batampos.co.id – Terik mentari yang cukup menyengat, tak menyurutkan niat H Jamhuri melangkahkan kakinya ke Masjid Baitutthaharah, Jumat (6/1) siang. Lantaran jarak antara rumahnya dan masjid kurang dari 1 kilometer, penceramah ini memilih berjalan kaki menuju tempat ibadah di Jalan Soekarno Hatta, Kelurahan Simpang Tiga, Loa Janan Ilir, Kota Samarinda, Kalimantan Timur itu.
Mengenakan baju gamis cokelat panjang, serban putih yang diselempangkan di bahu dan kopiah putih sederhana, pria bertubuh ceking ini melangkah pasti melaksanakan kewajibannya Salat Jumat berjamaah.
Gang 17 menjadi jalan utama baginya menuju masjid dua lantai itu. Sembari menuju masjid, pria berusia 71 tahun ini pun sempat menyapa beberapa warga yang ditemuinya di sepanjang jalan dengan senyum ramahnya. Bahkan sejumlah warga menyebut, Jamhuri sempat berbincang bersama jamaah lain saat menuju ke masjid.
Waktu menunjukkan pukul 11.30 Wita. Seperti biasa, Jamhuri menghabiskan waktunya untuk berzikir di saf paling depan, sembari menanti azan Salat Jumat berkumandang yang jatuh pada pukul 12.18 Wita. Dia terlihat tenang, menanti rangkaian salat wajib itu dilaksanakan sembari memetik sulaman biji tasbih di tangan kanannya.
Tak berselang lama, azan pertama pun berkumandang. Jamhuri menghentikan zikirnya untuk mendengarkan setiap lantunan panggilan salat dari muazin yang berdiri tak jauh dari tempat duduknya. Hal yang sama juga dilakukan para jamaah lain.
Azan kedua pun rampung dikumandangkan. Ustaz Abdul Kadir naik ke mimbar untuk menyampaikan ceramah. Dalam ceramahnya, beliau menyampaikan makna di balik tahun baru, hingga mengingatkan kepada jamaah untuk melaksanakan lima perkara sebelum lima perkara.
“Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallah ‘alaihi wa sallam pernah menasehati seseorang, Manfaatkanlah lima perkara sebelum lima perkara, yakni waktu mudamu sebelum datang waktu tuamu, waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu, masa kayamu sebelum datang masa kefakiranmu, masa luangmu sebelum datang masa sibukmu, hidupmu sebelum datang matimu,” ceramah Abdul Kadir dari atas mimbar. Selain itu, Kadir juga menyampaikan keutamaan seseorang untuk menjadi figur yang lebih baik dari waktu ke waktu.
Ceramah pertama pun usai, dan langsung dilanjutkan ceramah singkat kedua Kadir. Tak sampai 10 menit, muazin yang duduk di saf paling depan pun kembali berdiri untuk mengumandangkan iqamah atau seruan melaksanakan salat.
Berdasarkan jadwal, imam Salat Jumat siang itu diisi H Pardiansyah, yang juga pengurus masjid Masjid Baitutthaharah. Namun kesempatan itu diberikan kepada Jamhuri, karena dia menganggap orang yang duduk di sebelahnya jauh lebih pantas memimpin ibadah tersebut.
“Pak Haji Pardi – sapaan Pardiansyah— mempersilakan beliau (Jamhuri, Red) untuk menjadi imam. Waktu itu, saya bersebelahan dengan Haji Pardi yang juga berada di depan mimbar,” kata Agus, salah seorang jemaah.
Dengan tenang, Jamhuri pun berdiri dari duduknya untuk memimpin salat. Mikrofon kecil bergagang jepit, yang diletakkan di stand mic diselipkannya di antara kancing baju gamis bagian atasnya. Tujuannya agar ayat yang dibacakan saat salat bisa terdengar seluruh jamaah melalui sepiker masjid.
“Rapikan dan rapatkan safnya. Karena itu bagian dari kesempurnaan salat…!” kata Jamhari mengingatkan jamaah.
“Allahuakbar…!” takbiratul ikhram pun dilafazkan Jamhuri. Seketika itu pula, sekitar 250 jamaah Salat Jumat itu serentak mengangkat tangan mereka dan kemudian bersedekap. Hal itu langsung dilanjutkan Jamhuri dengan membaca Surat Alfatihah.
“Kemudian beliau membaca surat yang cukup panjang yang bagian depannya ‘sabbihis ma rabbikal a’laa,” jelas Agus.
Surat Al A’la menjadi surat yang dibacakan Jamhuri di rakaat pertama. Suaranya mulai serak kala itu. Namun ia berusaha menuntaskan membaca surat berisi 19 ayat tersebut.
“Waktu rukuk pun baik-baik saja. Saya tahu karena posisi saya tepat di belakang sebelah kanannya,” ujar Agus menjelaskan.
Setelah i’tidal, atau berdiri usai rukuk, Jumhari kembali mengucapkan takbir untuk mengajak seluruh jamaah sujud di rakaat awal. Dengan pelan dan sangat lembut, ia menempelkan dahinya ke ujung sajadah. Suara masjid pun seketika itu pula hening. Situasi itu sempat terjadi 90 detik atau sekitar satu setengah menit.
“Saya sempat heran, kenapa beliau tidak bangkit dari sujud. Akhirnya saya bangun, dan saya dapati beliau sudah tidak bergerak,” jelasnya menggambarkan situasi kala itu.
Agus pun menjawil Pardiansyah yang ada di sebelahnya. Hal itu dilakukannya, karena posisi pengurus masjid itu tepat di belakang Jamhuri. Merasa ada yang janggal dan meyakini sang imam tak lagi mampu memimpin salat itu, Pardiansyah mengambil alih peranan imam.
“Kemudian Pardiansyah mengucapkan takbir dan maju satu langkah untuk memimpin salat,” kata pria berusia 48 tahun tersebut.
Selama Pardiansyah membacakan Surat Alfatihah, Agus terus memerhatikan posisi Jamhuri. Menurutnya, kala itu posisi almarhum masih sujud sempurna. Ketika imam pengganti membacakan Surat Alikhlas, Jamhari terdengar menahan sakit. Napas terakhirnya berhembus tertangkap mikrofon, sehingga terdengar jelas oleh para jamaah.
“Setelah itu, baru beliau terlungkup ke depan. Posisinya sudah tidak sujud lagi,” urainya.
Tak ingin terjadi hal-hal yang tidak diinginkan terhadap Jamhuri, Pardiansyah pun berusaha menyelesaikan salat itu dengan cepat. Usai membaca takhiyat akhir dan salam, ia langsung memeriksa kondisi Jamhuri yang sudah tersungkur di sebelahnya. Sebagian jamaah yang melihat kondisi tersebut langsung menghubungi tim medis dari puskesmas setempat. Akhir Salat Jumat itu sempat dramatis. Raut wajah beberapa jamaah terlihat murung hingga sedih melihat jasad Jamhari tergolek tak berdaya di mihrab.
Jasad Jamhuri ditelentangkan. Beberapa dari jamaah ada yang memegang pergelangan tangannya, hingga leher di bawah dagu untuk memeriksa denyut nadi pria kelahiran 17 Agustus 1946 itu. Setelah dinyatakan sudah wafat, beberapa para jamaah berkumpul dan langsung membacakan doa uuntuk almarhum.
“Sebelum dokter datang, ada beberapa jamaah yang sempat memeriksa kondisinya. Melihat dari beberapa denyut nadi, memang kala itu beliau sudah dinyatakan tidak ada (wafat, Red),” ulasnya.
Jamaah pun membawa jasad Jamhari ke kediamannya di RT 17, Gang 17, Kelurahan Simpang Tiga, Loa Janan Ilir. Almarhum disemayamkan di rumah panggung sederhana, berukuran sekitar 5×8 meter. Sejumlah warga pun langsung berbondong-bondong ke rumah tersebut untuk melayat. Rencananya, Jamhari akan dimakamkan hari ini di kuburan muslim setempat.
Tak ada yang menyangka bahwa tugas menjadi imam Salat Jumat di Masjid Baitutthaharah menjadi pengabdian terakhir bagi pria empat anak tersebut menjadi khalifah di muka bumi. Jangankan tetangga, saudara hingga keluarga, Jamhari sekalipun mungkin tidak tahu bahwa Malaikan Izrail tiba-tiba menjemputnya siang itu dalam posisi sujud memimpin ratusan melaksanakan ibadah. (BAGIUS ARYA SUSANTO, Samarinda/nha)