Sabtu, 20 April 2024

Trah Politikus Berjaya di Pilkada 2020, Termasuk di Kepri

Berita Terkait

batampos.co.id – Pilkada 2020 menjadi panggung bagi dinasti politik dan para pasangan calon (paslon) tunggal. Hal itu terlihat dari banyaknya kerabat pejabat dan paslon tunggal yang unggul dalam penghitungan suara sementara maupun versi hitung cepat (quick count).

Merujuk hasil penghitungan suara sementara di laman sirekap KPU pukul 17.30 WIB kemarin (10/12), keunggulan keluarga pejabat itu tampak di beberapa daerah. Di Solo, misalnya, putra Presiden Joko Widodo (Jokowi), Gibran Rakabuming Raka, menang telak. Lalu, keponakan mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Indrata Nur Bayu Aji, unggul di Pacitan. Ada juga nama Pilar Saga Ichsan yang menang di pilkada Tangerang Selatan dan Ratu Tatu Chasanah di Serang yang mengukuhkan trah Ratu Atut.

Kasus serupa terjadi di pilkada Medan yang hampir pasti dimenangi menantu Presiden Jokowi. Lalu, anak sekretaris kabinet unggul di pilkada Kediri. Keponakan bupati unggul di pilkada Pangkajene, anak bupati unggul di pilkada Sijunjung, dan anak wakil gubernur Sumsel unggul di pilkada Ogan Ilir. Ada juga istri kepala daerah yang unggul sementara di pilkada Kepulauan Riau, Indragiri Hulu, Banyuwangi, Sleman, dan Buru Selatan.

Ansar Ahmad dan Marlin Agustina foto bersama di Tanjungpinang. (istimewa)

Data sementara sirekap KPU juga menempatkan 24 paslon tunggal sebagai calon pemenang pilkada. Kisaran kemenangannya 60 sampai 94 persen atas kotak kosong di wilayah masing-masing. Sedangkan calon tunggal di Pegunungan Arfak belum masuk data sirekap KPU.

Direktur Eksekutif Perkumpulan Pemilu untuk Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyaty mengatakan, kemenangan paslon tunggal dan dinasti politik bukan hal yang mengejutkan. Sebab, sejak awal dua model politik tersebut didesain untuk memudahkan pemenangan. ”Baik calon tunggal maupun dinasti membuat ruang kontestasi tidak setara,” ujarnya kepada Jawa Pos kemarin.

Untuk paslon tunggal, misalnya, elite sudah mendesain agar tidak ada kompetitor. Caranya dengan memborong semua dukungan partai di parlemen. Secara kalkulasi, mengalahkan kotak kosong jauh lebih mudah. Sebab, Undang-Undang (UU) Pilkada tidak memberikan ruang yang setara untuk kotak kosong.

Dalam penyediaan alat peraga kampanye, contohnya, kotak kosong tidak diatur UU. ”Padahal, si kotak kosong sebetulnya peserta juga,” kata perempuan yang akrab disapa Ninis itu. Mengharapkan masyarakat sipil memobilisasi dukungan kepada kotak kosong juga terkendala materi dan tenaga.

Memang, pada 2018 kotak kosong pernah menang di pilkada Makassar. Namun, kondisi saat itu memiliki dimensi politik yang berbeda. Saat itu kotak kosong unggul karena dimobilisasi wali kota petahana yang pencalonannya gagal karena masalah administrasi.

Sedangkan untuk dinasti politik, Ninis menyebutkan, paslon relatif memiliki akses infrastruktur yang dominan daripada paslon lain. Umumnya, rekanan dari paslon yang menjabat pejabat rawan menggunakan kekuasaan untuk pemenangan. ”Memang ada potensi abuse of power,” ungkapnya.

Meski secara regulasi keikutsertaan calon tunggal dan dinasti politik diperbolehkan, Ninis menilai praktik tersebut tidak sehat untuk demokrasi Indonesia ke depan. Dalam politik dinasti, misalnya, kader yang memiliki kemampuan memimpin akan kalah bersaing.

Direktur Eksekutif Nagara Institute Akbar Faisal menjelaskan, berjayanya dinasti politik menunjukkan tanda yang kurang baik. Terlepas dari citra positif para calon, keberhasilan dinasti politik menunjukkan bahwa agenda politik jajaran elite untuk memonopoli kekuasaan berhasil. ”Hasil pilkada kali ini, dalam konstruksi besar, tidak membawa kita ke mana-mana. Kita tetap berada di tempat,” ulasnya kemarin.

Akbar mengatakan, calon yang terpilih dari jalur politik dinasti rawan ditunggangi kepentingan untuk menjaga pimpinan terdahulu. Akibatnya, persoalan lama sulit dituntaskan karena semua berusaha mengamankan posisi.

Terpilihnya paslon dari jalur politik dinasti sudah diprediksi lembaga survei Indo Barometer. Direktur Eksekutif Indo Barometer Muhammad Qodari menerangkan, penerimaan masyarakat pada dinasti politik bersifat kontekstual. Artinya, tak bisa disamaratakan bahwa dinasti politik akan meneruskan karakter kepemimpinan pendahulunya yang mendapat rapor merah.

Misalnya yang terjadi pada Bobby Nasution. Menurut Qodari, menantu Jokowi itu malah diharapkan bisa membawa perubahan, terlepas dari embel-embel menantu presiden. ”Kalau kita lihat, justru tiga wali kota Medan sebelumnya bermasalah. Justru Bobby sebagai menantu Jokowi diharapkan bisa membawa perubahan,” ungkapnya.

Dari situ, lanjut Qodari, bisa dilihat, pemahaman masyarakat atas politik dinasti tak melulu buruk. Qodari menyinggung kembali hasil survei yang sudah dibeberkan sebelum pilkada lalu. Bahwa ada berbagai faktor yang membuat masyarakat memilih pasangan calon meskipun termasuk dalam dinasti politik. Misalnya, siapa pun boleh mencalonkan diri, seperti hasil survei untuk pilwali Solo. Masyarakat menilai Gibran punya hak politik untuk mencalonkan diri dan dipilih.

Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto enggan berbicara terkait politik dinasti yang selalu dikaitkan dengan para calon kepala daerah yang diusung partainya. Menurut Hasto, kemenangan Gibran dan Bobby membuktikan bahwa nurani rakyat bisa melihat dengan jernih. ”Gibran dan Bobby adalah sosok anak muda yang kredibel dan bisa membawa perubahan ke arah lebih baik,” ucapnya.

Hasto menilai kemenangan Gibran dan Bobby juga merupakan bukti bahwa rakyat berdaulat dalam melihat sosok calon pemimpin daerah. Keduanya menunjukkan semangat serta komitmen yang serius dan teguh walaupun banyak upaya untuk menghambat mereka berdua. Misalnya lewat kampanye negatif terkait politik dinasti.(jpg)

Update