batampos.co.id – PT Garuda Indonesia Tbk memutuskan untuk menyelesaikan kontrak sewa pesawat Bombardier CRJ 1000 lebih awal pada pihak lessor. Pengoperasian pesawat jenis itu dinilai menimbulkan kerugian finansial bagi maskapai pelat merah tersebut.
Garuda Indonesia total mengoperasikan 18 armada pesawat Bombardier CRJ 1000. Sebanyak 12 armada menggunakan skema operating lease dari lessor NAC (Nordic Aviation Capital), sebuah perusahaan lessor pesawat yang berbasis di Denmark. Enam armada lainnya menggunakan skema financial lease dengan penyedia EDC (Export Development Canada) dari Kanada.
Masa sewa 12 armada Bombardier CRJ 1000 milik NAC tersebut adalah 12 tahun. Delivery armada dilakukan dalam periode 2012–2015. Dengan begitu, pesawat terakhir yang diterima Garuda memiliki masa sewa hingga 2027. Di sisi lain, enam armada CRJ 1000 dari EDC memiliki kontrak 10 tahun dengan periode jatuh tempo hingga 2024. Nah, 12 armada Bombardier CRJ 1000 dari lessor NAC rencananya diakhiri lebih awal dari masa sewa yang dijadwalkan.
Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra menegaskan bahwa penghentian kontrak tersebut menjadi salah satu upaya untuk mengurangi kerugian Garuda di masa mendatang.
”Jadi, kami setiap tahun mengeluarkan biaya sewa pesawat USD 27 juta untuk 12 pesawat CRJ 1000. Tapi malah mengalami kerugian lebih dari USD 30 juta (sekitar Rp 420 miliar, Red) setiap tahun,” ungkapnya Rabu (10/2).
Menurut Irfan, kurang sesuainya jenis dan spesifikasi pesawat Bombardier CRJ 1000 dengan pasar Indonesia mengakibatkan kinerja komersial yang tidak optimal. Untuk memperoleh biaya sewa yang terbaik dan relevan dengan kondisi perusahaan dan pasar, negosiasi telah dilakukan dengan pihak lessor sejak awal 2020.
Dari hasil negosiasi, kata Irfan, terdapat beberapa kewajiban yang perlu dipenuhi Garuda Indonesia untuk melakukan early termination. Termasuk di dalamnya melakukan pembayaran early termination fee dan pemenuhan kondisi redelivery pesawat secara teknis.
”Penawaran early payment oleh Garuda Indonesia tidak disetujui pihak lessor. Hal itu menjadi landasan Garuda Indonesia memutuskan secara sepihak kontrak sewa pesawat 12 armada Bombardier CRJ 1000,” jelas dia. Garuda memutuskan untuk stop operasi armada CRJ 1000 pada 1 Februari 2021.
Sementara itu, untuk enam armada Bombardier CRJ 1000 yang saat ini dioperasikan dengan skema financial lease dari EDC, Garuda juga telah mengupayakan langkah negosiasi. Yakni dengan mekanisme early payment settlement sesuai kemampuan perusahaan. Garuda sedang menunggu jawaban dari EDC atas penawaran untuk melakukan cash settlement sebesar USD 5 juta dari total kewajiban sebesar USD 46 juta.
Sementara itu, Menteri BUMN Erick Thohir menyatakan, dengan kondisi pandemi, efisiensi menjadi kunci. Karena itu, penyelesaian kontrak sewa pesawat Bombardier CRJ 1000 tersebut menjadi bentuk efisiensi bagi perusahaan.
”Dari data-data dapat disimpulkan, Garuda Indonesia menjadi salah satu perusahaan penerbangan yang leasing cost-nya paling tinggi di dunia, yaitu 27 persen. Karena itu, saya dengan tegas mendukung manajemen Garuda untuk mengembalikan 12 pesawat Bombardier CRJ 1000 dan mengakhiri kontrak dengan NAC yang memang jatuh temponya pada 2027,” jelasnya.
Di samping alasan finansial, Erick menyinggung bahwa pemutusan kontrak dilakukan dengan mempertimbangkan tata kelola perusahaan yang baik, transparan, akuntabel, dan profesional.
”Kita juga melihat keputusan KPK dan Serious Fraud Office (SFO) Inggris terhadap indikasi pidana suap dari pihak pabrikan kepada oknum pimpinan Garuda saat proses pengadaan pesawat CRJ 1000 tahun 2011 lalu. Jadi, poin-poin inilah yang juga menjadi landasan,” katanya. (jpg)