batampos – Penamaan Flyover Laksamana Ladi terus menjadi perbincangan hangat di tengah masyarakat Batam. Perdebatan muncul terkait siapa sebenarnya sosok Laksamana Ladi, yang namanya kini diabadikan sebagai salah satu infrastruktur ikonik di Batam.
Sejumlah pakar sejarah dan budayawan menyatakan bahwa nama Ladi lebih tepat merujuk pada suku Melayu tua yang pernah mendiami kawasan ini, bukan sebagai gelar seorang laksamana.
Guru Besar Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH) Tanjungpinang, Profesor Abdul Malik, mengungkapkan bahwa Ladi adalah sub-suku dari komunitas Suku Laut yang telah ada sejak masa Kesultanan Melaka. Suku ini dikenal hidup nomaden di perairan Kepulauan Riau.
“Ladi merupakan salah satu suku Melayu tua, seperti Suku Anak Dalam atau Sakai di Sumatra. Mereka tinggal di perairan dan sangat berperan dalam menjaga wilayah ini,” ujarnya, Kamis (2/1).
Baca Juga: Hari Pertama Masuk Kerja, Disdukcapil Batam Dipadati Warga
Abdul Malik juga menuturkan bahwa jejak nama Ladi tidak hanya ditemukan di Batam, tetapi juga di beberapa wilayah lain di Kepulauan Riau, seperti Sei Ladi di Senggarang, Tanjungpinang.
Ia menambahkan bahwa selama Perang Riau (1782–1787), Suku Ladi dikenal sebagai prajurit pemberani yang tergabung dalam pasukan pertikaman di bawah pimpinan Raja Haji Fisabilillah dan Sultan Mahmud Riayat Syah.
“Mereka disebut pasukan cadangan terlatih yang sangat setia kepada Sultan. Nama Ladi dalam bahasa Melayu juga bermakna pengiring, mengacu pada peran mereka sebagai pengawal kerajaan,” katanya.
Namun, Abdul Malik menegaskan bahwa tidak ada catatan resmi yang menunjukkan bahwa anggota Suku Ladi pernah dilantik menjadi laksamana.
Suku Ladi memiliki kontribusi besar dalam perang melawan penjajah, termasuk Portugis, Inggris, dan Belanda. Pasukan kerajaan Riau-Lingga, yang melibatkan berbagai suku Melayu tua, termasuk Suku Ladi, diklaim memiliki hingga 42.000 prajurit pada masa kejayaannya. Setelah masa perang, banyak anggota suku ini beralih profesi menjadi nelayan dan ahli dalam pembuatan perahu serta pelayaran antarpulau.
“Wilayah yang mereka diami sering kali diberikan status tanah adat sebagai bentuk penghargaan dari Sultan atas jasa mereka dalam perang,” ungkap Abdul Malik.
Baca Juga: Kisah Kebocoran Pipa di Simpang Telaga Punggur
Akademisi, mendorong peninjauan ulang terhadap penamaan Flyover Laksamana Ladi. Menurut Abdul Malik, gelar Laksamana dalam budaya Melayu memiliki makna yang sangat khusus dan tidak bisa diberikan sembarangan.
“Tentu harus ada penelitian lebih lanjut, terutama untuk mengklarifikasi apakah ada tradisi lisan yang menyebutkan keberadaan Laksamana Ladi. Namun, sejauh ini, data sejarah lebih mendukung bahwa Ladi adalah nama suku Melayu tua,” tegasnya.
Abdul Malik juga berharap pemerintah dan masyarakat lebih menghargai warisan budaya lokal. “Nama Ladi bukan sekadar nama, tetapi simbol kesetiaan, keberanian, dan kontribusi besar dalam membangun wilayah ini. Kita harus menjaga sejarah ini agar tidak hilang dan tetap diingat oleh generasi mendatang,” tutupnya.
Sementara itu, sejarawan lokal seperti Samson Rambah Pasir memiliki pandangan berbeda. Ia menyebutkan bahwa Suku Ladi lebih dikenal sebagai pelayan istana dibanding prajurit atau laksamana.
Baca Juga: APBD Batam Capai Rp 4 Triliun
“Mereka tidak memiliki tradisi berperang. Ladi itu nama suku asli yang mendiami kawasan tersebut, seperti Kampung Ladi di Pulau Penyengat,” ujar Samson.
Menurut Samson, tradisi berperang lebih banyak dikaitkan dengan suku lain seperti Orang Galang atau Gelam, yang dikenal sebagai pembuat kapal perang.
“Ladi lebih identik dengan peran mereka sebagai pelayan istana dan pengiring Sultan,” tambahnya. (*)
Reporter: Rengga Yuliandra
Artikel Pakar: Ladi Bukan Laksamana, Melainkan Suku Melayu Tua pertama kali tampil pada Metropolis.