Jumat, 26 April 2024

Panas Menjelang Akhir

Berita Terkait

batampos.co.id – Kepala Badan Pengusahaan (BP) Batam, Muhammad Rudi, mengungkapkan pengelolaan air bersih di Batam akan diambil alih oleh BP Batam mulai November 2020 mendatang, setelah 25 tahun dipegang PT Adhya Tirta Batam (ATB).

“Pada akhir pengelolaannya November nanti, BP ambil alih. Tidak ada yang lain-lain lagi. Tidak ada lelang-lelang,” ujar Rudi saat jumpa pers di Marketing Centre BP Batam, Kamis (23/1/2020) lalu.

Kala itu, Rudi baru empat bulan menjabat sebagai Kepala BP. Hanya saja, untuk  ketentuan pengelolaan nanti, Rudi belum tahu sistem selanjutnya seperti apa.

“Apakah nanti 100 persen (dikelola BP) atau ada hal yang lain, kita belum tahu,” ungkapnya.

Presiden Direktur PT ATB, Benny Andrianto Antonius, yang ditemui di kantornya di Permata Niaga Sukajadi, Selasa (11/2), membenarkan pihaknya telah menerima surat pengakhiran dari BP, sehari sebelum Rudi dilantik menjadi Kepala BP Batam, 26 September 2019 lalu.

“Pak Edy (Kepala BP saat itu, Edy Putra Irawady) menerbitkan surat. Isinya: tidak memperpanjang (konsesi, red). Jadi apa yang disampaikan Pak Rudi itu tak mengada-ada,” ujar Benny.

Benny mengungkapkan, sebenarnya, surat yang diterbitkan 26 September 2019 tersebut merupakan tindak lanjut surat yang dikirimkan ATB April 2019 yang mengingatkan kewajiban BP Batam untuk memberitahukan secara terbuka, terkait lanjut atau tidaknya masa konsesi, mengingat waktu berakhirnya sudah semakin dekat.

“Ini sebuah konfirmasi, agar proses pengakhiran berjalan lancar. Soalnya, banyak hal yang masing-masing kita harus selesaikan terkait hak dan kewajiban. Terkait aset juga,” jelas Benny.

Namun, Benny menganggap isi surat tersebut rancu. Tidak tepat sasaran. Menurut
Benny, BP Batam sebagai regulator yang menjalankan tata laksana pemerintahan yang baik1 (good corporate governance), seharusnya mengajak ATB duduk bersama untuk membahas kebijakan pengakhiran, baru mengeluarkan surat.

“Sejauh ini tak pernah ada proses diskusi. Harusnya sebagai good governance, kita (ATB, red) harus dipanggil. Ini langsung surat yang keluar,” jelasnya.

“Lagian, harusnya isi suratnya: mengakhiri. Bukan ‘tidak memperpanjang’. Ini yang menjadi polemik. Sebenarnya, kontrak berakhir 14 November 2020 itu harus diakhiri dulu, baru selanjutnya ada keputusan perpanjang atau tidak,” papar Benny lagi.

“Setelah pengakhiran, kewajiban dan hak ya harus ditunaikan dulu. Harus diselesaikan. Makna dari pengakhiran dan tidak diperpanjang itu beda,” tambahnya.

Sistem konsesi di Indonesia, pertama kali dikenalkan di masa penjajahan kolonial Belanda berdasarkan konsep hukum perdata Barat yang diatur dalam Burgirljk Wetboek (BW).

Konsesi pertama kali digunakan untuk pemberian hak mengeksplorasi pertambangan.
Berdasarkan BW, pemegang konsesi memiliki kewenangan yang sangat luas, meliputi
kewenangan publik.

Hal ini menjadikan pemilik hak konsesi dapat dengan bebas melokalisasi areanya dengan semua kebijakan yang bersumber langsung dari pemegang konsesi.

Definisi konsesi sesuai ketentuan nomor 20 pada Pasal 1 UU Nomor 30/2014 diartikan
sebagai keputusan pejabat pemerintahan yang berwenang sebagai wujud persetujuan
dari kesepakatan badan dan/atau pejabat pemerintahan dengan selain badan dan/atau pejabat pemerintahan dalam pengelolaan fasilitas umum dan/atau sumber daya alam dan pengelolaan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Presiden Direktur ATB Banny Andrianto saat menjelaskan konsep SCADA terintegrasi dalam ajang IWWEF 2019. Foto: ATB untuk batampos.co.id

Jauh sebelum adanya UU tersebut, konsesi sendiri telah termasuk dalam ranah hukum
administrasi negara sebagai perizinan yang bersifat publik.

BP dengan ATB mengadakan perjanjian konsesi sejak 1995 lalu. Dalam perjanjian, ATB
sebagai operator sekaligus investor menjalankan kinerja berdasarkan business model, bertanggung jawab atas 107 ribu sambungan pelanggan dan juga investasi sebesar Rp 350 miliar.

Seiring perjalanannya sebagai penyedia air bersih di Batam, ATB mampu memasang
sambungan ke pelanggan melebihi perjanjian. ATB mencatat, sebanyak 290.935 sudah tersambung ke pelanggan dari 1,3 juta penduduk Batam.

Demikian juga investasi telah berkembang menjadi Rp 1 triliun dari Rp 350 miliar yang diwajibkan dalam perjanjian konsesi.

“Harusnya dengan model kinerja begini, mampu bekerja di atas standar konsesi, BP harusnya bayar lebih dong ke kami. Karena ini bisnis,” ujar Benny.

Namun, yang terjadi malah sebaliknya. BP terkesan lepas tangan. Kewajiban di dalam perjanjian konsesi yang harusnya dijalankan BP berupa peninjauan tahunan untuk
membahas hasil kinerja, rencana kerja, serta tinjauan tarif sebagai satu-satunya
upaya untuk mengembalikan investasi, sudah sembilan tahun tak pernah dilaksanakan.

“Sejak 2011, BP Batam tak pernah menjalankan peninjauan tahunan. Ini jelas wanprestasi,” tegas pria lulusan master bisnis administrasi dan manajemen dari Universitas Gadjah Mada ini.

Selama ini, tambah Benny, BP Batam menganggap PT ATB baik-baik saja. sehingga tak perlu dilaksanakan peninjauan tahunan dan evaluasi kinerja.

“Meski begitu, peninjauan tahunan sebagai bagian dari aktivitas legal dari konsesi, tetap harus dijalankan. Jangan take it for granted dan keluhan yang kami sampaikan diabaikan begitu saja,” ungkapnya.

“Apakah ATB tidak pernah menanyakan kepada BP kenapa peninjauan tahunan tidak dijalankan? “Pernah. Tapi tidak ada jawaban. Modelnya begini, ATB itu opera-
tor, BP regulator. Harusnya BP dong yang menjalankan, kita ikut. Tapi ini tak ada. Itu
artinya semena-mena,” ujar Benny lagi.

Demikian juga dalam hal penetapan tarif air, BP tak pernah membahasnya sejak sembilan tahun belakangan.

Padahal, mekanisme penetapan tarif harusnya diberlakukan sesuai dengan rujukan Permendagri Nomor 71/2016 tentang Perhitungan dan Penetapan Tarif Air Minum.

Dalam peraturan tersebut diatur, perhitungan dan penetapan tarif air minum didasarkan pada: keterjangkauan dan keadilan, mutu pelayanan, pemulihan biaya, efisiensi pemakaian air, perlindungan air baku, dan transparansi akuntabilitas.

ATB mengklaim, semua hal itu telah dilaksanakan untuk meningkatkan pelayanan air bersih di Batam.

Mulai dari perbaikan manajemen serta menerapkan sistem kendali berbasis komputer atau yang dikenal dengan Supervisory Control and Data Acquisition (SCADA) dan GIS terintegrasi sejak 2017 lalu.

Dengan menggunakan sistem ini, ATB sukses mengatasi kebocoran 14 persen, terendah
di Indonesia dari toleransi 25 persen sesuai dengan perjanjian konsesi.

“Kalau kebocoran sesuai dengan toleransi yang diberikan, yakni 25 persen, sejak tiga tahun lalu air bersih di Batam sudah kiamat,” kata Benny.

“ATB 10 tahun tak naik tarif, tapi ATB bisa survive. Ya, karena ATB efisien. Mampu
menekan kebocoran dan meningkatkan investasi. Kita membuat itu berhasil, harus-
nya ATB dapat insentif, bukan malah dibilang menikmati,” jelasnya.

“Tak logis itu. Tarif digunakan untuk investasi, bukan untuk dinikmati ATB. Dalam hal
berinvestasi, kami memakai duit, dan itu kami butuh pengembalian. Logikanya seperti itu,” ungkapnya.

Dalam perjanjian, ATB seharusnya bisa menuliskan nota keberatan atau memberhentikan produksi. Namun, tak semudah itu, karena mereka perusahaan swasta yang melayani kepentingan publik, menyediakan air bersih bagi masyarakat.

“Tapi yang sebenarnya terjadi, mereka (BP, red) sebenarnya default, sudah wan
prestasi juga. Kami sembilan tahun tak pernah komplain,” paparnya.

“Mengapa? ATB tak ingin mengganggu pelayanan penyediaan air bersih ke masyarakat. Ini itikad baik kami dan inilah yang sedang terjadi dengan ATB,” tegas Benny.

Benny mengatakan, sebelum konsesi ini selesai, sebaiknya BP menyelesaikan dulu tang-
gungjawabnya.

“Kalau tak selesaikan kewajiban, otomatis akan diperpanjang. Dan perlu diketahui, tak ada satu kewajiban pun yang ATB belum tunaikan, dan tidak pernah terlambat dalam hal pelayanan dan royalti,” ungkapnya.

Ia menegaskan, jika BP Batam tak menunaikan kewajibannya sebagaimana yang tertulis dalam perjanjian konsesi, maka ATB juga takkan menyerahkan begitu saja aset
yang ada.

Benny mengatakan, perjanjian konsesi mewajibkan ATB ‘hanya’ memasang 107 ribu
sambungan pelanggan dan investasi Rp 350 miliar.

Tapi, hingga saat ini, kata dia, ATB sudah memasang 290.935 sambungan pelanggan dan
investasi mencapai Rp 1 trilun.

Menurut Benny, jika BP Batam ingin mengambil alih pengelolaan air setelah masa konsesi berakhir, maka BP Batam seharusnya terlebih dahulu membayar kepada ATB atas kelebihan jumlah sambungan dan investasi yang dilakukan ATB.

Apabila BP Batam menolak membayar, kata Benny, bisa saja ATB hanya menyerahkan sambungan pelanggan seba nyak 107 ribu sesuai perjanjian konsesi.

“Sisanya kami kelola sendiri,” ujarnya.

Begitu juga dengan investasi jaringan dan waterplant.

“Kami serahkan sesuai nilai yang ada di konsesi saja, Rp 350 miliar. Sisanya tetap kami pegang,” katanya.

Dengan situasi seperti ini, jalan pengakhiran perjanjian pengelolaan air bersih di Batam bakal menemui kebuntuan.

Apakah ada kemungkinan ATB akan melakukan gugatan jika BP Batam tetap mengakhiri konsesi tanpa memenuhi permintaan ATB?

“Tentu saja. Kami akan menempuh jalur hukum. Kami tentu akan mempertahankan
milik kami,” kata Benny.

“Ini bisnis, bukan kerja sosial,” katanya.

Kendati BP sudah menyatakan tidak akan melanjutkan kerja sama dengan ATB, Direktur Fasilitas dan Lingkungan BP Batam, Binsar Tambunan, memuji kinerja ATB yang sudah menjadi perusahaan air minum nomor satu di Indonesia dan sudah melayani kebutuhan air bersih masyarakat Batam selama 25 tahun.

ATB yang dibentuk oleh konsorsium sejumlah perusahaan tersebut mulai melayani Batam sejak 1996.

Kala itu jumlah penduduk Batam masih 247.958 orang. Koneksi pipa menjangkau 36 persen wilayah Batam serta memproduksi air bersih sebanyak 460 liter per detik.

Nonrevenue water (NRW) mencapai 46 persen, rasio pegawai terhadap 1000 pelanggan
mencapai indeks 7.47 dan kontribusi terhadap BP Batam sebesar Rp 30 miliar.

Sedangkan hingga 2018, ATB telah melayani hampir seluruh penduduk Batam. Koneksi
pipa mecapai 4.183 kilometer yang menjangkau 99,5 persen area Batam.

Total kapasitas produksi mencapai 3.610 liter per detik. NRW 16,8 persen, rasio pegawai terhadap 1000 pelanggan mencapai indeks 2.06 dan kontribusi terhadap BP Batam sebesar Rp 1,921 triliun.

Tapi, saat ini, keputusan tersebut sudah bulat karena BP Batam ingin mengikuti regulasi yang berlaku, di mana pengelolaan air harus diambil oleh BUMN, BUMD, pemerintah daerah dan setingkatnya.

Hingga 2019, total volume air yang dapat ditampung oleh lima waduk operasional dan
waduk lainnya yang belum beroperasi mencapai 109,6 juta meter kubik.

Dan total kapasitas air yang bisa dialirkan mencapai 4.343 liter per detik. Sedangkan kebutuhan air untuk warga Batam mencapai 3.200 liter per detik.

Deputi IV BP Batam Shahril Japarin mengatakan, pihaknya masih mempelajari terkait pengakhiran konsesi pengelolaan air dengan ATB.

“Pak Kepala sudah sampaikan akan diakhiri dulu. Kontraknya begitu. Kalau sekira-
nya dilanjutkan, kita lihat dulu, apa aturannya membolehkan atau tidak,” ungkapnya.

Pihaknya saat ini hanya fokus pada persiapan pengakhiran kontrak dan juga perhitungan aset yang muncul selama masa konsesi berlangsung.

“Saat ini selesaikan dulu kontraknya. Pelajari dulu dengan baik dan siapkan. Mengenai perhitungan aset, kami lagi kumpulin semua,” ujarnya.

Sedangkan Head of Corporate Secretary ATB, Maria Jacobus, mengatakan, meski sampai di titik menjelang 25 tahun mengelola air di Batam, ATB tetap menunjukkan performa yang moncer dan profesional.

ATB tetap berupaya memberikan pelayanan terbaik untuk pelanggan. Salah satunya berkat inovasi dengan membangun sistem Supervisory Control And Data Acquisition (SCADA) terintegrasi.

SCADA terintegrasi yang dibangun ATB sebuah sistem kendali berbasis komputer sehingga dapat mengontrol serta mengetahui informasi lebih rinci secara real time mulai  dari produksi, distribusi, hingga kontrol kebocoran dalam satu layar.

Melalui sistem terintegrasi ini efisiensi dalam mengelola air bersih akan tercapai.

“Lebih dari itu, informasi pelanggan juga kami petakan secara detil. Analisa big data
juga kami lakukan. Dengan demikian, ATB tidak hanya bisa bereaksi setelah sebuah
masalah terjadi, bahkan kami bisa mendektesi masalah sebelum terjadi,” ungkap Maria.

Inovasi yang lahir dari kreativitas Sumber Daya Manusia (SDM) internal ATB yang berkualitas, telah menjelma menjadi tolok ukur bagi banyak perusahaan sebagai perusahaan pengelolaan air terbaik di Indonesia.(cha/leo/she/rng)

Update