Jumat, 10 Januari 2025

Volume Pengiriman Barang Turun 70 Persen sejak PMK 199/2019 Diberlakukan

Berita Terkait

batampos.co.id – Elyani, salah satu pedagang online, terlihat mengambil beberapa barang pesanan pelanggan di salah satu toko reseller tas dan sepatu di Kompleks Nagoya Newtown, Jalan Imam Bonjol, Nagoya, Kamis (6/2/2020) siang lalu.

Kepada staf toko yang melayaninya, ia mengeluh. Aturan bea masuk terkait pengiriman barang yang diberlakukan pemerintah berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 199/2019 telah membuat kondisi jualannya tak laku.

“Banyak pelangganku ka­bur begitu saya kasih tahu terkait perubahan peraturan ini,” ujar Elya ketika koran ini me­nemuinya di kawasan Nagoya.

Ibu dua anak ini sudah menjadi reseller online sejak 2016 lalu. Setelah memiliki anak, ia memutuskan untuk berhenti kerja kantoran dan memilih merawat anak sembari menjalankan bisnis dari rumah.

“Sebelumnya, dalam sehari saya bisa menjual 2 kodi barang yang dikirim ke seluruh Indonesia. Ya, macam-macam. Ada tas, sepatu, dan sandal. Tapi sejak peraturan ini berubah mulai 30 Januari lalu, pendapatan terjun bebas. Jual lima biji tas pun dalam sehari susah,” ungkapnya panjang lebar.

Ia mengungkapkan, berdasarkan keterangan pemerintah yang ia hadiri di kantor BP Batam pada 27 Januari lalu, peraturan ini dibuat adalah baik untuk melindungi para pelaku usaha UMKM. Namun yang terjadi, justru berdampak sebaliknya bagi dia dan sebagian besar pebisnis online lainnya di Batam.

“Ketetapan ini baru berlaku, tapi hasil ke pendapatan sangat berdampak nyata. Yang tadinya kita mampu membeli susu anak dan memenuhi kebutuhan sehari-hari lewat bisnis ini, sekarang ya tunggu nasib. Menunggu pelanggan yang juga mau menerima kebijakan ini,” ungkapnya.

Sebelumnya, untuk satu tas yang ia jual Rp 300 ribu per satuan, ia hanya mengenakan ongkos kirim sesuai dengan biaya yang ditetapkan ekspedisi pengiriman. Namun sekarang, ia harus menambahkan bea masuk yang berlaku 15-20 persen, PPN 10 persen, serta PPh sebesar 7,5-10 persen.

“Bayangkan barang yang tadinya dijual Rp 300 ribu, dan hanya rentang beberapa hari berubah, naik menjadi Rp 500 ribu lebih di luar ongkos kirim, siapa yang tak kaget? Saya juga memaklumi pelanggan yang kabur,” jelasnya.

Tak hanya Elya. Sejumlah pedagang online lainnya juga memutuskan berhenti memasarkan produk mereka keluar Batam. Biaya pengiriman barang dagangan keluar Batam yang bisa bertambah lebih dari setengah harga barang menjadi alasannya. Hal itu dihitung dari biaya bea masuk yang dikenakan untuk satu jenis barang bisa sampai 30 persen, kemudian pajak penambahan nilai (ppn) 10 persen dan ongkos kirim dengan biaya berbeda untuk masing-masing daerah.

Mia Shop, pedagang online lainnya, mengaku sudah tak lagi memasarkan barang dagangannya ke luar Batam.

Karyawan PT Pos Indonesia cabang Batam, Batam Center, sedang menyusun barang-barang paket sebelum dikirim, beberapa waktu lalu. F.oto: Cecep Mulyana/batampos.co.id

“Sejak peraturan ini berlaku, biaya pengiriman menjadi sangat mahal. Apalagi, setiap konsumen mendengar biaya yang naik drastis, langsung membatalkan pesanan,” ujar Mia miris.

Dicontohkannya, pada1 Februari lalu ada salah satu pelanggan yang memesan sepatu dan tas yang akan dikirim ke Sumatera Barat. Total belanjaan keseluruhan si pelanggan Rp 480 ribu. Saat akan mengirim, Mia menjelaskan rincian biaya kirim kepada pelanggannya tersebut. Untuk sepatu yang harga Rp 180 ribu dikenakan biaya Rp 102 ribu (terdiri dari Rp 54 ribu bea masuk + Rp 18 ribu PPN + 30 ribu ongkir untuk satu kilogram barang).

Sedangkan untuk tas dikenakan biaya kirim Rp 120 ribu (terdiri Rp 60 ribu bea masuk + Rp 30 ribu PPN + Rp 30 ribu ongkir), sehingga total biaya kirim Rp 222 ribu.

“Saya bilang total yang harus dikirim Rp 702 ribu. Sebanyak Rp 480 ribu harga barang dan Rp 222 ribu biaya kirim. Pelanggan kaget sambil bilang ‘kok bisa sebanyak itu’. Ya saya jelaskan kondisinya seperti apa. Akhirnya dia membatalkan pembeliannya. Untungnya barang belum saya bayar ke toko. Begitu ia membatalkan, saya juga membatalkan pesanan ke toko. Sama-sama tak enak jadinya,” ungkap Mia.

Menurut dia, harga barang yang dipasarkan pun sudah lumayan turun hingga Rp 100 ribu dari biasanya. Namun, pelanggan luar daerah Batam banyak yang tak siap dengan penetapan nilai pajak dan bea masuk yang disatukan dengan biaya kirim ini.

Mia menambahkan, saat ini ia memilih hanya berjualan untuk daerah sekitar Batam. Tentunya, harga yang dijual juga lebih murah dibandingkan harga keluar Batam. Hal itu karena masyarakat Batam sudah banyak tahu harga barang.

“Kalau untuk Batam, paling ambil untung Rp 20-30 ribu saja. Itu pun pesanannya kadang ada kadang tak ada. Otomatis jumlah penjualan menurun drastis begitu peraturan ini berlaku,” imbuhnya.

Hal hampir senada dikatakan Erin, pedagang tas dan sepatu online. Ia memutuskan untuk tak berjualan lagi, karena aturan baru yang sangat menyusahkan para pedagang online.

“Saya tak jualan lagi, sudah hampir dua minggu. Sebelum aturan (PMK 199) berlaku, pedagang kan sudah dipersulit, barang-barang yang akan dikirim keluar Batam ditahan dulu,” jelas Elin.

Padahal, lanjut Elin, ia cukup bergantung ke usaha online karena gaji sang suami sangat terbatas untuk biaya rumah tangga. Sementara, ia memiliki tiga anak yang masih butuh biaya besar.

“Padahal baru jualan 2 tahun dan memang yang pesan tak banyak juga, tapi lumayan lah untungnya untuk tambah-tambah beli beras,” ungkap Elin.

Namun, sekarang, ia harus berhenti karena aturan yang dirasa sangat menyulitkan untuk pengiriman barang keluar Batam. Ia harus memutar otak mencari tambahan pendapatan lainnya.

“Sudah cukup jualan online. Kemarin sulitnya karena banyak saingan, sekarang ditambah dengan aturan baru,” kesalnya.

Muhammad Abunumay, pedagang online sekaligus pelaku usaha tour and travel, mengungkapkan tak terlalu kaget dengan ketentuan yang ditetapkan Menteri Keuangan terkait barang kiriman ini. Yang tadinya peraturan bebas bea masuk dari nilai barang USD 75 menjadi hanya USD 3 atau sekitar Rp 45 ribu, karena memang barang jualannya selalu di atas nilai USD 75 dolar.

“Menurutku peraturan ini bagus untuk memutus mata rantai kecurangan para pemain-pemain besar, usaha ritel yang banyak menimbun barangnya di Batam setelah diimpor dari negara lain,” jelasnya, Jumat (7/2) lalu.

Namun, menurutnya, pemerintah kurang kajian terkait dampak di kalangan para reseller kecil di Batam.

“Pertanyaannya, peraturan ini dipukul rata untuk semua barang? Ini yang membuat bingung. Masa saat pengiriman kembali ke luar Batam dikenai bea masuk, PPN dan juga kadang PPh?

“Kalau begitu tak usah ada FTZ saja ini Batam. Lebih banyak repotnya kok. FTZ tak bisa dinikmati masyarakat kalau begini. Masyarakat mau bisnis apa, ya repot. Lebih-lebih dari luar negeri Batam ini. Apa arti dari kekhususannya kalau begini?’ tambah Abunumay.
Menurutnya, warga Batam tak menikmati apa sebenarnya keunggulan dari FTZ itu sendiri. Lebih mahal ongkos kirim dari nilai barang menjadi sesuatu hal yang absurd tapi nyata terjadi di Batam.

“Harusnya regulasinya jelas dulu seperti apa. Sosialisasinya dilakukan sejak kapan biar masyarakat kecil nggak terlalu syok dengan perubahan,” ungkapnya.

Sementara itu, di tempat terpisah, Kepala Kantor Pos Indonesia Batam, Masni Gardenia Augusta, tak menampik aturan PMK 199 membuat banyak pihak menahan pengiriman barang keluar Batam. Dari sisi pasar, volume pengiriman barang turun drastis sekitar 60-70 persen dari volume pengiriman biasanya sejak 30 Januari.

Dari yang biasanya pengiriman bisa 8.000-9.000 per hari, saat ini turun hingga hanya 2.000 pengiriman. “Dari sisi pasar memang volume turun hingga 70 persen. Data ini kami dapat dari 26 kantor cabang dan 67 agen pos Batam-Karimun,” ujar Masni di Kantor Pos Batam Center, Senin (3/2) lalu.

Banyak Belum Paham

Kepala Bidang Bimbingan Kepatuhan dan Layanan Informasi (BKLI) Bea Cukai Batam, Sumarna, mengatakan pemberlakuan PMK Nomor 199/2019 di Batam, banyak masyarakat belum paham dan terkesan terkejut dengan penerapan aturan tersebut. Padahal sebelumnya, warga Batam sudah diberikan kemudahan bebas insentif fiskal.

Pasalnya, barang dari Batam yang biasanya dikirim ke daerah lain tak dikenakan PPN 10 persen, saat ini semua barang dikenakan PPN 10 persen baik itu barang lokal maupun barang impor. Sementara khusus untuk barang impor dikenakan nilai tambahan yakni bea masuk sebesar 7,5 persen.

“Khusus barang kiriman, kalau barang masuk dari luar negeri ke Batam, sebelum diberlakukan PMK 199 kan tak ada pengenaan baik itu PPN maupun bea masuk. Namun adanya PMK Nomor 199/ 2019 ya wajib dijalankan. Semuanya. Tak terkecuali Batam,” kata Sumarna kepada Batam Pos, Sabtu (8/2). (cha/gas)

Update