Kamis, 18 April 2024

Ancaman Resesi Makin Kuat

Berita Terkait

36 Anak di LPKA Terima Remisi

Putin Imbau Iran Menahan Diri

Perusahaan Wajib Prioritaskan Pencaker Lokal

batampos.co.id – Empat bulan berturut-turut kinerja ekspor-impor Indonesia mencatat surplus. Terhitung sejak Mei hingga Agustus 2020. Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto memerinci, surplus Agustus 2020 yang mencapai USD 2,33 miliar bahkan lebih besar jika dibandingkan dengan surplus pada Agustus 2019 yang mencapai USD 92,6 juta.

’’Jadi, tentu kita berharap ke depan ekspor membaik sehingga surplus kita juga akan meningkat dan ekonomi bisa cepat pulih kembali,’’ ujarnya melalui video conference di Jakarta, Selasa (15/9).

Surplus pada Agustus diperoleh dari total nilai ekspor Indonesia USD 13,07 miliar yang lebih besar daripada nilai impor. Impor pada Agustus tercatat USD 10,74 miliar. Meski angka impor itu lebih besar jika dibandingkan dengan Juli 2020, total nilainya masih berada di bawah ekspor Indonesia secara keseluruhan pada Agustus 2020.

’’Namun, dibandingkan Agustus 2019 turun 24,19 persen,’’ imbuh pria yang akrab disapa Kecuk itu.

RI juga mencatat surplus neraca perdagangan dengan beberapa negara. Misalnya, dengan Amerika Serikat USD 1 miliar. Komoditas yang berperan terhadap surplus neraca perdagangan berasal dari Negeri Paman Sam, yakni pakaian dan aksesori (rajutan maupun bukan rajutan) serta mesin dan perlengkapan listrik.

RI juga mencatat surplus perdagangan dari Filipina sebesar USD 451 juta. Terutama untuk ekspor kendaraan dan bagiannya, bahan bakar mineral, serta berbagai produk makanan olahan. ’’Surplus ketiga, yaitu dari India, sebesar USD 425 juta. Komoditas yang menyebabkan terjadinya surplus adalah bahan bakar mineral, lemak hewani dan nabati, serta bahan kimia anorganik,’’ paparnya.

Secara terpisah, ekonom Indef Bhima Yudhistira memproyeksikan surplus berlanjut. ’’Berlanjut, meski menurun di bulan-bulan berikutnya, apalagi saat ada PSBB (pembatasan sosial berskala besar),’’ ujarnya kemarin.

Menurut dia, beberapa hal tetap perlu dicermati. Dari sisi ekspor, pada Agustus ekspor masih tertekan -5,5 persen jika dibandingkan dengan Juli 2020. ’’Jadi, surplusnya neraca dagang tetap kurang berkualitas karena kinerja ekspor masih negatif,’’ ulasnya.

Hal itu disebabkan rendahnya harga komoditas unggulan ekspor. Harga minyak dunia mengalami penurunan rata-rata 29,5 persen sejak awal 2020 akibat kontraksi pada permintaan global saat pandemi. Sementara itu, harga batu bara acuan Australia menurun 27,7 persen sejak awal tahun (ytd). Harga kelapa sawit juga anjlok 6,1 persen dalam rentang waktu yang sama.

Selain itu, beberapa negara yang kasusnya melonjak mulai melakukan lockdown atau pengetatan mobilitas penduduk. Hal itu memengaruhi ekspor nonmigas seperti alas kaki yang turun 17 persen daripada Juli dan logam mulia-perhiasan anjlok 16,6 persen.

’’Terganggunya rantai pasok selama masa pandemi masih berdampak luas terhadap aktivitas perdagangan. Delay atau pengiriman barang yang terlambat akhirnya membuat pelaku usaha domestik menurunkan kapasitas produksinya,’’ kata Bhima.

Dari sisi impor, ada tekanan pada barang modal sebesar -8,8 persen daripada bulan sebelumnya. Hal itu merupakan indikasi investasi mesin di proyek konstruksi atau infrastruktur mulai dirasionalisasikan. Kemudian, ekspansi pabrik-pabrik manufaktur untuk 2021 diperkirakan melambat.

Kabar baik datang dari impor bahan baku dan barang konsumsi yang meningkat masing-masing 5 persen dan 7,3 persen jika dibandingkan dengan Juli. Pertanda permintaan dalam jangka pendek sebelum PSBB naik tipis. ’’Dampak dari penurunan surplus diperkirakan membuat investor menunda untuk masuk ke sektor perkebunan dan industri manufaktur sampai situasi demand global membaik,’’ katanya.

Efek pada sektor penghasil ekspor seperti batu bara, migas, dan CPO, mereka akan melakukan efisiensi lebih dalam pada kuartal III. ’’Kita akan menghadapi gelombang PHK masal di sektor berbasis komoditas sampai waktu yang belum bisa dipastikan. Otomatis kuartal III makin menguatkan Indonesia masuk pada resesi ekonomi,’’ tegasnya.

Dia menambahkan, PSBB ketat makin membuat aktivitas ekspor terhambat, khususnya yang berbasis kawasan industri di Jakarta dan sekitarnya.(jpg)

Update