Rabu, 22 Januari 2025

BP Ajukan HPL 1.700 Hektar Lahan di Galang

Berita Terkait

batampos.co.id – Badan Pengusahaan (BP) Batam angkat bicara terkait belum dikelolanya Rempang dan Galang (Relang), padahal menurut Badan Pertanahan Nasional (BPN), sesuai PP Nomor 5/2011 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB) sudah beres semua, sehingga sejatinya sudah dikembangkan BP Batam sejak 2011 sebagai kawasan investasi baru.

Deputi III BP Batam Anggota Bidang Pengusahaan, Sudirman Saad, mengatakan, sesungguhnya Rempang dan Galang masih terkendala, karena statusnya masih sebagai Hutan Produksi yang dapat Dikonversi (HPK).

HPK merupakan kawasan hutan negara yang secara ruang dicadangkan untuk digunakan bagi pengembangan transmigrasi, permukiman, pertanian, dan perkebunan.

Sebagai gambaran, Pulau Tonton, Pulau Setokok, Pulau Nipah, Pulau Rempang, Pulau Galang, dan Pulau Galang Baru, menjadi wilayah kerja BP Batam, berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46/2007 tentang KPBPB Batam. PP tersebut kemudian direvisi menjadi PP Nomor 5/2011.

”PP Nomor 5/2011 hanya mengatur mengenai penambahan Pulau Janda Berhias sebagai wilayah kerja BP Batam. Tidak ada yang lain,” tegas Sudirman, Selasa (23/2/2021), seperti yang diberitakan Harian Batam Pos.

Untuk Pulau Galang, saat ini, BP Batam tengah mengurus Hak Pengelolaan Lahan (HPL). Luas lahan yang mau di-HPL-kan mencapai 1.700 hektare.

”Area 1.700 hektare tersebut merupakan area penggunaan lain (APL). APL bukan lagi hutan, makanya kami lagi urus ke Kementerian ATR/BPN di Jakarta,” sebutnya.

Sementara di Rempang, luas seluruhnya 17 ribu hektare. Lalu lahan yang berstatus HPK sebanyak 7.500 hektare.

”Ada juga luasan yang sama masuk taman buru dan hutan lindung. Ada juga sekolah, kantor camat, dan rumah penduduk asli yang kebanyakan nelayan. Itu status di Rempang,” ungkapnya.

Ilustrasi

Mantan Dirjen Kelautan, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) ini juga mengungkapkan, di Rempang, juga terdapat sejumlah destinasi wisata, yang konon kabarnya memiliki izin usaha pengembangan sarana wisata alam (IUPSWA) yang diterbitkan Gubernur Kepri,
atas persetujuan desain tapak dari Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Namun, ia tidak mengetahui di zaman gubernur yang mana, IUPSWA diterbitkan dan berapa banyak jumlahnya.

IUPSWA adalah izin usaha yang diberikan untuk penyediaan fasilitas sarana serta pelayanannya yang diperlukan dalam kegiatan pariwisata alam.

Misalnya sarana wisata tirta, sarana akomodasi, sarana transportasi, sarana wisata petualangan, dan sarana olahraga minat khusus.

IUPSWA diberikan dengan jangka waktu 55 tahun dan dapat diajukan badan usaha milik negara (BUMN), banda usaha milik daerah (BUMD), badan usaha milik swasta (BUMS), dan koperasi. Dasar perizinan ini yakni PP Nomor 36/2010 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam.

”Terhadap hal itu, BP Batam sudah surati gubernur pas zaman Plt Pak Bahtiar agar proses penerbitan IUPSWA disetop dulu, karena Relang itu wilayah kerja BP Batam dan tahun ini BP Batam akan ekspansi juga ke sana,” paparnya.

”Bagi yang sudah terlanjur mengurus, tolong dicabut dulu. Selain itu, surat tersebut juga ditembuskan ke KLHK,” imbuhnya.

BP Batam juga sudah menyurati Menteri Koordinator Bidang Perekonomian.

”Dalam surat Kepala BP ke Menko, kami lapor bahwa BP sudah
merencanakan pengembangan Relang, tapi masih ada beberapa langkah yang perlu diselesaikan,” tuturnya.

Adapun langkah-langkah tersebut, yakni law enforcement di Relang.

”Pertama, perlu ada penegakan hukum terhadap mereka-mereka, baik itu perorangan atau badan hukum yang kuasai lahan secara ilegal, terutama di HPK Galang seluas 7 ribu hektare. Lahannya harus dibersihkan agar bisa dikembangkan,” tuturnya.

Lalu, BP Batam juga sudah meminta kepada KLHK agar HPK di Galang bisa diturunkan statusnya menjadi APL.

Dengan status sebagai APL, maka BP Batam bisa mengurus HPL-nya di Kementerian ATR/BPN.

”Kemudian, BP berharap fasilitasi dari Ketua Dewan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB) Batam, agar secara paralel, proses HPL-nya bisa diterbitkan,” ungkapnya.

”Setelah HPK turun jadi APL, begitu terbit, maka segera diproses HPL-nya. Tidak boleh ada jeda. Jika lahan HPK seluas 7.500 hektare bisa diturunkan jadi APL. Maka seluas itu juga bisa diterbitkan HPL-nya secara serentak. Tidak lagi seperti di Batam
yang parsial,” jelasnya.

Di era Kepala BP Batam dijabat Muhammad Rudi, sudah ada perjanjian antara BP Batam dan Pemko Batam mengenai perencanaan pengembangan Relang.

”HPL atas nama BP Batam. Tapi, perencanaannya dilakukan bersama berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 87/2011 tentang Kawasan Strategis Nasional (KSN) Batam Bintan
Karimun (BBK), Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Batam, Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Pemko Batam dan Pemprov Kepri,” jelasnya.

Lalu, bagaimana dengan nasib warga yang telah menetap di Relang? Persoalan sosial ini menjadi ranah hukum Tim Penegakan Hukum (Gakum) yang terdiri dari Pemprov Kepri, BP Batam, Polda Kepri, dan Pemko Batam.

Sudirman menyebut banyak pertimbangan khusus terkait penduduk di Relang.

Hampir semua penduduk Relang bertempat tinggal di APL, tepatnya di sepanjang pinggir jalan raya yang menghubungkan Batam hingga Galang Baru.

”Soal tanah jalan, fasilitas umum diserahkan ke Pemko dengan nol UWTO, dalam jangka waktu sepanjang digunakan. BPN nanti akan kasih hak pakai,” ungkapnya.

”Mengenai masyarakat, ada pertimbangan penguasaan lahan berdasarkan adat asal-usul, tetap diberi kesempatan karena sudah turun temurun. Kalau orang pendatang dan perusahaan yang beli di bawah tangan itu melanggar undang-undang,” tuturnya.

Tapi, kemungkinan kecil tim gakum akan memberikan pertimbangan kepada investor yang sudah terlanjur berbisnis di sana, dengan dua syarat yakni memiliki nilai investasi besar.

”Dan bidang usahanya harus sesuai dengan RDTR dan RTRW yang berlaku. Kalau tidak sama, ya tidak bisa,” tegasnya.

Sebelumnya, Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) menyebut Rempang-Galang tidak lagi berstatus quo sejak 2011 silam.

Status quo itu otomatis hilang dengan terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 5/2011 tentang perubahan atas PP Nomor 46/2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB) Batam.

”Iya, sebenarnya dalam PP Nomor 5/2011 sudah clear semuanya. Sudah ditegaskan wilayah kerja BP Batam di Rempang dan Galang. Jadi, tidak lagi berstatus quo,” tegas Memby Pratama, Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Batam, saat berkunjung
ke redaksi Batam Pos, pekan lalu.

Dengan tidak berstatus quo lagi, lanjut Memby, sejatinya, Badan Pengusahaan (BP) Batam sudah tidak lagi memiliki hambatan administratif dalam mengelola kawasan Rempang dan Galang untuk kepentingan investasi.

”Hak Pengelolaan Lahan (HPL)-kan sudah jelas atas nama BP
Batam,” ujarnya, lagi.(jpg)

Update