batampos.co.id – Kasus positif Covid-19 Batam yang terus meningkat membuat Pakar Epidemiologi dari Universitas Indonesia (UI), Dr dr Tri Yunis Miko Wahyono, kembali angkat bicara.
Dari angka pertumbuhan kasus di Batam, maka ia menyebut Batam masuk fase kritis, sehingga ia menyarankan perlunya persiapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), jika kondisi makin kritis.
”Saya sudah sarankan kok (ke Ketua Harian Tim Gugus Percepatan Penanganan Covid-19 Kepri, Tjetjep Yudiana). Tapi kan Wali Kota Batam yang tak mau (berlakukan PSBB, red),” katanya, Selasa (23/9/2020) lalu seperti yang dilansir dari Harian Batam Pos.
Jika kondisi makin kritis dan tidak ada PSBB, lalu pengawasan protkes semakin longgar karena tidak ada sanksi bagi pelanggar, maka Miko mengingatkan kalau kasus baru Covid-19 bakal terus bertambah.
Menurutnya, kondisi Batam yang didominasi asimptomatik (tanpa gejala), cukup sulit dideteksi karena imun yang tinggi.
Namun, bila menularkan ke orang-orang memiliki imun rendah
dan penyakit penyerta sangat berbahaya.
”Imun tinggi tak bergejala. Imun rendah akan bergejala sedang hingga berat. Inilah yang perlu diantisipasi pemerintah daerah,” katanya mengingatkan.
Selain tidak mau menjalankan PSBB, Kepri tetap melakukan berbagai kegiatan yang mengumpulkan banyak orang. Salah satunya pelaksanaan MTQ beberapa waktu lalu.
”Saya pernah sarankan ke kepala dinasnya, jangan dilaksanakan (MTQ, red). Tapi tetap saja berjalan,” ungkapnya.
Ia khawatir semakin banyak menggelar kegiatan mengumpulkan orang dalam jumlah banyak, maka akan meningkatkan penyebaran Covid-19.
”Lama-lama Kepri bisa lebih parah dibandingkan Jakarta. Kepri (khususnya Batam, red) harus berhati-hati, saya sudah mewanti-wanti itu,” ujarnya.
Kasus asimptomatik yang besar, lanjut Miko, harusnya dibarengi dengan uji swab yang semakin masif. Namun apa daya, Batam tidak bisa menambah jumlah uji swab karena keterbatasan alat dan kapasitas pengujian.
”Karantina (mandiri) kurang baik. Suspect harusnya dikarantina
di rumah sembari menunggu hasil swab,” ungkapnya.
Ia beralasan tak semua masyarakat memiliki kesadaran saat melakukan isolasi mandiri di rumah. Menurut Miko, siapa yang bisa menjamin suspect tidak keluar rumah.
”Begitu juga dengan OTG (orang tanpa gejala, red),” terangnya.
Kondisi Kepri, lanjut Miko, akan diperparah lagi dengan tetap berlangsungnya pilkada. Tentunya akan ada kegiatan pilkada yang mengumpulkan massa.
”Dalam prosesnya, maka ini juga bisa berpotensi menimbulkan klaster baru,” jelasnya.
Sementara itu, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Kepri sudah menyiapkan barisan kedua untuk penanganan Covid-19 di Kepri.
Ketua IDI Kepri, dr Rusdani, mengaku, ada sekitar 50 orang dokter umum yang diberikan pelatihan penanganan pasien Covid-19.
”Kami sudah menduga hal ini terjadi (penambahan pasien Covid-19 secara masif, red). Oleh sebab itu, ada 50 orang dokter umum akan menjadi second line penanganan Covid-19 nantinya,” katanya, Jumat (25/9/2020).
Dokter yang diperbantukan ini, kata Rusdani, akan membantu kinerja dokter-dokter spesialis. Karena saat ini jumlah dokter spesialis yang menangani pasien Covid-19 cukup terbatas.
”Terkadang mereka bekerja 24 jam. Kami ingin juga mengurangi beban kerja mereka, karena bila mereka (dokter spesialis) terpapar, siapa yang akan rawat pasien Covid-19,” ujarnya.
Ia berharap pasien asimptomatik atau OTG tetap menjalani isolasi mandiri di tempat yang disediakan pemerintah. Karena apabila pasien Covid-19 kategori asimptomatik isolasi mandiri di rumah, ini juga dapat menimbulkan klaster baru di keluarga.
”Tidak mungkin mereka enggak kontak. Jadi, jangan sampailah seperti itu,” tegasnya.
Rusdani berharap pemerintah daerah menambah fasilitas tempat isolasi mandiri bagi pasien asimptomatik.
Tempat-tempat itu bisa hotel atau rumah sakit yang khusus menangani pasien Covid-19.
Selama 14 hari menjalani karantina mandiri, lanjut Rusdani, pasien asimptomatik bisa saja menujukan gejala. Itu tergantung imun tubuh setiap pasien.
”Bisa saja di hari ke berapa baru menunjukan gejala. Jadi tergantung daya tahan tubuh setiap orang,” pungkasnya.(jpg)