GEMA takbir masih terdengar, tapi tak ada kebahagiaan yang tumpah membuncah. Suara tahmid masih mengalun pelan, namun tanpa tawa lepas kanak-kanak mengiringi pawai beragam kendaran hias. Eluan tasbih masih terdengar, namun tanpa kerlip lampu memenuhi udara petang hingga malam.
Allahuakbar… Allahuakbar… Allahuakbar
Laailahailallahu wallahuakbar…
Allahuakbar walillahilmamd…
Mengalir lirih….
Begitulah, berakhirnya Ramadan 1441 H tanggal 23 Mei 2020 ini, tak membuat suasana munculnya 1 Syawal pertanda Idul Fitri 1441 H otomatis disambut dengan riang dan sontak kegirangan. Takkan juga ada “karnaval” baju-baju baru, apalagi yang lain serba baru. Juga rumah yang dicat baru atau berlebaran ke banyak tempat yang direncanakan, apalagi hingga ke luar negara.
Ramadan tahun ini, hingga Idul Fitri memang terasa berbeda. Penularan virus corona yang kerap disebut sebagai corona virus desease (covid-19) itu, telah mengubah, bahkan meluluh-lantakkan banyak hal. Mengubah kebiasaan, cara beribadah, cara kerja, cara bergaul, juga mengubah tradisi.
Penyebaran virus yang cepat dari satu manusia ke manusia lain, juga karena vaksinnya belum ditemukan, membuat manusia dilanda paranoid hebat. Takut tertular, takut tidak dapat disembuhkan. Namun banyak juga yang cuek-bebek, tetap beraktivitas normal. Tenaga kesehatan menjadi kian cemas atas kemampuan mereka melayani.
Di seluruh dunia, hingga saat ini. sudah ditemukan hampir dua juta kasus manusia terinfeksi virus ini dengan korban meninggal hampir mencecah 300 ribu jiwa. Tertinggi penularannya terdapat di Amerika yang mencapai 1,25 juta jiwa. Korban terpapar terbesar ada di kota paling sibuk di Amerika, New York City, negara bagian New York.
Anehnya, presidennya tetap ngotot melonggarkan kawalan atas pembatasan jarak (sosial distancing) dan meminta perekonomian segera dibuka kembali. Uniknya, Donald Trump nampaknya ingin memperlihatkan sisi “keseimbangannya”. Dia tidak saja meminta roda ekonomi non-essential kembali dibuka, Trump juga minta rumah ibadah juga dibuka kembali.
Sementara di sebuah negara yang sejak awal terlihat gagap, hingga saat ini belum menemukan ritme penanganan covid-19 yang mangkus. Bahkan lamat-lamat terdengar adanya kemungkinan menerapkan herd immunity. Ini akan sangat berat, karena mirip teori evolusi: siapa paling kuat dan mampu menyesuaikanlah yang akan bertahan. Semoga ini tidak benar.
Begitulah tahun ini. Suasana sejak Ramadan hingga 1 Syawal 1441 H, banyak yang berubah. Tidak seperti biasanya. Tidak ada jamaah Tarawih dan kehangatan tadarus Al Quran di malam hari seperti tahun-tahun yang lalu di masjid dan mushalla.
Setidaknya, kondisi tersebut terjadi di daerah yang masuk kategori zona merah atau kuning. Tapi ada saja jamaah yang curi-curi kesempatan. Pintu depan masjid ditutup spanduk, namun pintu samping terbuka lebar. Saya menemukan beberapa masjid di Batam seperti ini.
Pernah saya tanya ke pengurus masjidnya. Jawabannya, sungguh bikin nelangsa. “Ya, mau bagaimana lagi? Sudah kami larang, tapi jamaah tetap melaksanakan jamaah shalat 5 waktu di masjid itu”. Maka, saya sering menemukan banyak mobil dan motor terparkir di luar masjid.
Susah juga. Sebab, tak ada satupun daerah di Provinsi Kepri yang menerapkan PSBB (pembatasan sosial berskala besar). Sehingga, terhadap praktik-praktik seperti di sebuah masjid yang saya temukan itu, tidak dapat diberikan sanksi. Imbauan pemerintah tidak efektif tanpa secarik keputusan yang berimplikasi hukum.
Kini, Ramadan sudah berlalu dan Syawal sudah menjelang. Harapan kita tentunya, tidak ada satu pun masjid atau lapangan yang melaksanakan shalat Id berjamaah. Khususnya di dua daerah yang masuk kategori merah, yakni Batam dan Tanjungpinang.
Di tempat lain, seperti Bintan, Natuna, dan Lingga, jika dilaksakan shalat Id berjamaah, hendaknya tetap menerapkan aturan social distancing secara ketat. Jaga jarak dan pakai masker, siapkan sabun dan air serta hand sanitizer. Sebab kita tak pernah tahu, siapa di antara jamaah yang masuk kelompok rawan menjadi carrier tanpa gejala (OTG).
Allahuakbar… Allahuakbar… Walillahilhamd…
Takbir masih terdengar agak lirih. Malam ini, ketika saya menyelesaikan catatan kecil ini, sesekali pikiran saya melayang ke masa lalu, juga ke masa depan. Masa lalu yang lebih berwarna ketika Syawal tiba, berbanding terbalik dengan masa depan setelah Ramadan meninggalkan kita.
Dalam banyak diskursus, para ahli menamakan kehidupan pasca-pandemi dengan istilah “new normal” (kehidupan normal baru). Entah kita siap entah tidak. Yang jelas, dalam catatan kecil saya sebelumnya (Kehidupan Pasca Covid-19), sudah saya uraikan serba ringkas. Bahwa akan ada banyak perubahan yang mau tidak mau kita harus siap menjalaninya. Setidaknya, sampai vaksin pembasmi covid-19 berhasil ditemukan.
Mengakhiri catatan kecil edisi kali ini, saya ingin mengatakan bahwa apapun yang sedang diperlihatkan Allah SWT, Tuhan YME, kepada kita saat ini, harus kita hadapi dengan baik sangka. Mungkin Dia Yang Maha Kuasa tengah “memaksa” sebuah keseimbangan baru bagi dunia dan seisinya: dan kita ada di dalamnya.
Selamat Hari Raya… ***