batampos – Wacana untuk merevisi UU Nomor 40/1999 tentang Pers kembali mencuat. Salah satu substansinya memastikan keberpihakan negara pada media yang saat ini meng-hadapi tantangan transformasi digital dan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK).
Anggota Dewan Pers Totok Suryanto mengatakan UU Pers memang beberapa kali dicoba untuk direvisi. Namun, hingga sekarang, upaya itu belum bisa dilakukan lantaran dikhawatirkan akan mengurangi bobot kemerdekaan pers yang diatur dalam UU tersebut.
”Kita memang harus ekstra hati-hati, tapi saya bukan anti nggak boleh (UU Pers) direvisi,” ujarnya dalam diskusi virtual, Rabu, (30/10).
Totok menegaskan, pihaknya tetap memikirkan sisi ekonomi media di tengah tantangan yang kompleks saat ini. Namun, dia meyakini masih ada ruang-ruang lain yang bisa digunakan untuk menjaga komersialisasi media.
Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Digital Prabunindya R. Revolusi mengatakan negara bisa hadir untuk menunjukkan keberpihakannya terhadap keberadaan media. Perpres Nomor 32/2024 tentang Publisher Rights merupakan salah satu wujud keberpihakan tersebut.
Namun, Perpres yang sudah berlaku itu belum bisa dijalankan karena belum ada petunjuk teknisnya (juknis). Pihaknya telah mendorong Komite Publisher Right segera menyusun juknis tersebut agar ada titik terang kerja sama antara platform digital dan media. ”Kita perlu dorong komite tersebut,” ujarnya.
Prabu mengakui adanya gagasan mendorong penge-luaran iklan kementerian/lembaga sebagai sumber pendapatan industri media. Dia pun menegaskan prakarsa itu perlu didorong ekosistem media.
”Prakarsanya sedang dilakukan,” tuturnya. Dia menyebut, upaya itu merupakan salah satu bentuk keberpihakan negara terhadap industri media.
Sementara itu, Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Nany Afrida menolak keras wacana revisi UU Pers. Pihaknya tidak ingin hasil revisi nanti justru menjadi lebih buruk mengingat komposisi anggota DPR saat ini. ”AJI menolak revisi UU Pers,” ujarnya. (*)