batampos.co.id – Deputi IV Bidang Pengusahaan (BP) Batam, Syahril Japarin, ditetapkan tersangka dan langsung ditahan penyidik Kejaksaan Agung (Kejagung)
RI, Rabu (27/10/2021).
Japarin ditahan terkait kasus korupsi pengelolaan keuangan dan usaha di Perum Perindo, saat ia menjabat sebagai Direktur Utama periode
2016-2017.
Selain Japarin, Kejagung juga menahan Dirut PT
Global Prima Santosa Riyanto Utomo di kasus yang sama. Keduanya yang mengenakan rompi tahanan Kejagung hanya tertunduk saat digiring ke tahanan.
”Keduanya ditetapkan sebagai tersangka dan langsung
ditahan di dua lokasi terpisah,” ujar Kepala Pusat Penerangan Hukum pada Kejagung, Leonard Eben Ezer Simanjuntak, di Kejagung, tadi malam.
Syahril Japarin, lanjut Leonard, ditahan di Rutan Salemba cabang Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan. Sedangkan Riyanto Utomo ditahan di Rutan Salemba cabang Kejagung.
”Kedua tersangka langsung kami tahan selama 20 hari
ke depan, mulai 27 Oktober sampai 15 No-
vember 2021,” kata LeonardLeonard menjelaskan, terkait kasus tersebut, penyidik Kejagung sudah menetapkan lima orang tersangka.
Semuanya langsung ditahan. Sebelumnya, Kejagung menahan mantan Vice President Perdagangan, Penangkapan, dan Pengelolaan pada Perum Perindo, Wenny Prihatini.
Menyusul Direktur PT Prima Pangan Madani, Nabil M Basyuni. Terakhir, Direktur PT Kemilau Bintang Timur, Lalam Sarlam.
”Kasus ini masih terus kami kembangkan. Kami tidak
akan berhenti sampai di sini saja,” jelasnya.
Lalu seperti apa peran Japarin di kasus ini? Informasi yang diperoleh, Japarin menerbitkan Surat Utang Jangka Menengah (Medium Term Notes/
MTN) dan mendapatkan dana sebesar Rp 200 miliar.
Surat Utang Jangka Menengah itu terdiri atas Sertifikat Jumbo Surat Utang Jangka Menengah Perum Perikanan Indonesia Tahun 2017-Seri A dan Sertifikat Jumbo MTN Perum Perikanan Indonesia Tahun 2017-Seri B.
Surat Utang Jangka Menengah itu salah satu cara
mendapatkan dana dengan cara menjual prospek.
Namun, penggunaan dana Surat Utang Jangka Menengah itu Seri A dan seri B tidak sesuai dengan peruntukan sebagaimana prospek penerbitan.
Surat Utang Jangka Menengah seri A dan seri B sebagaimana tujuannya sebagian besar digunakan bisnis perdagangan ikan yang dikelola Divisi Penangkapan, Perdagangan, dan Pengolahan Ikan atau
Strategy Business Unit (SBU) Fish Trade and Processing
(FTP), dengan menggunakan metode bisnis perdagangan ikan putus.
Kemudian, tersangka Riyanto Utomo merupakan
salah satu pihak yang mengadakan kerja sama perdagangan ikan dengan menggunakan transaksi-transaksi fiktif yang dilakukan Perum Perindo, yaitu tanpa perjanjian kerja sama, tidak ada berita acara serah-terima barang, tidak ada laporan jual-beli ikan, dan tidak ada dari pihak Perindo yang ditempatkan
dalam penyerahan ikan dari supplier kepada mitra bisnis Perum Perindo.
Pada perjalanannya, kata Leonard, tepatnya pada Desember 2017, Direktur Utama Perindo berganti dari Japarin ke RS yang sebelumnya menjabat Direktur Operasional Perum Perindo. Kemudian, RS mengadakan rapat dan pertemuan dengan Divisi P3 Ikan alias SBU Fish Trade and Processing (FTP) yang diikuti IP sebagai Advisor Divisi P3 untuk membahas pengembangan
bisnis Perum Perindo menggunakan dana MTN seri A dan seri B, kredit Bank BTN Syariah, dan kredit Bank BNI.
Selanjutnya, beberapa perusahaan dan perseorangan
direkomendasikan IP kepada Perindo untuk dijalankan
kerja sama perdagangan ikan. Sistem atau metode bisnis yang dipakai dalam bisnis perdagangan ikan tersebut tetap sama, metode jual-beli ikan putus.
Persoalannya, dalam penunjukan mitra bisnis perdagangan ikan tersebut di atas, Perindo melalui Divisi P3/SBU FTP tidak ada melakukan analisis usaha, rencana keuangan, dan proyeksi pengembangan usaha.
”Dalam melaksanakan bisnis perdagangan ikan tersebut, beberapa pihak tidak dibuatkan perjanjian kerja sama, tidak ada berita acara serahterima barang, tidak ada laporan jual-beli ikan, dan tidak ada dari pihak Perindo yang ditempatkan dalam penyerahan ikan dari supplier kepada mitra bisnis Perum Perindo,” ujar Leonard.
Penyimpangan dalam metode penunjukan mitra bisnis
perdagangan ikan oleh Perum Perindo ini, menimbulkan
verifikasi syarat pencairan dana bisnis yang tidak benar
dan menimbulkan transaksi-transaksi fiktif yang dilakukan mitra bisnis perdagangan ikan Perum Perindo.
Kemudian, pada perjalanannya, transaksi-transaksi fiktif
tersebut menjadi tunggakan pembayaran mitra bisnis perdagangan ikan kepada Perum Perindo sebesar Rp 149 miliar.
Akibat perbuatannya, para tersangka diancam Pasal 2
atau Pasal 3 ayat (1) jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.(jpg)