Kamis, 25 April 2024

Mereka Bertarung di Garis Depan Melawan Corona Virus

Berita Terkait

Masih banyak tenaga medis yang tak mendapat alat pelindung diri dan keterbukaan data pasien. Keberanian dr Handoko Gunawan yang telah berusia 80 tahun tak mengagetkan mantan pasien yang mengenalnya.

UNTUK kali kesekian dr Anggraini Alam SpA(K) harus menghadapi pertanyaan itu. Dan, untuk kali kesekian pula dia harus memberikan penjelasan.

”Saya terangkan ke pasien tentang kenapa kami memakai APD (alat pelindung diri) lengkap. Itu juga agar dia tidak takut karena tidak semua kasus yang diperiksa akan berujung konfirmasi positif,” kata ketua Unit Kerja Koordinasi Infeksi dan Penyakit Tropis Ikatan Dokter Anak Indonesia tersebut.

Pengalaman itu dialami Anggraini saat menangani kasus pasien Covid-19 di sebuah rumah sakit di Bandung. Si pasien yang berusia 17 tahun itu, seperti banyak pasien lain dalam kasus serupa, heran mengapa semua tenaga medis yang menanganinya memakai APD lengkap.

Padahal, APD itulah ”senjata” andalan para tenaga medis yang berada di garis depan dalam perang melawan virus korona penyebab penyakit Covid-19. Sebab, mereka termasuk kelompok yang sangat rentan tertular.

Itu pun tidak semua tenaga medis yang berjibaku menangani penyakit yang telah merenggut 19 nyawa di tanah air beruntung mendapatkan fasilitas tersebut.

Dokter Trimaharani MSi SpEM mengaku tak kuasa menahan kesedihan mengenang minimnya APD di rumah sakit tempat dirinya bertugas di Kediri, Jawa Timur. ”Tadi malam (17/3) kami stres karena ini artinya kami ada di ambang maut. Terlebih, pihak RS bilang tidak punya uang,” kata dia ketika dihubungi Jawa Pos (grup Batampos Online), Rabu (18/3).

Maha –sapaan akrab Trimaharani– mengungkapkan bahwa APD memang dijual dengan harga mahal belakangan. Baju hazmat, misalnya, dijual Rp 800 ribu akhir-akhir ini.

Akhirnya Maha dan sejawatnya sesama tenaga medis menyiasati kondisi tersebut. Caranya, memakai jas hujan sekali pakai sebagai baju hazmat.

Dilengkapi dengan helm safety yang biasa dijual di toko pertukangan atau industri. Semua dibeli dengan biaya sendiri. ”Kami tahu bahwa semua (barang pengganti) itu fungsinya bukan untuk kesehatan. Tapi, ini kan nyawa kami sebagai taruhan,” katanya.

Dokter Handoko Gunawan (kiri), Handoko saat bertugas di RS Graha Kedoya, Jakarta. (Twitter dr Tri Maharani)

Ketua Umum IDI Daeng Mohammad Faqih mengaku menerima banyak keluhan terkait kurangnya alat pelindung diri bagi tenaga kesehatan yang saat ini bertugas menangani wabah Covid-19. Akibatnya, tidak sedikit tenaga medis yang menjadi korban. Bahkan sampai meninggal dunia.

”Ya, kami akui jumlahnya kurang. IDI sangat concern membahas itu karena peran APD bagi tenaga kesehatan seperti kami sangat strategis,” ucap Faqih di kantornya di Jakarta Senin (16/3).

Karena itu, IDI memohon kepada pemerintah agar kelengkapan APD disiapkan lebih. Sebab, saat ini tenaga kesehatan adalah ujung tombak untuk mengontrol wabah virus asal Wuhan, Tiongkok, itu.

Apalagi, jumlah tenaga kesehatan juga terbatas. Tentunya, akan membebani pelayanan jika ada tenaga kesehatan yang terinfeksi.

Faqih juga memperoleh kabar tenaga kesehatan sampai menyiasati kurangnya APD dengan mengenakan plastik seadanya. Termasuk, memodifikasi jas hujan plastik dan hanya memakai masker biasa, bukan N95.

Melihat kondisi itu, pria asal Madura itu merasa miris. Bahkan, juga tidak sedikit tenaga medis yang harus rawat inap lantaran positif Covid-19.

Dia khawatir jika tidak dilindungi optimal, akan semakin banyak petugas kesehatan tertular dan diobservasi selama 14 hari atau diisolasi. ”Praktis itu akan menimbulkan efek domino yang imbasnya tentu ke masyarakat,” katanya.

Anggi –sapaan akrab Anggraini– juga merasa tak dapat dukungan dari pemerintah. Misalnya, untuk keterbukaan data pasien. Dokter tak mendapat langsung hasil pemeriksaan laboratorium.

Tenaga medis, menurut dia, hanya mengambil sampel. Selanjutnya, sampel tersebut dikirim ke Badan Litbang Kesehatan (Balitbangkes) milik Kementerian Kesehatan.

Hasil pemeriksaan laboratorium tidak diterima dokter jika positif. Namun, diumumkan kepada pasien. Itulah yang membuat dokter sulit menjelaskan kepada pasien kenapa diberi tindakan tersebut.

Selain itu, dia merasa pemeriksaan Covid-19 di Indonesia kaku. Salah satunya diperlihatkan laboratorium yang ditunjuk untuk memeriksa sampel dari pasien. ”Saya yakin Balitbangkes juga kewalahan,” ujarnya.

Aturan yang rigid tersebut juga membuat banyak yang seharusnya tertangani medis, tetapi tidak mendapatkannya. Dia mengilustrasikan, hanya 14 persen pasien yang tertangani. Itu pun yang tergolong sudah parah. Sedangkan 86 persen lainnya tidak ditangani. ”Sebanyak 86 persen hanya menunjukkan gejala yang batuk pilek biasa,” tuturnya.

Di tengah berbagai kendala itu, Anggi mengaku punya senjata jitu menangkal Covid-19. Dia mengandalkan sinar matahari.

Untuk itu, dia mendorong agar jendela dibuka. Syarat lainnya adalah udara yang bersih. ”Matahari Indonesia yang tropis tidak disukai Covid-19,” tuturnya.

Salah seorang tenaga medis di garis depan yang ramai jadi sorotan adalah dr Handoko Gunawan SpP. Meski sudah berusia 80 tahun dan rentan terpapar, dia tak gentar untuk merawat pasien.

Tidak main-main, dokter spesialis paru itu rela bekerja merawat pasien hingga pukul 03.00. Kisah tersebut dibagikan Novia Kusumawardhani melalui akun medsosnya. Bahkan, disebutkan pula, sang dokter sejatinya sudah dilarang anak-anaknya karena faktor usia. Namun, dia bersikeras dan berujar mati pun tidak apa-apa karena sudah tua.

Gaya slebor itu, menurut salah seorang pasien Handoko, Akbarry Noor, 27, merupakan gaya khasnya. Sejak dulu sang dokter memang suka bercanda dengan gaya-gaya nyentrik. ”Pertama lihat beritanya viral itu, kalimat beliau yang kalau mati nggak papa, saya sudah tua, itu dia banget emang,” ujar dia saat dihubungi kemarin (18/3).

Akbarry sudah hafal dengan guyonan-guyonan tersebut karena pernah dirawat intensif oleh sang dokter. Kala itu dia divonis TB dan pneumonia.

Kisah itu bermula ketika mudik pada 2011 dia tiba-tiba mengalami demam tinggi dan batuk parah. Dia pun sempat diopname di Surabaya selama tiga hari. Namun, hasilnya tetap sama.

Ketika kembali ke Jakarta, dia sempat pindah rumah sakit. Namun, dia didiagnosis tifus. Sampai akhirnya dia pindah ke rumah sakit tempat Handoko praktik. Momentum itu jadi awal perkenalannya dengan sang dokter nyentrik tersebut.

Dari sana dia langsung dirontgen. Dan, betapa kagetnya dia ketika tiba-tiba dipukul dadanya.

Ternyata, itu dilakukan untuk menjelaskan bahwa ada cairan di paru-parunya. ”Intinya, bunyi paru ada cairan dan enggak. Penjelasan santai, tapi bikin paham. Dan, dia bilang kalau aku TB dan pneumonia,” jelas dia seperti yang ditulis di akun Twitter-nya, @akbarry.

Dari situ muncul kedekatan antara keduanya. Apalagi ketika sang dokter visit dan membagikan joke-joke khasnya. Joke itu pun masih berlanjut saat dia menjalani checkup.(jpg)

Update