Sabtu, 30 November 2024

Vaksin Nusantara Dibuat secara Manual, BPOM Sebut Tak Steril

Berita Terkait

batampos.co.id – Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) memberikan catatan pada Vaksin Nusantara gagasan mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto. Karena itu Vaksin Nusantara dianggap belum memenuhi kaidah ilmiah.

Catatan BPOM, ada beberapa hal yang belum dipenuhi dalam pembuatan Vaksik Nusantara. Salah satunya adalah aspek pemenuhan Good Manufacturing Practice (GMP). Dari sisi ini, Vaksin Nusantara dinilai dibuat dalam kondisi tak steril.

“Produk vaksin dendritik tidak dibuat dalam kondisi yang steril. Dikatakan pembuatan vaksin secara close system, tetapi pada kenyataannya setelah diminta menjelaskan proses pembuatannya semua dilakukan secara manual dan open system,” kata Kepala BPOM Penny K Lukito kepada wartawan, Rabu (14/4).

Sel dendritik diambil dari darah manusia. Menurut BPOM jika proses pengolahan dilakukan secara close system, seharusnya mulai darah dikeluarkan dari tubuh manusia sampai dimasukkan kembali tidak pernah ada proses pembukaan tabung darah dan pengambilan darah keluar dari tabung.

“iProduk antigen SARS CoV-2 yang digunakan sebagai bahan utama pembuatan vaksin dendritik ini bukan merupakan Pharmaceutical grade, dan dinyatakan oleh produsen (Lake Pharma-USA) bahwa tidak dijamin sterilitasnya. Antigen tersebut penggunaannya hanya untuk riset di laboratorium bukan untuk diberikan kepada manusia,” tegas Penny.

Kepala BPOM Penny K. Lukito. (Dery Ridwansah/ JawaPos.com )

BPOM menyebutkan hasil produk pengolahan sel dendritik yang menjadi vaksin tidak dilakukan pengujian sterilitas dengan benar sebelum diberikan kepada manusia. Hal tersebut berpotensi memasukkan produk yang tidak steril dan menyebabkan risiko infeksi bakteri pada penerima vaksin.

“Terhadap pemenuhan GMP, telah dilakukan inspeksi sebelumnya oleh BPOM sebelum pelaksanaan uji klinik (bulan Desember 2020), tetapi tidak pernah ditindaklanjuti dengan perbaikan,” paparnya.

Lalu produk akhir dari vaksin dendritik tidak dilakukan pengujian kualitas sel dendritik. Menurut BPOM penelilti hanya menghitung jumlah selnya saja, tetapi hal tersebut juga tidak konsisten karena ada 9 dari 28 sediaan yang tidak diukur, dan dari 19 yang diukur terdapat 3 sediaan yang di luar standar tetapi tetap dimasukkan.

Hasil Tak Akurat

Lalu ada pula aspek pemenuhan Good Laboratory Practice (GLP) yang menjadi catatan. Metode pengujian Vaksin Nusantara dinilai tidak dilakukan validasi dan standardisasi sebelum pelaksanaan penelitian. Peneliti menyerahkan hasil dengan 2 macam pengujian dengan menggunakan alat yang berbeda dan hasil yang berbeda, hal tersebut tidak diperbolehkan karena akan timbul subjektivitas peneliti dengan memilih hasil yang dianggap lebih baik memberikan nilai.

Terkait perbedaan hasil tersebut, saat diklarifikasi kepada tim peneliti, setiap orang memberikan pendapat yang berbeda-beda, di mana peneliti dari AIVITA menyatakan hasil pengujiannya yang benar, dan peneliti dari Litbangkes menyatakan hasil pengujiannya yang benar. Berdasarkan hal tersebut, BPOM menyatakan bahwa hasil tidak dapat diterima validitasnya.

“Beberapa alat ukur tidak terkaliberasi dan metode pengujian tidak tervalidasi dengan baik, sehingga akurasi hasil pengujian tidak dapat diterima,” tegas BPOM.

Lalu persetujuan Lolos Kaji Etik penelitian Vaksin Nusantara juga tidak dilakukan oleh Komite Etik (KE) tempat dilakukan penelitian. Tidak ada notifikasi dan penyerahan protokol kepada KE di RSUP Dr. Kariadi terkait penelitian ini, sehingga tidak ada kajian dari KE setempat.

“Dalam wawancara dengan ketua Komite Etik RSUP Dr. Kariadi, disampaikan bahwa Ketua KE melakukan monitoring dengan melihat saat proses pengambilan informed consent, tetapi tidak melakukan kajian dan pengawasan terhadap keamanan subjek selama penelitian,” jelas Penny.

Dan terdapat data-data keamanan yang diganti oleh peneliti dengan menghilangkan data yang lama, sehingga tidak dapat ditelusur keaslian data dan tidak dapat diketahui penyebab perubahan data tersebut. Terdapat inkonsistensi pencatatan data pada dokumen sumber, worksheet, dan case report form terhadap Kejadian Tidak Diinginkan (KTD) yang dialami oleh subjek.  “Sehingga tidak dapat diketahui mana data yang benar,” tegasnya. (*/jpg)

Update