Sabtu, 20 April 2024

Pedagang Online Batam Menjerit

Berita Terkait

batampos.co.id – Sejumlah pedagang online di Batam menjerit pasca diberlakukannya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 199 Tahun 2019 tentang Ketentuan Kepabeanan, Cukai dan Pajak atas Impor Barang Kiriman di Batam, yang berlaku sejak Kamis, (30/1) lalu.

Pasalnya, seluruh pesanan pembeli yang hendak keluar Batam, selain beban ongkos kirim (ongkir) yang sudah mahal, juga harus ditambah pengenaan bea masuk dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Alhasil, banyak barang pesanan konsumen dari pedagang online di Batam batal dikirim ke luar daerah lain di Indonesia.

Zami, salah satu pedagang online yang menjual sepatu dan baju impor, harus mengurungkan niatnya untuk mengirimkan pesanan konsumen di luar Batam. Padahal, pesanan itu sudah dibayar oleh konsumen.

”Kaget lah, pas mau kirim ternyata biaya kirim dan pajaknya totalnya jadi luar biasa mahal,” ujar Zami, Jumat (31/1/2020).

Dijelaskannya, untuk barang keluar Batam, dikenakan bea masuk dan pajak. Untuk jenis sepatu mi-salnya, dikenakan biaya masuk dengan besaran 25-30 persen, ditambah PPN 10 persen. Itu belum termasuk ongkir.

”Saya mau kirim sepatu yang harganya Rp 257 ribu, bea masuk dan PPN itu dikenakan Rp 103 ribu, ditambah ongkir ke Pekanbaru Rp 27.500. Akhirnya saya batal ngirim lah,” jelas Zami.

Menurut dia, aturan itu dinilai tanpa mempertimbangan banyak pihak, sehingga akhirnya mengorbankan para pelaku usaha kecil, seperti pedagang online ini. Padahal menurutnya, untuk usaha online, mereka hanya berharap untung kecil karena memang banyak saingan.

ilustrasi

”Untuk usaha online, mana ambil untung besar, pelangganpun pasti menolak dibebani biaya sebesar itu. Mending mereka cari di daerah mereka,” ujar Zami.

Hal senada dikatakan Riska, pedagang tas online. Ia banyak menolak pesanan dari pelanggan karena pajak yang membuat total harga pengiriman barang jadi luar biasa mahal. Ia menyebut, mahal itu bukan masalah ongkir dari ekspedisi, namun biaya yang harus dibayar untuk pajak dan bea masuk.

”Sudah seminggu saya tak ada kirim barang. Lama-lama usaha saya bisa tutup kalau aturan ini tak segera direvisi,” jelasnya.

Bahkan menurut dia, sebelum aturan itu berlaku, beberapa jasa ekspedisi menahan pengiriman barang. Dengan alasan, menunggu pemberlakuan aturan baru.

”Kemarin pengiriman di-hold karena ada aturan baru. Setelah aturan berlaku, ternyata luar biasa mencekik pedagang,” ungkapnya.

Karena itu, ia berharap pemerintah bisa kembali mempertimbangkan aturan itu. Apalagi, usaha online merupakan salah satu cara untuk masyarakat mendapat penghasilan.

”Kalau saya tak jualan mau apalagi. Mau kerja tak ada lagi yang menerima karena memang usia tak muda lagi. Aturan itu jangan bikin susah masyarakat lah,” pungkas Riska.

Salah seorang penjual makanan secara online, juga dikagetkan ketika pengiriman barang mereka juga dikenakan pajak.

”Biasanya upah kirim itu sekitar Rp 39.000. Namun, kini naik menjadi Rp 93.500. Saya baru bertanya, kaget dengan biaya pengiriman (pajak dan bea masuk) ini,” kata pedagang tersebut, yang tak bersedia namanya dikorankan, kemarin.

Ia mengatakan, makanan yang dikirimnya seharga Rp 300 ribu. Untung yang didapatkannya cukup tipis dari penjualan makanan tersebut.

”Saya bingung mau kasih harga berapa ke konsumen. Makanannya sudah cukup mahal, lalu ditambah upah kirim yang tinggi,” ucapnya.

Akibat biaya pengiriman yang tinggi ini, ia mengaku belum mengirim makanan tersebut.

”Maunya kita ini, bagi yang kecil-kecil ini jangan dikenakan pajak. Makin mahal ongkos kirim dan pajak, makin sulit menjualnya,” ungkapnya.

Terkait tingginya biaya pengi-riman ini, Kepala Bidang BKLI KPU BC Batam, Sumarna, mengatakan bahwa untuk hasil industri Usaha Kecil Menengah (UKM) di Batam, memang dikenakan pajak.

”PPN 10 persen,” katanya.

Ia mencontohkan, dengan harga barang Rp 300 ribu, pajak yang dibebankan sebesar Rp 30 ribu. Ia mengatakan, pemungutan pajak ini sudah sesuai aturan yang berlaku.

”Tapi kalau ongkos kirim, bukan BC yang mungut,” pungkasnya. (*)

Update