batampos.co.id – Publik dan kalangan industri hingga kini masih harap-harap cemas menantikan jawaban atas wacana relaksasi pajak mobil baru. Sebab, kebijakan tersebut diharapkan bisa mempercepat pemulihan ekonomi khususnya bagi sektor industri otomotif yang kinerjanya masih tertekan.
Atas wacana tersebut, Pengamat Pajak, Bawono Kristiaji, memandang ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan pemerintah. Pertama, sejauh mana insentif pada sektor otomotif tersebut akan memberikan efek pengganda bagi ekonomi secara umum. Kedua, pertimbangan timing pemberian insentif tersebut apakah sudah tepat atau belum.
“Pasalnya, dalam kondisi dimana ekspektasi ekonomi ke depan belum terlalu pasti dan positif, bisa jadi konsumen masih belum tergerak untuk melakukan pembelian kendaraan bermotor,” ujarnya kepada Jawa Pos (grup Batampos Online), Minggu (18/10).
Ketiga, perlu dipertimbangkan juga bagaimana implikasi kebijakan tersebut bagi secondary market (pasar kendaraan bermotor bekas). ”Terakhir, desain yg adil dan tepat semisal membedakan antara insentif bagi kendaraan CKD (Completely Knock Down) dan CBU (Completely Built Up). Pembedaan insentif tersebut semisal yang dilakukan oleh Malaysia,” jelas pria yang juga menjabat sebagai Partner of Tax Research & Training Services dari Danny Darussalam Tax Center (DDTC).
Terakhir, Bawono juga menggarisbawahi perlunya suatu prinsip kehati-hatian dalam rangka menjamin kesinambungan fiskal di masa mendatang. ”Terutama jika kita mengingat bahwa bahkan di masa saat ini, pemerintah juga perlu mewaspadai lemahnya sisi penerimaan negara,” jelasnya.
Seperti diketahui, pajak untuk mobil baru yang dipungut pemerintah pusat adalah PPN (pajak pertambahan nilai), PPnBM (pajak penjualan atas barang mewah), dan PNBP (penerimaan negara bukan pajak) dalam hal tertentu.
Adapun pajak dan biaya administrasi yang dikenakan daerah BBN (biaya balik nama) Kendaraan Bermotor dan PKB (pajak kendaraan bermotor). Pemerintah pusat pun tak bisa mengintervensi pemerintah daerah soal penarikan BBN dan PKB.
Pemerintah pusat pun tentu tak bisa gegabah dalam memutuskan kebijakan. Kemenkeu mencatat, penerimaan pajak hingga 31 Agustus 2020 baru mencapai Rp 676,9 triliun atau 56,9 persen dari target di Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2020. Penerimaan pajak tersebut terkontraksi 15,6 persen apabila dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun lalu.
Hampir seluruh jenis pajak utama mengalami kontraksi pada Januari-Agustus 2020 yang disebabkan oleh perlambatan kegiatan ekonomiakibat Covid-19 dan pemanfaatan insentif fiskal dalam rangka pemulihan ekonomi nasional.
Sebelumnya, Pemerintah terus berusaha merealisasikan pembebasan pajak untuk mobil baru. Dirjen Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Taufiek Bawazier menganggap kebijakan itu bisa mempercepat pemulihan ekonomi. Khususnya pada sektor industri otomotif.
Taufiek menyebutkan, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang telah berkirim surat kepada Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian terkait rencana itu. “Mudah-mudahan mendapat respons yang baik sehingga kami sebagai pembina sektor bisa menggerakkan otomotif dengan lebih baik,” ujarnya dalam diskusi bersama Bappenas, Rabu (14/10).
Usul pembebasan pajak daerah itu meliputi bea balik nama kendaraan bermotor (BBNKB), pajak kendaraan bermotor (PKB), serta pajak progresif pada kepemilikan mobil kedua dan seterusnya. Menurut Taufik, pembebasan BBNKB, PKB, dan pajak progresif akan membuat harga mobil baru lebih terjangkau. Kebijakan tersebut juga meningkatkan daya saing mobil produksi dalam negeri.
“Membangkitkan demand menjadi syarat utama, sehingga kelas menengah tidak menaruh uang mereka di bank,” ucapnya. Relaksasi insentif otomotif bakal meningkatkan permintaan. Dengan demikian, utilisasi industri itu akan tumbuh.(jpg)