Sabtu, 20 April 2024

Sudah Ditetapkan Harga Tertinggi, Kemenkes Curiga Ada Komersialisasi Rapid Test

Berita Terkait

batampos.co.id – Kementerian Kesehatan (Kemenkes) telah menetapkan bahwa harga tertinggi rapid test adalah Rp 150 ribu. Fasilitas kesehatan (faskes) dilarang menjual di atas harga tersebut. Namun, hingga kemarin masih ada yang mematok tarif Rp 300 ribu sampai Rp 400 ribu.

Direktur Jenderal (Dirjen) Pelayanan Kesehatan Kemenkes Bambang Wibowo kemarin (9/7) mengungkapkan alasan pihaknya mengeluarkan surat edaran nomor HK.02.02/I/2875/2020 itu. Dia melihat, saat ini ada komersialisasi rapid test di lapangan. Karena itu, pihaknya perlu mengatur tarif yang ada.

Dia menuturkan, harga maksimal Rp 150 ribu yang ditetapkan Kemenkes tidak akan membuat faskes rugi. Sebab, Kemenkes telah menghitung ongkos produksi dan kewajaran di lapangan. Dengan patokan tersebut, masyarakat makin memiliki akses untuk menjalani rapid test secara mandiri. ”Dengan surat edaran itu, kami mendorong faskes dan produsen untuk berpihak pada kepentingan masyarakat dalam masa pandemi ini,” ungkap Bambang.

Bambang juga meminta agar masalah rapid test tidak dilihat dari satu sisi saja. Sebab, pemerintah sudah memberikan insentif kepada tenaga kesehatan dan faskes yang menangani Covid-19.

Setelah SE tersebut dikeluarkan pada 6 Juli, Bambang mendapat laporan bahwa sudah banyak faskes yang menurunkan harga rapid test. Lalu, apa sanksi bagi yang bandel? Bambang tak menjawab dengan pasti. Menko PMK Muhadjir Effendy-lah yang justru menegaskan. Dalam kesempatan yang sama, Muhadjir mengatakan bahwa ada berbagai sanksi. Mulai teguran hingga sanksi administratif lainnya.

Sementara itu, beberapa RS mulai mengikuti imbauan Kemenkes. Misalnya, RS di bawah Eka Hospital Group. Grup yang memiliki empat RS di beberapa kota besar itu mulai menerapkan biaya Rp 150 ribu untuk rapid test. Public Relation Eka Hospital Group Erwin Suyanto menjelaskan, sebelumnya RS itu memberlakukan tarif rapid test Rp 350 ribu. ”Pasar ada yang Rp 500 ribu, Rp 480 ribu, kita usahakan selalu paling murah,” jelas Erwin kemarin. Meski terbilang cukup terjangkau, Eka tetap mengikuti aturan Kemenkes.

Sejak Rabu (8/7) RS itu menetapkan tarif baru, yakni Rp 150 ribu. Erwin menyebutkan, rumah sakitnya menggunakan bahan baku impor dari Prancis. Harga bahan baku yang didapat Rp 78 ribu–Rp 80 ribu, bergantung kurs dolar Amerika Serikat.

Jawa Pos juga menelusuri beberapa RS yang menyediakan layanan rapid test. Salah satunya adalah RS Hermina Daan Mogot, Jakarta Barat. Customer service yang dihubungi melalui telepon mengatakan bahwa layanan rapid test dibuka selama 24 jam setiap hari. Hasilnya bisa diketahui dalam waktu 2–3 jam setelah tes. ’’Biayanya Rp 150 ribu,’’ terangnya. Bila disertai dengan surat keterangan, ada tambahan Rp 50 ribu.

Pada bagian lain, penetapan harga rapid test Rp 150 ribu diprotes Asosiasi Klinik Indonesia (Asklin). Ketua Umum Asklin dr Eddi Junaidi SpOG SH Mkes mengatakan, pihaknya akan mengirim surat keberatan kepada Kemenkes. Dia menjelaskan, surat itu akan mempertanyakan alasan Kemenkes mematok harga maksimal rapid test Rp 150 ribu. Keputusan itu, menurut Eddi, memberatkan klinik atau faskes lainnya.

Dia mencontohkan, banyak klinik atau RS yang sudah membeli rapid test dalam jumlah besar seharga lebih dari Rp 100 ribu. ’’Saya contohnya, sudah beli rapid test untuk 200 pemeriksaan. Harga alatnya saja Rp 200 ribu,’’ katanya kemarin. Jika sekarang dipaksa mematok harga Rp 150 ribu, bagi dia, itu sangat tidak masuk akal.

Eddi juga mencontohkan kondisi di Indonesia bagian timur seperti Papua. Pembatasan harga rapid test Rp 150 ribu dia nilai dapat memberatkan. Sebab, faskes masih harus menanggung biaya pengiriman. Selain itu, penggunaan rapid test pasti melibatkan dokter serta tenaga kesehatan lain.

Dia mengusulkan supaya Kemenkes membuat kebijakan yang lebih masuk akal. Misalnya, cukup memberikan harga acuan berdasar alat rapid test yang dibeli. ’’Misalnya, harganya tidak boleh melebihi 100 persen dari harga (kulak, Red) rapid test,’’ jelasnya. Eddi menegaskan, jenis alat rapid test beragam. Pemerintah sebaiknya memberikan keleluasaan bagi masyarakat untuk memilih jenis rapid test yang dianggap terbaik.

Eddi mencontohkan, ketika masyarakat memilih menggunakan rapid test dengan harga pokok Rp 200 ribu/unit, harga tertingginya Rp 400 ribu. Harga itu sudah komplet dengan surat kesehatan yang dikeluarkan dokter.

Pembatasan harga rapid test dikhawatirkan mengarahkan faskes untuk membeli alat yang murah. Misalnya, yang harganya sekitar Rp 75 ribu/unit. Cara seperti itu menurut dia tidak bijak. Sebaiknya masyarakat dan rumah sakit diberi keleluasaan untuk memilih alat terbaik. ’’Yang penting juga fasilitas kesehatannya transparan,’’ katanya.

Dia juga mengatakan, kecenderungan saat ini, penggunaan rapid test tidak murni terkait indikasi medis. Penggunaannya lebih seperti medical check-up (MCU). Misalnya, saat akan naik pesawat, permintaan kantor, dan sejenisnya.(jpg)

Update