batampos.co.id –Â PT Freeport Indonesia bisa mengekspor konsentrat selama enam bulan ke depan.
Pemerintah mengisyaratkan bakal memberikan izin usaha pertambangan khusus (IUPK) sementara kepada PT Freeport Indonesia (PTFI). Menko Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan mengungkapkan hal itu.
Luhut menjelaskan, IUPK izin ekspor sementara diberikan kepada PTFI di sela waktu menunggu proses perubahan status dari kontrak karya menjadi IUPK.
“Cuma sementara. Sebab, kalau membuat yang asli (IUPK, Red) kan butuh waktu,” ujarnya di kantornya kemarin (1/2).
Dia melanjutkan, jika IUPK sementara tidak diterbitkan, perusahaan tambang tidak bisa mendapatkan izin ekspor konsentrat. Namun, Luhut menegaskan, tidak ada kepentingan di balik pemberian IUPK sementara itu.
Perusahaan tambang yang ingin mengubah status kontraknya menjadi IUPK dari KK tetap harus memenuhi persyaratan. Misalnya, komitmen membangun smelter hingga divestasi 51 persen.
“Mereka harus comply dengan ketentuan yang kami minta seperti divestasi,” imbuhnya.
Pemberian IUPK sementara tersebut, lanjut Luhut, juga tidak melanggar aturan karena dianggap sebagai solusi terbaik bagi PTFI dan pemerintah.
“Kami cari solusinya. Memang ini barang (UU No 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Red) dari awal sudah enggak jelas kan. Artinya, sudah ada masalah. Kami cari tenggat melihat ini,” tuturnya.
Izin ekspor konsentrat Freeport dan perusahaan tambang kontrak karya (KK) yang lain berakhir 11 Januari lalu. Pemegang KK bisa melakukan ekspor konsentrat apabila mengubah status dari KK menjadi IUPK. Dengan status IUPK, kedudukan dengan pemerintah tidak lagi setara. Pemegang IUPK wajib tunduk terhadap peraturan yang berlaku berikut perubahannya.
Sebelumnya, Vice Chairman Indonesian Mining Institute Hendra Sinadia menuturkan, beleid yang dikeluarkan membuat ketidakpastian iklim usaha mineral serta menimbulkan risiko yang besar.
“Pemegang KK ‘dipaksa’ mengubah dari KK menjadi IUPK, lalu ada bea keluar,” ujarnya.
Persyaratan divestasi yang harus 51 persen, menurut Hendra, juga dianggap memberatkan.
“Yang awalnya bisa 30 atau 40 persen, kini harus 51 persen. Inkonsistensi ini menunjukkan ketidakpastian di sektor pertambangan makin besar,” tambahnya.
Jika hal itu tetap diberlakukan, Hendra khawatir iklim usaha minerba makin lesu. Yang susah existingpasti akan menghitung ulang investasi jangka panjangnya. Perusahaan existing tersebut termasuk yang sedang berencana membangun smelter.
“Bagi investor baru, yang kemungkinan akan masuk, mereka akan berpikir keras. Jadi atau tidak,” katanya. (dee/c25/sof)