Gara-gara Covid-19, Singapura terpaksa masuk jurang resesi. Lebih tepatnya technical recession atau dalam teori makro, suatu negara dikatakan resesi jika selama dua kuartal berturut-turut mengalami pertumbuhan ekonomi negatif.
Parameternya adalah produk domestic regional bruto (PDRB) atau gross domestic product (GDP), yaitu nilai dari seluruh hasil kegiatan ekonomi (barang dan jasa) suatu negara/wilayah yang diproduksi dalam kurun waktu satu tahun tanpa membedakan kepemilikan factor produksi (Sukirno, 2004). PDRB merupakan cerminan kemajuan ekonomi suatu negara, provinsi, atau kota.
Nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) ini dapat dihitung melalui tiga pendekatan, pertama, Segi Produksi, PDRB merupakan jumlah netto atas suatu barang dan jasa yang dihasilkan untuk unit-unit produksi dalam suatu wilayah dan lainnya dalam jangka waktu tertentu (satu tahun).
Kedua; Segi Pendapatan, PDRB merupakan jumlah balas jasa (pendapatan) yang diterima oleh faktor-faktor produksi karena ikut serta dalam proses produksi suatu wilayah dalam jangka waktu satu tahun, dan Ketiga, Segi pengeluaran, PDRB merupakan jumlah pengeluaran yang dilakukan oleh rumah tangga, pemerintah dan lembaga swasta, investasi serta ekspor netto biasanya dalam jangka waktu tertentu.
Hasil perhitungan PDRB ini bisa saja naik, bisa juga turun, atau bisa saja stabil, tidak naik atau turun. Ya, namanya kegiatan ekonomi pasti ada up and down, biasa itu terjadi. Makanya ini menjadi tolak ukur keberhasilan sebuah kebijakan ekonomi, dan pemerintah berupaya menjaga tetap berada di level positif.
Diantaranya menjaga arus investasi asing tetap tinggi, suku bunga, nilai tukar mata uang asing, menjaga tingkat pengangguran tetap rendah, memastikan konsumsi rumah tangga dan belanja pemerintah tetap tumbuh. Tapi ini wabah Corona, berpotensi memaksa semua indicator itu terjerembab cukup dalam.
Kalangan analis di Singapura sudah memprediksi, pada kuartal kedua pasti akan drop melanjutkan kejatuhan pada kuartal pertama. Penyebabnya ya corona. Tapi kuartal dua ini paling parah, dan menjadi yang terparah sepanjang 2020 ini.
Ho Meng Kit, CEO Singapore Business Federation, mengakui circuit breaker yang diterapkan pemerintah menjadi salah satu penyebab. “Bisnis tidak jalan selama April – Juni ini terutama sector konstruksi. Sektor pariwisata yang biasanya pertahun menyerap hampir 19 juta turis pada enam bulan ini anjlok hampir 0%.”
PM Lee sudah pasti sadar dengan keputusannya saat menetapkan status lockdown pada April lalu. Dia lebih memilih melindungi rakyatnya dari serangan Corona Virus ketimbang mengambil resiko membiarkan akvitas bisnis dan social berputar seperti biasa namun langkah penanganan wabah semakin panjang dan tak terkendali.
Konsekwensinya memang sudah bisa diprediksi, pada kuartal dua ini PDRB Singapura terjun bebas minus 41,2% dibandingkan kuartal sebelumnya. Dibandingkan periode yang sama pada 2019, penurunan PDRB tercatat 12,6%. Sektor konstruksi paling terdampak, anjlok 54,7% dibandingkan tahun sebelumnya, namun hampir tenggelam pada level 95,4% dibandingkan kuartal satu. Itu sama saja selama tiga bulan terakhir, tidak ada aktivitas sama sekali di sector pembangunan property dan bangunan Gedung.
Kementerian Perdagangan dan Industri pun buru-buru merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi 2020 ini menjadi antara minus 7% sampai minus 4%, dan berharap situasi akan berangsur normal pada dua kuartal terakhir tahun ini.
Pendorongnya menurut Ho, antara lain sector ritel dan kuliner yang sudah mulai jalan walau belum dalam kapasitas penuh karena pemerintah juga masih membatasi. Dari sisi eksternal, diharapkan situasi yang membaik di China bisa mulai membuka akses keluar masuk turis ke Singapura. China memang pemasok turis terbesar di Singapura.
“Kami berharap pada dua kuartal terakhir Singapura bisa keluar dari resesi. Kami masih optimis,” ujar Ho dikutip dari online interview kantor berita Bloomberg.
Pemerintah Singapura sendiri sudah memprediksi situasi akan semakin parah, itu sebabnya mereka menyiapkan langkah mitigasi berupa empat paket stimulus fiscal dengan nilai hampir S$100 miliar untuk menjaga agar sector industri dan rumah tangga mengantisipasi dampak virus.
Cerita soal kemerosotan ekonomi selama pandemic ini sudah jadi hal yang biasa. Hampir seluruh negara dunia mengalami hal yang sama termasuk negara-negara maju. Pemerintah dihadapkan pada dua pilihan yang sama-sama rumit antara menjaga pertumbuhan atau membiarkan rakyat terkapar karena virus. Betul, logikanya bisa saja dijalankan secara bersamaan, tapi tidak sepenuhnya ampuh.
Malaysia, tetangga dekat Singapura juga sama. Sejak PM Muhyidin Yassin menetapkan Covid-19 and Movement Control Order (CMCO) pada Maret lalu, ekonomi otomatis melambat. Namun demikian, pertumbuhan PDRB Malaysia masih positif di level 0,7% pada kuartal pertama 2020.
Pada kuartal kedua ini, menurut kajian Kenanga Research seperti dikuitp dari Kantor Berita Bernama, diproyeksikan bakal terkontraksi cukup dalam hingga minus 7,5%. Angka ini bahkan lebih parah dibandingkan prediksi awal sekitar minus 4,9%. Pemerintah pun merevisi proyeksi pertumbuhan 2020 ini antara minus 2,9% sampai minus 1,9%.
Jika kondisi ini terus melambat hingga dua triwulan berikutnya, maka bukan tidak mungkin Malaysia bakal mengikuti jejak Singapura masuk dalam jurang resesi. Tanda-tanda ke arah itu sudah terlihat, roda ekonomi yang belum sepenuhnya pulih menjadi salah satu indikasi.
Bagaimana dengan Indonesia? Sebagai salah satu negara terdekat Singapura yang tidak menerapkan lockdown total diseluruh wilayah, kita harus berbangga pertumbuhan ekonomi masih berada di level 2% pada kuartal pertama lalu. Presiden Joko Widodo memutuskan untuk menetapkan beberapa provinsi dan kabupaten/kota saja yang bisa diberikan status karantina wilayah atau PSBB. Provinsi Kepulauan Riau termasuk Batam justru tidak diberikan status apapun.
Prediksi Menteri Keuangan Sri Mulyani, pada kuartal kedua pertumbuhan PDRB Indonesia berada pada kisaran minus 3,1%, sedikit berbeda dibandingkan proyeksi Bank Indonesia yang meramalkan kuartal kedua ini minus 0,4%. BI optimis sepanjang 2020 ini Indonesia masih positif pada level 2,3%, namun Menkeu mencatat scenario terburuk pertumbuhan pada kisaran minus 0% hingga 1%.
Apakah Indonesia juga akan menyusul Singapura masuk jurang resesi? Semoga tidak ya! Saya yakin Indonesia punya fundamental ekonomi yang lebih kuat, kendati penanganan wabah masih terus berlangsung sampai hari ini.
Singapore Shock
Kemerosotan yang sangat dalam dialami Singapura ini memang mengkhawatirkan kita di level regional, mengingat kontribusi negeri Singa tersebut dalam menyokong pertumbuhan investasi asing selama kurung waktu 10 tahun terakhir.
Investasi Singapura di Indonesia sebagaimana data BKPM pada triwulan 1-2020 tumbuh 58% menjadi US$2,4 miliar dibandingkan periode yang sama tahun 2019, jika dibandingkan triwulan 4-2019, nilai investasi Singapura meroket 141% dari US$1,13 miliar.
Pemerintah tentu perlu mempersiapkan beberapa langkah antisipatif menyikapi situasi terkini di regional, selain terhadap realisasi investasi pada dua kuartal ke depan, juga laju perkembangan ekspor impor dan lalu lintas perdagangan kedua negara, termasuk pariwisata. Provinsi Kepulauan Riau dan Batam merupakan wilayah paling rentan.
Selama Covid melanda Kepri, pertumbuhan ekonomi terkontraksi 2,04% pada kuartal pertama dibandingkan tahun lalu, sedangkan dibandingkan kuartal 4-2019, ekonomi merosot minus 4,5% pada kuartal pertama 2020. Ekspor impor melemah pada kisaran minus 5% dan minus 9%.
Untuk investasi asing, data terakhir selama tiga bulan pertama 2020 realisasi investasi di Batam tercatat sebesar US$388 juta atau kurang lebih 50% dari target yang dicanangkan hingga akhir tahun nanti. Namun merespon situasi Singapura saat ini, diproyeksikan target agak berat tercapai.
Begitu juga sector pariwisata. Pelancong asal Singapura – Malaysia merupakan tulang punggung industri ini di Kepri. Kedua negara itu lockdown, hotel-resort di provinsi ini berguguran. Kunjungan merosot lebih dari 56%, sebanyak 76 hotel terpaksa tutup pintu dan merumahkan sekitar 11 ribu karyawannya.
Berbagai upaya dilakukan oleh pemerintah daerah untuk menghidupkan kembali sector wisata ini selama fase new normal, namun sepertinya belum berdampak. Turis Singapura masih dihimbau untuk tidak bepergian ke luar negeri dulu. Ini artinya, nestapa hotel resort masih terus berlanjut.
Terlepas dari itu, satu sector yang harus tetap dijaga ritme pertumbuhannya adalah industry pengolahan. Sektor ini tetap positif selama pandemi. Keputusan Muhammad Rudi, walikota/Kepala BP Batam, tidak menetapkan status apapun terhadap Batam berimbas positif terhadap kelancaran produksi manufaktur di semua kawasan industry. Di sisi lain, penanganan wabah pelan-pelan mulai masuk zona hijau.
Kita tentu berharap kendati industrial production merosot -7,5% dan non-oil domestic export turun -5% di Singapura tapi tidak berdampak terhadap laju permintaan barang manufaktur dari Kepri. Karena jika itu terjadi, sector manufaktur mengalami kontraksi, bisa jadi Kepri pun kena resesi.
Pemerintah Provinsi, Walikota, dan BP Batam harus berupaya lebih keras agar mendung resesi di negeri seberang tidak sampai membuat demam negeri kita. Mari sama-sama kita jaga!
Penulis Dr. Suyono Saputro
Akademisi Fak. Ekonomi UIB – Pengurus Ikatan Sarjana Ekonomi (ISEI) Kota Batam