Rabu, 24 April 2024

Liku-Liku Pekerja Migran Indonesia di Taiwan Menjadi Sarjana

Berita Terkait

Pintar-pintar membagi waktu dan tenaga kunci keberhasilan para pekerja migran Indonesia (PMI) di Taiwan menjadi sarjana. Tapi, minat kuliah di kalangan PMI di sana masih rendah.

ENDANG Rahayu berangkat ke Taiwan dengan bekal ijazah SMP. Dan, kini dia balik ke Banyuwangi, Jawa Timur, sebagai sarjana.

Buah perjuangan yang dia raih lewat bekerja di dua rumah di negeri orang.

Serta menyempatkan waktu sehabis salat Subuh untuk belajar dan mengerjakan tugas.

”Pagi sampai siang jam 13.00 saya bekerja merawat lansia (lanjut usia). Sesudahnya saya bekerja di rumah anak lansia yang saya rawat,” kata Endang yang sejak Desember 2019 berada di kampung halamannya di Banyuwangi.

Endang berangkat ke Taiwan pada 2007. Perempuan kelahiran Banyuwangi, 25 Mei 1981, itu ikut majikan yang memiliki orang tua berusia hampir 100 tahun. ”Si embah yang saya rawat meninggal di usia 97 tahun,” kata Endang yang menyelesaikan pendidikan setara SMA di Taiwan.

Endang Rahayu bersama rekan-rekannya sesama pekerja migran Indonesia sedang kuliah tatap muka di Taiwan. (DOKUMENTASI PRIBADI)

Setelah itu, dia bekerja mengasuh besan majikannya yang usianya juga hampir seabad. Sampai akhirnya lansia yang dia rawat tersebut meninggal di usia 92 tahun.

Dia bekerja merawat lansia mulai memandikan, memberi obat, sampai memasak dan menyuapi. Selain itu, menyedot cairan lendir melalui slang yang dimasukkan dari tenggorokan si lansia yang dilubangi.

Pekerjaan merawat lansia itu selesai sekitar pukul 13.00. Kemudian dia beralih bekerja ke rumah anak lansia tadi.

”Beda rumah. Tetapi, tidak jauh,” ujarnya.

Rutinitas itu dia lakukan setiap hari. Selama sepekan dia mendapatkan jatah libur setiap Minggu.

Di tengah kesibukannya bekerja di dua rumah itulah, Endang memutuskan untuk kuliah jarak jauh di Universitas Terbuka (UT) Taiwan pada 2014.

Waktu itu biaya kuliah yang harus dia keluarkan sebesar NTD 6.500 per semester. Kalau dikurskan saat itu sekitar Rp 3 juta.

Dia bersyukur karena majikannya memberikan izin untuk kuliah. Sebab, ada juga majikan yang sangat ketat. ”Bahkan, ngobrol sesama pekerja dari Indonesia saja tidak boleh,” tuturnya.

Setiap hari selepas salat Subuh, dia belajar, mengerjakan tugas, atau membaca modul kuliah. Setelah itu, dia bekerja seharian sampai sore. Dilanjut bekerja sampai sekitar pukul 20.00 waktu setempat.

”Malam pukul 21.00 atau 22.00 kuliah online,” jelasnya.

Kuliah online malam itu rata-rata berlangsung tiga kali dalam sepekan. Dengan durasi sekitar dua sampai tiga jam. Setelah itu, dia langsung beristirahat. ”Saya tidak kuat belajar lama-lama karena mudah capek.”

Dia bersyukur akhirnya lulus dengan IPK 3,22 poin dari jurusan manajemen.

Saat ini Endang ingin membuka usaha dahulu di Banyuwangi. Suatu saat dia ingin kembali ke Taiwan, tetapi bukan sebagai tenaga kerja. Melainkan ingin mengambil beasiswa kuliah bahasa Mandarin.

Endang mengakui, di Taiwan saat ini masih sedikit PMI yang kuliah. Alasannya, rata-rata banyak yang tidak memiliki kesempatan karena bekerja di majikan atau keluarga yang sangat ketat.

Namun, dia secara rutin ikut menyosialisasikan pentingnya kuliah kepada para PMI. Bahkan, bagi yang masih berijazah SMP, sudah terbuka kesempatan untuk mengambil ijazah kejar paket C di sana.

Prosesi upacara penyerahan ijazah mahasiswa UT Taiwan kemarin diikuti 21 orang. Sebanyak 13 orang mengikuti upacara di Kantor Dagang dan Ekonomi Indonesia (KDEI) Taiwan. Sisanya, delapan orang, mengikuti upacara secara virtual karena sudah berada di Indonesia, termasuk Endang.

Dalam prosesi tersebut, Cinta Adi Saputra dikukuhkan sebagai mahasiswa peraih IPK tertinggi. Pria kelahiran Subang, Jawa Barat, 17 Agustus 1978, itu lulus dari prodi manajemen dengan IPK 3,61 poin.

Saat dihubungi Jawa Pos, Adi mengatakan bersyukur dengan raihan IPK tersebut. ”Mulai SD sampai SMA (ranking rapor, Red) tiga besar terus,” katanya.

Adi bekerja di Taiwan sejak 2012. Pria yang bekerja di pabrik bahan baku plastik di kawasan Kaohsiung itu mendaftar sebagai mahasiswa UT Taiwan pada 2016.

Sama seperti Endang, Adi mengakui masih banyak PMI di Taiwan yang jumlahnya sekitar 80 ribu yang belum tertarik kuliah. Mereka berada di sana untuk fokus mencari uang.

Dalam beberapa kegiatan sosialisasi yang dia lakukan, banyak pekerja Indonesia di sana yang mengaku tidak lagi punya semangat untuk belajar.

Adi sendiri tidak ingin selamanya bekerja di Taiwan. Rencananya, dia kembali pulang ke tanah air pada April 2021. ”Saya ingin mengaplikasikan ilmu ini di tanah air,” jelasnya.

Kepala Pusat Pengelolaan Mahasiswa Luar Negeri UT Dewi Artati Padmo Putri mengatakan, jumlah mahasiswa UT di luar negeri sekitar 2.500 orang. Mereka tersebar di 45 negara. ”Di Taiwan ada dua lokasi. Ada 176 mahasiswa UT di Taiwan,” katanya.

Dibandingkan dengan jumlah PMI di Taiwan, jumlah PMI yang terdaftar sebagai mahasiswa UT itu masih sangat kecil. Dia berharap para wisudawan bisa mengajak PMI lainnya untuk kuliah.

Dia mengakui tidak mudah untuk bekerja sambil kuliah. Namun, dia menegaskan pendidikan itu adalah investasi yang tidak akan merugi.

Kepala Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Benny Rhamdani ikut hadir pada upacara wisuda itu secara online dari tanah air. Menurut dia, PMI yang menyempatkan kuliah membutuhkan keberanian tinggi.

Benny juga menyampaikan pesan yang selalu diucapkan Presiden Joko Widodo. ”Bahwa setiap PMI layak diberi hormat oleh negara. Dan, mendapatkan perlindungan dari ujung rambut sampai ujung kaki,” katanya.(jpg)

Update