Rabu, 24 April 2024

Guru Honorer Minta Regulasi Tegas

Berita Terkait

batampos.co.id – Kebijakan Mendikbud Nadiem Anwar Makarim menambah alokasi dana BOS untuk gaji honorer sampai 50 persen mendapat respons positif. Di antaranya dari Perkumpulan Tenaga Honorer Kategori 2 Indonesia (PHK2I). Namun mereka menuntut ada regulasi teknis yang tegas dalam penerapannya. Ketua Umum PHK2I Titi Purwaningsih menunggu realisasi kebijakan itu di tingkat sekolah. Dia mengatakan, kebijakan itu berbunyi dana BOS bisa untuk gaji honorer maksimal 50 persen.

”Maksimal 50 persen, berarti bisa 40 persen, 20 persen, atau bahkan tidak ada. Sesuai kebutuhan di sekolah,” katanya, Selasa (11/2).

Dia berharap ada aturan yang lebih tegas dan menyebutkan dana BOS minimal 50 persen. Sehingga ada jaminan kesejahteraan para guru honorer. Dia mencontohkan pada ketentuan yang lama, alokasi gaji guru honorer dari dana BOS maksimal 15 persen untuk sekolah negeri dan 30 persen untuk sekolah swasta. Dengan alokasi tersebut, ada guru honorer yang menerima gaji dari dana BOS Rp 150 ribu/bulan. Dia berharap jika gaji guru honorer boleh diambil dari dana BOS hingga 50 persen, gajinya naik menjadi Rp 500 ribu/bulan.

Menurut Titi, pada praktiknya nanti sekolah pasti kesulitan dalam mengalokasikan 50 persen dana BOS untuk gaji guru honorer. Sebab, kebutuhan uang untuk biaya operasional sekolah sangat banyak.

”Apalagi sekolah dituntut berkualitas. Kalau mau berkualitas itu ada biayanya,” katanya.

Ilustrasi guru SD.
F Dalil Harahap/Batam Pos

Misalnya, untuk mempersiapkan ekstra kurikuler atau perlombaan tertentu. Sekolah perlu menghadirkan pelatih yang kompeten. Praktis, butuh biaya besar. Biaya ini diambilkan dari dana BOS. Belum lagi pengeluaran operasional lainnya.

Sementara itu Direktur Kurikulum, Sarana, Kelembagaan, dan Kesiswaan (KSKK) Madrasah Kemenag, Ahmad Umar, mengatakan akan menyesuaikan regulasi penyaluran dana operasional untuk madrasah.

”Nanti akan dibuatkan peraturan menteri agama (PMA, red),” katanya. Umar menuturkan, kondisi madrasah sangat beragam. Ada madrasah yang muridnya banyak, sehingga mendapatkan dana bantuan operasional besar. Sebaliknya ada madrasah yang siswanya sedikit, sehingga kucuran dana operasionalnya sedikit.

Dia mengatakan, akan mengkaji skema subsidi silang diantara madrasah. Teknisnya madrasah yang mendapatkan kucuran dana bantuan operasional besar, bisa mensubsidi madrasah yang kecil. Sebab pengalaman selama ini, dana BOS di madrasah besar tidak terserap seratus persen. Kepala sekolah SMAN 61 Jakarta Horale Manullang mengungkapkan, penyaluran dana BOS langsung ke sekolah bukan hal baru. Sebab, kali pertama BOS dicanangkan dana tersebut langsung ditransfer dari pemerintah ke rekening sekolah. Sebagai manajer sekolah, dia akan menjalankan sesuai petunjuk teknis yang tertuang dalam Peraturan Kemendikbud Nomor 8 tahun 2020.

Horale menuturkan, pelaporan penggunaan anggaran yang simple dan luwes akan memudahkan sekolah membuat laporan.

”Tentu laporan dapat dipertanggunjawabkan secara detil,” ucapnya.

Selain itu, seluruh transaksi, termasuk untuk melakukan kegiatan dan pengadaan dilakukan secara non tunai.

Mengenai alokasi dana BOS untuk gaji honorer hingga 50 persen, Horale tidak akan menggunakan itu. Sebab, gaji honorer sudah ditanggung oleh Pemerintah DKI Jakarta dengan Kontrak Kerja Individu (KKI). ”Gajinya sudah UMP (Upah Minimum Provinsi, red),” terang pria asal Medan tersebut.

Di sisi lain, Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia Muhammad Ramli Rahim menilai ada sisi positif dan negatif perubahan mekanisme dana BOS. Sisi positifnya, kata Ramli, pemda tidak lagi bisa menahan dana BOS dengan berbagai alasan. Termasuk alasan politis pemimpin daerah. Kucuran 70 persen dana pada semester pertama membuat kepala sekolah maupun guru bisa tersenyum lega.

”Sebab, mereka tidak perlu lagi mencari hutang untuk menalangi biaya operasional sekolah. Sudah bukan rahasia umum lagi,” jelas Ramli.

Juga meningkatnya nilai satuan dana BOS diharapkan mampu membuat kualitas operasional sekolah semakin berkualitas.

Sementara untuk sisi negatifnya, Ramli menuturkan, penambahan alokasi 50 persen untuk gaji honorer sangat kontraproduktif dengan keputusan DPR dan BKN. Yakni menghapuskan Sistem Honorer.

”Seharusnya bukan jadi 50 persen, tetapi nol persen. Biarkan pemerintah daerah memikirkan caranya menanggulangi kekurangan guru ini,” bebernya.

Selain itu, porsi dana BOS, menurut dia belum adil. Terutama bagi sekolah dengan jumlah siswa sedikit tapi dengan kondisi geografis berat. Juga harus dipikirkan kemungkinan kepala sekolah berurusan dengan hukum.

”Karena kepala sekolah akan diancam untuk membiayai sesuatu meski tidak ada posnya dalam dana BOS. Dalam hal ini pemda masih punya kekuatan mengangkat dan memberhentikan kepsek. Juga dapat memerintahkan sesuatu kepada kepala sekolah,” urai Ramli.

Terpisah, Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Astera Primanto Bhakti menyebut, pihaknya bersama Kemendagri dan Kemendikbud terus melakukan transparansi agar akuntabilitas pengelolaan dana BOS ke rekening sekolah bisa terjamin.

”Karena juknisnya yang lewat APBD dan lainnya itu adanya di Kemendagri, kalau juknis penggunaan ada di Kemendikbud. Kalau di Kemenkeu juknisnya lebih kepada bagaimana penyaluran dananya,” ujarnya ditemui di kantor Ditjen Pajak, Jakarta, kemarin (11/2).

Prima menjelaskan, seluruh ketentuan dana BOS itu diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 9/PMK.07/2020 tentang Perubahan PMK No. 48/PMK.07/2019 tentang Pengelolaan Dana Alokasi Khusus Nonfisik. Pihaknya berharap, adanya terobosan perubahan penyaluran dana BOS itu bisa lebih memperlancar sekolah dalam melakukan kegiatan operasional.

”Aturan PMK-nya sudah keluar, peraturan Mendikbud juga sudah, yang Kemendagri nanti akan dilakukan pengecekan lebih lanjut,” katanya. (wan/han/dee)

Update