Jumat, 19 April 2024

Tes PCR Jadi Syarat Penerbangan, Pelaku Wisata Gigit Jari

Berita Terkait

batampos.co.id – Tes PCR atau polymerase chain reaction menjadi syarat bagi calon konsumen yang hendak melakukan penerbangan. Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (Sekjen PHRI) Maulana Yusran mengaku kecewa atas kebijakan tersebut. Padahal, saat ini sektor usaha sudah mengalami dampak yang cukup dalam.

”Kita paham situasi pandemi ini perlu diantisipasi, tapi juga harus sadar tes itu mahal, masih menjadi barang eksklusif,” jelas Maulana Yusran kepada JawaPos.com, Minggu (24/10).

Apalagi fasilitas kesehatan tersebut pun tidak semua daerah memiliki kemudahan untuk mengaksesnya. Oleh karena itu, menurut dia, kebijakan itu dirasa akan memberatkan semua pihak terlibat.

”Setiap daerah itu pun pelaksanaan tes PCR tidak merata, tidak sama dengan di Jakarta yang bisa didapatkan di mana saja,” tutur Maulana Yusran.

Dia menjelaskan, jika PCR menjadi kewajiban, harga testing itu harusnya murah. Bahkan kalau bisa dibebaskan sebagai beban masyarakat. Jika tidak, fokus pemerintah memulihkan ekonomi tidak akan tercapai.

”Jika tidak dilakukan, bagaimana kita mau berperilaku ekonomi lagi dan bagaimana nasib kita menjalankan keberlangsungan menghindari dari dampak sosial tersebut,” papar Maulana Yusran.

”Semua kan punya keterbatasan, di daerah kesulitan itu sudah terlalu dalam dan besar, kami berharap ada satu kebijakan yang benar-benar pro kepada pendampingan antara masalah covid dan ekonomi. Ini kita menjadi rentan semua,” tandas dia.

Sementara itu, Pengamat Kebijakan Publik Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah mengatakan bahwa Indonesia akan kalah saing dengan negara lain dalam menarik para wisatawan. Hal ini disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang mewajibkan calon penumpang pesawat tujuan atau dari bandara Jawa-Bali memiliki hasil RT-PCR yang sampelnya diambil 2×24 jam sebelum keberangkatan.

“Apalagi para wisatawan dari luar, mereka harus PCR dua kali, maka para wisatawan itu banyak yang lari ke thailand, karena di sana tidak memberlakukan itu. Jadi kebijakan itu tidak tepat sekarang,” jelas Rahadiansyah, Minggu (24/10).

Padahal kuartal keempat merupakan peak season daripada industri pariwisata, namun dengan kebijakan ini, ia memprediksikan akan jadi perjuangan terakhir sektor tersebut untuk tetap bertahan.

“Iya akan kalah bersaing dengan negara lain, soalnya ya sekarang ini aja sekarang banyak wisatawan Bali yang mendadak membatalkan,” tutur dia.

Untuk itu, sebaiknya pemerintah melakukan evaluasi apa saja dampak yang akan memperngaruhi pergerakan ekonomi dalam negeri, khususnya wisata. Dibandingkan PCR, lebih baik pemerintah menerapkan syarat vaksin dan tes antigen saja.

“Menurut saya ini harus dievaluasi, kalau dalam negeri antigen saja sudah cukup. Kebijakannya kalau mau perjalanan ya pakai antigen aja, tidak usah PCR lagi,” tutup Trubus.(jpg)

Update