Kamis, 25 April 2024

Ini 6 Jurus Kontroversi Jokowi, Dari Iuran BPJS Hingga Ciptaker

Berita Terkait

batampos.co.id – Sepanjang 2020 ini setidaknya Presiden Joko Widodo (Jokowi) membuat enam kebijakan kontroversi. Hal ini menjadi perhatian luas karena banyak kalangan yang mengeluhkan kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat.

Berikut ini ulasan singkat enam kontroversi yang dilakukan oleh Presiden Jokowi seperti dilansir JawaPos.com:

1. Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan

Kenaikan iuran BPJS Kesehatan ini diatur di dalam Perpres Nomor 64 Tahun 2020 tentang Jaminan Kesehatan. Aturan tersebut diteken oleh Presiden Jokowi pada 5 Mei lalu, setelah pandemi Covid-19 berlangsung selama dua bulan. Adapun kenaikan tarif mulai berlaku pada 1 Juli 2020.

Iuran peserta mandiri kelas I naik dari Rp 80.000 menjadi Rp 150.000. Iuran peserta mandiri kelas II juga meningkat dua kali lipat dari 51.000 menjadi menjadi Rp 100.000.

Hanya peserta kelas III yang iurannya tidak naik karena disubsidi pemerintah. Kenaikan untuk peserta kelas III baru mulai berlaku pada Januari 2021, dari Rp 25.500 menjadi Rp 35.000.

2. Teken UU Cipta Kerja

Presiden Jokowi juga telah meneken UU Cipta Kerja tersebut. UU tersebut juga telah diberi nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Adapun sebelumnya, DPR bersama dengan pemerintah untuk mengesahkan UU Cipta Kerja pada 5 Oktober 2020. Padahal elemen buruh, akademisi dan juga mahasiswa melakukan penolakan terhadap UU tersebut.

Aksi masa menolak UU Cipta Kerja ini sempat berakhir ricuh. Bahkan ada juga pihak-pihak yang melakukan uji materi atau judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Adapun, UU Cipta Kerja ini disetujui oleh tujuh fraksi setuju, yakni Fraksi PDIP, Partai Gerindra, Partai Golkar, Partai Nasdem, PKB, PAN dan PPP.

Sementara dua fraksi menolak, yakni Fraksi PKS dan Fraksi Partai Demokrat. Bahkan Fraksi Partai Demokrat melakukan aksi walk out dari ruang paripurna sebagai bentuk penolakan pengesahan UU Cipta Kerja.

3. Perppu Covid-19

Presiden Jokowi menerbitkan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 pada 31 Maret 2020. Perppu tersebut mendapat sorotan publik karena dinilai dapat membuka celah korupsi.

Pasal yang dipermasalahkan adalah:
– Pasal 27 Ayat (2), menyebutkan bahwa sejumlah pejabat yang melaksanakan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tak dapat dituntut, baik secara perdata maupun pidana asalkan dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.

– Pasal 27 Ayat (3), mengatakan bahwa segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan ke peradilan tata usaha negara.

Sejumlah pihak pun menggugat Perppu ini ke MK. Namun, pengesahan Perppu tetap berjalan mulus di DPR. Setidaknya pada 12 Mei 2020, DPR melalui rapat paripurna mengesahkan Perppu 1 Tahun 2020 ini menjadi UU Nomor 2 Tahun 2020.

Para pihak yang menggugat Perppu 1/2020 harus mencabut terlebih dahulu gugatannya karena dianggap telah kehilangan objek. Mereka pun mengajukan gugatan kembali terhadap UU 2/2020.

4. Perpanjangan Masa Jabatan Hakim Mahkamah Konstitusi (MK)

UU Nomor 7/2020 tentang Mahkamah Konstitusi sebagai hasil revisi, sempat melahirkan kontroversi. Terutama perpanjangan masa jabatan hakim konstitusi dari 5 menjadi 15 tahun.

UU ini disahkan dalam paripurna DPR 1 September 2020, setelah pemerintah dan dewan menyetujuinya. Pada 28 September Presiden Jokowi meneken UU tersebut, sehingga sehari berikutnya resmi berlaku.

Perpanjangan masa jabatan hakim MK itu, melahirkan banyak protes dan ketidaksetujuan. Mengingat 15 tahun dianggap terlalu panjang, sementara tingkat kepercayaan publik juga masih belum tinggi.

5. Pilkada saat Pandemi

Kebijakan kontroversial selanjutnya Presiden Jokowi adalah tetap menggelar Pilkada serentak di tengah pandemi Covid-19. Komisi II DPR dan pemerintah sepakat Pilkada 2020 tetap digelar pada 9 Desember. Padahal, berbagai elemen masyarakat sudah meminta pilkada untuk ditunda karena bisa menjadi klaster penularan Covid-19.

Misalnya, organiasai masyarakat (ormas) Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Kedua ormas itu menolak pemerintah tetap memaksakan hajatan serentak kepala daerah dilakukan pada Desember 2020 ini.

Kedua ormas itu menilai pandemi Covid-19 belum juga berakhir bahkan setiap harinya terus menunjukan penambahan angka. Sehingga sangat berisiko menyelenggarakan Pilkada serentak. Keselamatan manusia harus menjadi yang paling utama.

6. Tunjuk Budi Gunadi Jadi Menkes

Presiden Jokowi merombak kabinetnya, salah satu yang terkena adalah Terawan Agus Putranto selaku Menteri Kesehatan (Menkes) digantikan Budi Gunadi Sadikin.

Presiden Jokowi juga baru kali pertama menunjuk Menkes yang bukan belatar belakang seorang dokter. Melainkan Budi Gunadi Sadikan adalah seorang bankir.

Bahkan Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mardani Ali Sera memgaku meragukan kinerja Budi Gunadi Sadikin sebagai Menteri Kesehatan yang menggantikan Terawan Agus Putranto.

Keraguan Mardani ini lantaran Budi Gunadi Sadikin bukanlah berlatar belakang seorang dokter. Melainkan seorang pengusaha dan juga berlatar belakang bankir.

“Saya memang agak khawatir, karena Budi Gunadi ini kan bisnisman, sebelumnya di Bank Mandiri, wakil menteri BUMN. Pola pikir ekonominya malah bisa men-distrack (mengganggu) tujuan utama bahwa kesehatan itu punya sistem kesehatan nasional, ekosistem kesehatan nasional,” ujar Mardani.

Anggota Komisi II DPR ini mengatakan, memang Budi Gunadi memiliki pendamping Dante Saksono Harbuwono sebagai Wakil Menteri Kesehatan. Namun ia nilai Kementerian Kesehatan tetap tidak akan maksimal dipimpin bukan berlatar belakang dokter.

“Harusnya ini dibalik, menterinya senior di bidang kesehatan, wakilnya boleh junior yang punya kapasitas ekonomi atau punya kemampuan manajerial,” katanya.(jpg)

Update