Selasa, 23 April 2024

Sayonara Corona

Berita Terkait

YA. Saya tergelitik membuat judul tulisan kali ini seperti di atas setelah berdiskusi dengan seorang teman dari Natuna melalui sambungan telepon. Ya, catatan ini untuk Natuna (dan Anambas).

Jika tak ada aral melintang, Sabtu besok, 238 WNI dari China yang dikarantina sejak dua pekan lalu bersama kru pesawat di Natuna, akan meninggalkan kabupaten penghasil migas itu.

Menkes RI dr Terawan Agus Putranto sudah memberikan jaminan bahwa kondisi seluruh WNI itu baik-baik saja dan dapat berkumpul dengan keluarga. Baiklah. Selamat kembali ke daerah masing-masing. Natuna, tetaplah damai…

Di balik “tragedi” itu, mestinya ada hal yang lebih penting dipikirkan oleh Pemkab Natuna dan legislatif Natuna serta legislatif Kepri dapil Natuna – Anambas. Apa itu? Bargaining pasca-karantina. Lho, kok bisa?

Begini. Selain karena mendadak, karantina WNI asal Wuhan itu di Natuna, sejak hampir dua pekan lalu tanpa “halo-halo” ke pemda dan rakyat Natuna, dengan alasan urgent, Natuna juga belum mendapatkan kompensasi atas karantina itu dari pemerintah pusat. Hal itu pernah ditegaskan Menkopolhukam Mahfud MD, setelah kedatangan delegasi pemda dan DPRD Natuna, pekan lalu di Jakarta.

Padahal, rasa takut dan cemas warga Natuna, terutama mereka yang mendiami sekitar bandara yang disebut sebagai fasilitas militer itu oleh pemerintah pusat, sebaiknya mendapatkan reward setimpal. Bentuknya bisa macam-macam. Misalnya, rehabilitasi psikis atau fasilitas kesehatan memadai.

Bukan rahasia bahwa fasilitas kesehatan di Natuna, semacam rumah sakit atau puskesmas, masih jauh dari memadai. Peralatan masih minim, dipan pasien terbatas, obat-obatan yang masih sering putus, atau dokter spesialis yang masih boleh dihitung dengan jari. Belum lagi jika dilihat dari sisi fasilitas penunjang bagi rakyat yang hendak berobat, semisal transportasi antar-pulau yang masih minim, sehingga masih kita dengar ada pasien yang menghembuskan nafas terakhir dalam perjalanan laut menuju rumah sakit.

Oleh karenanya, pilihan untuk memperpendek rentang kendali dan menyederhanakan birokrasi, mestilah menjadi pilihan utama bagi Natuna. Begitu juga jika dilihat dari sisi UU tentang kewenangan daerah, kendali masih dominan di pemerintah provinsi. Sementara jarak antara Natuna (dan Anambas) ke ibukota provinsi di Tanjungpinang, lebih dari 300 mil.

Begitu pula jika dilihat dari sisi kewenangan mengelola SDA di laut, menurut UU, berada di tangan pemerintah provinsi sejak 0 hingga 12 mil. Padahal, Natuna (dan Anambas) merupakan kabupaten kepulauan yang sebagian besar wilayahnya adalah perairan. Jika kewenangan mengelola SDA laut 0-12 mil ada di pemerintah provinsi dan selebihnya hingga ZEE adalah kewenangan pemerintah pusat, lalu Natuna dan Anambas dapat apa?

Oleh sebab itu, muncul wacana untuk menjadikan Natuna-Anambas sebagai provinsi khusus. Sebab jika hendak dijadikan provinsi “normal”, memerlukan syarat yang cukup rumit, mulai dari jumlah kabupaten, PAD, luas wilayah, jumlah penduduk, hingga rekomendasi pemerintah kabupaten, provinsi, hingga pusat.

Belajar dari Papua Selatan, yang saat ini intensif dipertimbangkan oleh Mendagri Tito Karnavian dan DPR RI untuk dijadikan provinsi khusus, tak ada salahnya jika ingin menggesa Natuna-Anambas untuk ikut dibahas dan masuk ke dalam prolegnas (program legislasi nasional) tahun 2020 di DPR RI. Maka, semua stake holders di Natuna-Anambas dan legislatif setempat dan legislatif dapil Kepri dapat memperjuangkannya ke Jakarta.

Caranya, selain bupati, ketua DPRD, maka anggota dewan yang memiliki kursi di DPRD Natuna, Anambas, dan Kepri, harus menjadi penyambung lidah rakyatnya ke fraksi partai masing-masing di Senayan. Sejauh ini, baru PPP, dari Natuna, provinsi, hingga pusat, yang sinkron menyatakan mendukung berdirinya provinsi khusus. Dukungan juga datang dari anggota DPR RI (Ketua DPD Partai Golkar Kepri) Ansar Ahmad, dan beberapa petinggi partai kuning itu di Jakarta serta anggota DPD RI Ria Saptarika.

Selebihnya, belum ada pernyataan resmi dari anggota DPRD Natuna, DPRD Anambas, dan DPRD Kepri dapil Natuna-Anambas. Setidaknya, saya belum belum pernah membaca mereka bicara melalui media. Padahal, mereka, para anggota dewan itu, punya fraksi di DPR RI dan DPP masing-masing. Tinggal berkomunikasi ke Jakarta.

Begitu juga soal pilkada yang semestinya mulai intens dibahas. Tahun 2020 ini, September nanti, Natuna juga akan menggelarnya. Mereka akan memilih bupati dan wakil bupati periode 2020-2024. Bupati Hamid Rizal akan berehat karena sudah menjabat dua kali. Namun, gaung pilkada belumlah kencang. Masih sayup-sayup. Belum banyak pilihan tersedia. Figurnya masih terbatas. Natuna memerlukan pemimpin baru yang visioner, komunikator, cekatan, mau bekerja keras, dan punya jaringan luas.

Kedatangan Presiden Jokowi beberapa kali ke Natuna, juga para menteri dan anggota DPR RI, mestinya dapat menjadi pemicu pemda mengejar ketertinggalan Natuna. Harus ada yang mengetuk pintu Istana sampai semua janji yang diucapkan Jokowi untuk Natuna dapat terealisasi. Tak cukup sebatas dokumen ratas yang dipimpin oleh Presiden di atas kapal perang di Natuna tahun 2017. Harus difollow-up secara legal formal oleh semua kekuatan pemerintah, DPRD, dan forkominda di Natuna.

Maka, di akhir catatan kecil ini, saya numpang berseru: sayonara corona, mari bicara provinsi khusus dan pilkada! ***

Update