Sebuah hal yang sudah diprediksi banyak pihak, bahwa Virus Corona atau Covid-19 disebut akan menjadi tamu tak diundang dan tamu yang ditakuti di Indonesia. Dan benar adanya, pada Senin 2 Maret 2020, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengumumkan ada dua orang Indonesia positif terjangkit virus Corona yakni perempuan berusia 31 tahun dan ibu berusia 64 tahun.
Hal tersebut tentunya menggambarkan bagaimana nyawa Indonesia di antara ancaman kesejahteraan rakyatnya dalam segala sektor, terutama perekonomian. Dengan merebaknya virus corona di Indonesia menjadikan gerak langkah masyarakat menjadi terbatas untuk bisa melakukan aktivitas dan memperoleh pundi-pundi uang.
Hal ini ditandai pada saat pemerintah menerapkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk memperkecil kemungkinan penyebaran virus corona di Indonesia. Sebenarnya dampak PSBB tersebut terjadi kepada semua pihak, terutama sektor usaha besar hingga kecil. Pemutus Hubungan Kerja (PHK) terjadi di perusahaan besar yang mengakibatkan tingkat pengangguran di Indonesia semakin meningkat. Begitu pula sektor usaha kecil seperti rumah makan dan pedagang kecil.
Usaha Mikro, Kecil, Menengah (UMKM) yang turut pula menjadi terdampak adanya virus corona. Mengakibatkan Sepinya pembeli sehingga membuat pendapatan menurun. Ditambah lagi beberapa pekerja dan pelaku usaha yang memiliki kredit terhadap Bank atau lembaga keuangan. Kurangnya pendapatan di masa pandemi mengakibatkan para peminjam (Debitur) mengalami kemacetan kredit.
Kemacetan kredit tentunya akan menjadikan bank atau lembaga keuangan lainnya mengalami kerugian. Dikutip dari Suara.com, menurut Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Heru Kristiyana “Dalam pantauan kami memang secara NPL (Non Performing Loan/rasio kredit bermasalah) sudah mulai ada sedikit kenaikan, yaitu dari 2,77 persen pada bulan Mei menjadi 2,89 persen pada posisi saat ini”.
Pandemi merupakan pelaku yang juga mempunyai andil di dalam kenaikan ini. Tentunya para debitur yang hanya mampu memenuhi kebutuhan pokoknya saja tidak akan mampu melanjutkan kredit yang dimiliki.
Jaminan yang diberikan bisa menjadi bahan lelang jika debitur sudah tak mampu membayar kreditnya. Jika hal ini terjadi, Debitur akan mengalami kerugian karena kehilangan seluruh aset jaminannya. Di antara keduanya juga harus ada jembatan yang memberikan Win-win Solution. Win-win solution akan menjadi hal yang diperlukan keduanya. Dengan mencari solusi terbaik Bank tidak akan mengalami kerugian, begitu juga dengan Debitur.
Sebenarnya ada sedikit hal yang mesti dibahas terkait lelang yang dilakukan pihak Bank atau Lembaga Keuangan. Jika hasil lelang sepenuhnya berada di tangan Bank/Lembaga Keuangan dan negara. Tidak ada sisa yang kembali ke debitur, padahal aset yang dijaminkan melebihi nilai utang. Akan lebih baik lagi jika debitur mengalami kemacetan dalam membayar kreditnya, pihak Bank atau lembaga keuangan yang berhasil melelang jaminan, memberikan sisa lelang dari jumlah utang yang dipinjam.
Hal ini akan membuat jalan tengah agar pihak bank atau lembaga keuangan tidak mengalami kerugian dan peminjam tidak sepenuhnya harus rugi. Namun yang menjadi inti pembahasan atau solusi terbaik dari pembahasan “ Nasib Kredit di tengah Pandemi Virus Corona” adalah bagaimana pihak bank atau lembaga keuangan memberikan restrukturisasi berupa penurunan suku bunga atau perpanjangan kredit untuk debitur.
Jelas bahwa ini tidak sesuai kesepakatan awal, tapi dengan kebijakan restrukturisasi ini akan meringankan debitur membayar pinjamannya. Setidaknya pihak Bank atau Lembaga Keuangan tidak mengalami kerugian penuh karena debitur yang akhirnya macet dalam melakukan kreditnya.
Dikutip dari Bisnis.com, Ganjar Pranowo sebagai Gubernur Jawa Tengah sudah pula melakukan kebijakan restrukturisasi di tengah Pandemi ini. Dengan menyediakan sistem informasi dan nomor aduan restrukturisasi. Hal ini bertujuan memecahkan masalah kemacetan kredit ditengah pandemi virus Corona. Dengan tetap menyeleksi siapa yang berhak mendapatkan, agar pihak-pihak yang tidak sepantasnya mendapatkan, tidak menerima restrukturisasi ini. Sejak diluncurkan hingga 16 April 2020, tercatat sudah ada 72.699 nasabah di Jateng yang disetujui pengajuan restrukturisasi kreditnya.
Banyak faktor yang harus dikaji dari terjadinya kemacetan kredit ini. Banyak debitur melakukan kredit bukan untuk memenuhi gaya hidup yang mewah melainkan untuk perpanjangan usahanya atau istilah lebih kejinya ialah perpanjangan hidupnya. Maka dari itu, kemacetan kredit ini juga bisa menjadi koreksi bagi pemerintah Indonesia untuk terus memberikan kebijakan terbaik bagi kesejahteraan rakyatnya seperti halnya menerapkan restrukturisasi.(*)