Jumat, 8 November 2024

Hina Palestina di Medsos, Pelajar Dikeluarkan dari Sekolah

Berita Terkait

batampos.co.id – MS, 19, pelajar kelas II SMA di Kabupaten Bengkulu Tengah, Provinsi Bengkulu, dikeluarkan dari sekolahnya. Dia melakukan tindakan ujaran kebencian menghina Palestina di media sosial yang sempat viral.

”Keputusan ini diambil setelah pihak sekolah mengevaluasi tata tertib sekolah dan pelanggaran MS. Hasilnya yang bersangkutan sudah melampaui ketentuan,” kata Kepala Cabang Dinas Pendidikan Wilayah VIII Kabupaten Bengkulu Tengah Adang Parlindungan seperti dilansir dari Antara di Bengkulu, Rabu (19/5).

Keputusan itu merupakan jalan keluar yang sudah disepakati bersama antara pihak sekolah, orang tua MS, dan sejumlah pihak terkait yang dimediasi kepolisian dan sejumlah tokoh masyarakat.

Dia menambahkan, berdasar hasil rapat internal Cabdin Pendidikan Wilayah VIII Kabupaten Benteng dengan pihak sekolah, pelajar tersebut dikembalikan ke orang tuanya untuk dibina. MS sudah membuat permintaan maaf yang disampaikan secara terbuka dan disebarluaskan lewat media sosial miliknya.

Dari keputusan rapat yang dihadiri Kapolres dan Wakapolres Benteng, Kasatintel Polres Benteng, Kasatreskrim Polres Benteng, Kepala Cabdin Pendidikan Wilayah VIII Benteng, kepala sekolah, ketua komite, FKUB, Badan Kesbangpol Benteng, Kemenag Benteng, dan Komisi I DPRD Benteng, tersebut disepakati kasus MS dinyatakan selesai.

Sebelumnya MS membuat rekaman ujaran kebencian terhadap Palestina yang saat ini sedang berkonflik dengan Israel. Dalam unggahan berdurasi 8 detik yang sudah dihapus TikTok itu, MS menyuarakan hujatan terhadap Palestina.

Dalam rapat bersama para pihak itu MS juga telah menyampaikan permintaan maaf dan menyatakan tindakannya itu adalah spontan sebagai bentuk keisengan dengan tujuan mengikuti tren bermedia sosial. Dia tidak menyangka akan berbuntut panjang.

”Saya minta maaf atas perbuatan saya, baik kepada warga Palestina maupun seluruh warga Indonesia. Saya hanya iseng dan bercanda saja bukan maksud berbuat apa-apa. Saya juga tidak menyangka bisa seramai ini,” ujar MS.

Tindakan sekolah yang mengeluarkan MS mendapat sorotan dari aktivis perlindungan perempuan dan anak. Direktur Pusat Pendidikan Perempuan dan Anak (PUPA) Susi Handayani mengatakan, mengeluarkan MS dari sekolah adalah bentuk penghukuman yang seharusnya tidak lagi diberikan kepada anak sesuai dengan UU Nomor 35 tahun 2014 perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

”Pertama kita semua mengakui apa yang dilakukan anak itu salah tapi yang diberikan seharusnya sanksi yang berdampak baik bagi anak, bukan hukuman. Karena semangat UU Perlindungan Anak tidak ada lagi hukuman bagi anak,” terang Susi.

Dia menambahkan, kebijakan mengeluarkan anak dari sekolah adalah pola penghukuman. Seharusnya pola ini tidak diterapkan lagi dalam sistem pendidikan yang memerdekakan. Selain itu, dalam mediasi dengan berbagai pihak yang digelar beberapa hari lalu, MS seharusnya juga memiliki pendamping bukan hanya orang tua.

”Saat anak dihadirkan dalam proses mediasi seharusnya didampingi karena dia dihadirkan sebagai orang yang bersalah tentu ada tekanan psikologis. Semua hal dia terima karena posisinya lemah,” ujar Susi.(jpg)

Update