Jumat, 19 April 2024

Dari Limbah Hasilkan Kotak Sabun, Lilin, serta Batu Bata

Berita Terkait

LEBIH dari satu setengah tahun terakhir Dewa Legawa bergerak di bidang lingkungan. Mengolah sampah adalah spesialisasinya.

Bersama rekan-rekannya di Sustainism Lab, sehari-hari dia mendaur ulang sampah Potato Head.

Rata-rata per bulan ada 56 ton sampah yang dihasilkan. Sebanyak sampah satu dusun.

”Ratusan orang datang ke sini setiap hari,” kata Dewa pada Senin (17/2/2020).

Pengelola beach club yang berbasis di Seminyak, Bali, itu sadar bahwa jumlah sampah mereka tidak sedikit.

Itulah yang mendorong pembuatan Sustainism Lab. Dewa banyak dibantu rekannya, Gede Sata Wiguna.

Keduanya merupakan Eco Champion di Sustainism Lab. Bedanya, Dewa merangkap asisten manajer sustainability.

”Tadinya di sini tempat ngopi,” ungkap Dewa merujuk pada lab tempat wawancara ini berlangsung.

Setiap tamu yang keluar masuk Potato Head pasti melewati lab tersebut. Dari lorong bambu yang jadi jalan masuk tamu, lab itu berada di sebelah kanan. Mencolok karena ada beragam perkakas daur ulang sampah di sana.

Alat-alat yang tidak lazim bisa ditemui tamu yang datang ke beach club. Lebih mencolok karena perkakas tersebut dicat terang. Dominasi biru dan merah. Hasil daur ulang dipajang rapi tepat di samping lab.

”Biasanya tamu yang datang tertarik lihat. Mereka tanya, diarahkan ke sini,” kata Dewa.

Dari sekadar tanya produk, mereka bisa ngobrol panjang sampai proses daur ulang sampah Potato Head.

Ujung-ujungnya tanya harga. Susah dijawab karena hasil daur ulang Sustainism Lab itu belum dijual. Masih digunakan untuk kepentingan internal mereka.

Dewa Legawa (kanan) dan Gede Sata Wiguna menunjukkan hasil produk daur ulang Sustainism Lab, Kamis (20/2/2020). Foto: Sahrul Yunizar/Jawa Pos

Tak jarang tamu memaksa membeli. Bahkan menawar dengan harga tinggi.

”Ada tamu yang mau sekali beli ini,” ucap Dewa menunjukkan kotak merah muda.

”Itu kotak sabun,” kata Gede menimpali.

”Waktu itu dibayar tamu Rp 600 ribu,” lanjut Dewa. Padahal, untuk membuat satu kotak sabun itu, biaya produksinya paling banyak hanya Rp 50 ribu.

Kotak sabun tersebut merupakan hasil daur ulang berbahan dasar plastik. Tepatnya tutup botol.

Jenis plastiknya HDPE (high-density polyethylene). Selain itu, juga menggunakan sampah kerang dari restoran seafood Potato Head.

Perekatnya menggunakan styrofoam. Semuanya bekas. Yang tidak terpakai lagi.
Dewa menyebutkan, hotel di Potato Head sudah menggunakan kotak sabun itu. Mereka menempatkannya di kamar-kamar tamu.

”Sudah enam bulan ini. Nggak ada komplain,” ungkap pria kelahiran 1986 tersebut.

Dari satu uji coba, kotak sabun itu kemudian dibuat massal. Bersamaan dengan wadah tisu dan tempat sampah.

Total persisnya, Dewa tidak ingat. Yang pasti lebih dari seribu kotak. Plastik HDPE sengaja dipilih sebagai salah satu bahan dasar karena tidak mengeluarkan toksin saat dibakar.

Sustainism Lab tidak membakar styrofoam karena mengeluarkan toksin. Mereka memilih melelehkannya dengan menggunakan tiner.

Sementara itu, kerang dicacah sampai halus. Tiga sampah itu lantas dilebur, diolah, dan dibentuk menjadi kotak sabun, kotak tisu, serta tempat sampah.

Dari sampah menjadi tempat sampah. Prosesnya memperhatikan betul dampak terhadap lingkungan.

Potato Head tidak ingin Sustainism Lab yang mereka pilih sebagai jalan mengurangi masalah sampah di Bali malah menjadi racun.

Kehati-hatian itu mereka terapkan pada semua produksi daur ulang. Termasuk yang paling prestisius di lab tersebut, daur ulang sampah plastik menjadi batu bata.

Bahan dasarnya plastik LDPE (low-density polyethylene). Plastik itu biasanya digunakan untuk kresek.

Setelah melakukan penelitian dan uji coba, Potato Head memutuskan menggunakan batu bata hasil daur ulang sampah plastik tersebut untuk salah satu proyek besar mereka. Pembangunan Beach Club baru di Tabanan.

”Ini ada contohnya di sini,” ucap Dewa menunjukkan produk itu.

Serupa batu bata pada umumnya. Yang membedakan hanya berat dan warna hitam legamnya.

Pria yang tinggal dan menetap di Ubud itu menjelaskan, bahan lain untuk membuat batu bata tersebut adalah pasir.

Batu bata itu sempat diuji di Universitas Udayana. Hasilnya, cukup kuat. Namun, Potato Head tidak mau sembarangan memproduksi batu bata itu secara massal. Mereka kini memasuki tahap uji polusi.

Membuat batu bata itu membutuhkan banyak plastik. Sustainism Lab khawatir pelelehan plastik dalam jumlah banyak menimbulkan banyak polusi.

”Untuk itu, kami sedang melakukan uji coba sampel ke Kopenhagen, Denmark,” imbuhnya.

Apabila telah dipastikan tidak memunculkan polusi, daur ulang sampah plastik menjadi batu bata akan mereka lakukan dalam jumlah besar.

Menunggu hasil itu, Sustainism Lab tidak berdiam diri. Mereka mendaur ulang sampah lain.

Kertas dan pelepah pisang, salah satunya. Kertas merupakan sampah yang banyak dibuang. Hampir semua departemen di Potato Head memproduksi sampah kertas.

Agar tidak sia-sia, kertas-kertas itu diolah lagi menjadi kertas. Bahan dasarnya kertas bekas. Pelepah pisang jadi perekatnya.

Bahan kedua biasa didapatkan ketika ada acara-acara tertentu di Potato Head. Bekas pelepah pisang tidak dibuang, tetapi dicacah, kemudian dicampur dengan kertas yang sudah diblender. Dicetak biasa, lalu dikeringkan.

Saat ditunjukkan kepada Jawa Pos (grup Batam Pos), kertas daur ulang itu mereka gunakan sebagai kertas menu. Dewa membalik kertas berwarna kecokelatan tersebut. Tampak aneka biji.

Dia menyatakan, biji-biji itu tidak mati. Jadi, saat kertas daur ulang itu tidak dipakai lagi, cukup dilempar ke tanah, biji-bijian yang tertanam di sana akan tumbuh.

Selain membuat sampah punya nilai guna, daur ulang itu punya manfaat lain. Nilai gunanya menjadi berkali-kali lipat dari sebelumnya.

Berbagai penelitian, uji coba, sampai tahap daur ulang yang sudah dilakukan satu setengah tahun belakangan di Sustainism Lab membuat Dewa dan rekan-rekannya kian bersemangat.

Dewa yang sembilan tahun lalu bergabung dengan Potato Head sekarang jadi banyak tahu masalah sampah dan langkah yang harus dilakukan untuk menangani problem itu.

Sustainism Lab juga menggandeng pihak luar. Salah satunya menangani limbah minyak dari restoran di Potato Head.

Jelantah itu dikirim ke Lengis Hijau, yayasan yang mengembangkan biodiesel, untuk diubah menjadi lilin.

Hasil daur ulang itu dikembalikan ke Potato Head. Di Sustainism Lab, lilin dari jelantah itu ditempatkan di bekas botol wine.

Dewa memastikan, tidak ada yang terbuang dari botol bekas wine di Potato Head. Semua dimanfaatkan kembali.

Lilin-lilin dari jelantah itu terlihat cantik di meja-meja tamu. Saat diajak berkeliling di Potato Head, tampak lilin-lilin tersebut di banyak tempat.

Boleh jadi, tamu yang datang tidak sadar bahwa itu merupakan produk daur ulang. Walau sudah banyak hasil daur ulang yang dibuat Sustainism Lab, Dewa mengakui masih lebih banyak limbah Potato Head yang tidak bisa didaur ulang.

Melalui sustainability program, Potato Head memilah semua sampah dari berbagai departemen. Pemilahan tersebut dilaksa-nakan di garbage room.

Nonstop 24 jam. Tidak hanya dipisahkan antara yang organik dan anorganik, sampah yang bisa didaur ulang oleh lab dan yang tidak bisa didaur ulang juga dipisahkan.

Sampah yang tidak bisa didaur ulang diserahkan kepada waste collector. Sisanya baru dibuang ke tempat pembuangan akhir.

”Hanya 8 persen yang ke TPA dari total sampah (56 ton per bulan). Tapi, itu pun sampah tisu saja,” ujarnya.

Dewa berharap apa yang dilakukan Sustainism Lab itu bisa dicontoh. Kemudian dipraktikkan.

Minimal di rumah. Bukan tidak mungkin daur ulang akan jadi kebiasaan masyarakat Bali yang ditiru masyarakat global.

”Bali ini kan dikunjungi jutaan wisatawan dari seluruh dunia. Kalau kita bisa start di Bali, sangat mungkin dunia akan mengikuti,” harapnya.(*/c5/ayi)

Update