batampos.co.id – Pemerintah menyatakan, Rancangan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP) berpihak kepada masyarakat kecil. Di sisi lain, pemerintah mengharapkan penerimaan tinggi dari tarif pajak masyarakat atas. Meski, kepatuhan kelompok tersebut menjadi tantangan.
”Salah satu tujuan perubahan lapisan tarif PPh (pajak penghasilan) orang pribadi adalah melindungi masyarakat menengah ke bawah. Lapisan terbawah yang sebelumnya hanya mencapai Rp 50 juta sekarang dinaikkan menjadi Rp 60 juta. Tarifnya tetap 5 persen,” jelas Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Neilmaldrin Noor kepada Jawa Pos kemarin (2/10).
Keberpihakan kebijakan itu, lanjut dia, terlihat dari pelebaran bracket menjadi lima lapisan. Sebelumnya, tarif tertinggi untuk orang pribadi adalah 30 persen. Melalui RUU HPP, tarif tertinggi ditetapkan 35 persen untuk penghasilan kena pajak (PKP) di atas Rp 5 miliar per tahun.
Artinya, yang berpenghasilan kecil dilindungi dan yang berpenghasilan tinggi dapat berkontribusi lebih tinggi. Dengan kenaikan kontribusi dari masyarakat yang berpenghasilan tinggi, penerimaan negara diharapkan meningkat.
”Ini sesuai dengan prinsip ability to pay atau membayar pajak didasarkan pada kemampuan seseorang alias gotong royong,” kata Neilmaldrin.
Sementara itu, Direktur dan Founder Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara menilai, perubahan batas PKP tarif 5 persen dari Rp 50 juta menjadi Rp 60 juta cukup adil. Artinya, kelas menengah bisa kena pajak lebih rendah. Dengan demikian, langkah itu berdampak positif untuk mendorong pemulihan ekonomi.
Asumsinya, kata dia, selisih 10 persen pajak yang sebelumnya disetorkan ke negara oleh masyarakat berpenghasilan Rp 60 juta per tahun, dari kelompok tarif 15 persen menjadi 5 persen, sekarang bisa dibelanjakan untuk kebutuhan lain. ”Seperti makanan minuman, kendaraan bermotor, hingga mencicil rumah,” paparnya.
Bhima menyatakan, penerimaan negara sebenarnya cukup besar kalau golongan PPh 35 persen bisa patuh membayar pajak. Tantangannya, kepatuhan wajib pajak orang pribadi nonkaryawan relatif lebih rendah daripada wajib pajak karyawan. Jadi, meski tarif pajaknya dinaikkan, celah penghindaran pajaknya masih ada.
Karena itu, lulusan University of Bradford tersebut mendorong reformasi administrasi dan penegakan hukum perpajakan jika ingin hasilnya optimal. Sebab, high net worth individual atau orang superkaya ini relatif canggih dalam melakukan transaksi antarnegara. ”Bisa saja penghasilan di atas Rp 5 miliar per tahun dialihkan ke negara lain tanpa pelaporan pajak yang jelas,” ujar Bhima.
Menurut dia, rasio pajak akan sangat bergantung pada sisi kepatuhan. Bhima memproyeksikan tax ratio berkisar 8,5–8,7 persen pada 2022. ”Akan naik, tapi bertahap karena pemerintah masih berikan berbagai insentif pajak bagi perusahaan,” katanya. (jpg)