintah setempat melarang warga dan mahasiswa keluar apartemen. Mantan kepala Dispendukcapil Pamekasan itu menyampaikan, KBRI mendata mahasiswa asal Indonesia. Rencananya, mereka dipulangkan. Namun, hal itu ternyata sulit dilakukan.

Mantan Plt Sekkab Pamekasan tersebut berharap pemerintah segera bertindak. Jika pemerintah tidak bisa mengevakuasi mahasiswa dari pusat persebaran virus mematikan itu, minimal suplai makanan lancar. Herman juga berharap Gubernur Khofifah Indar Parawansa bertindak.

”Ketersediaan makanan itu sangat penting,” katanya. (*/c7/ayi)

Update