Tim dokter Rumah Sakit Anak dan Bunda Harapan Kita sukses menggelar operasi pemisahan bayi kembar dempet kepala, Rafky dan Rifky. Kisah sukses serupa juga pernah terjadi pada bayi kembar asal Kepri pada 30 tahun silam.
Operasi pemisahan kembar siam jenis Craniopagus (dempet di kepala) Rafky Setia Sumita dan Rifky Setia Sumita di Rumah Sakit Anak dan Bunda (RSAB) Harapan Kita berjalan lancar. Operasi pemisahan yang berjalan 28 jam itu harus dilaksanakan dalam dua sesi.
Anak pasangan Bari Sumita dan Yuni Setiawati, warga Bekasi, itu lahir pada 23 Oktober 2016. Yuni menuturkan dia baru mengetahui janin yang dikandung dalam keadaan kembar pada usia kehamilan tiga bulan. ’’Baru tahu kalau kembar siam saat lahiran,’’ katanya di komplek RSAB Harapan Kita kemarin (9/1).
Yuni menceritakan si kembar Rafky dan Rifky dilahirkan di RS Kartika Husada, Bekasi. Pada hari yang sama, Rafky dan Rifky dirujuk ke RSAB Harapan Kita dengan menggunakan jaminan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Enam bulan pertama bayi kembar ini sempat mendapatkan ASI. Dia menyampaikan terima kasih kepada tim dokter yang menangani putranya dan layanan BPJS Kesehatan.
Direktur Medik dan Keperawatan RSAB Harapan Kita Didi Danukusumo menjelaskan kembar siam Rafky-Rifky menjalani perawatan secara intensif selama tiga bulan. Dia mengatakan tim dokter harus memastikan kondisi bayi benar-benar stabil, baru dilakukan operasi.
Didi menjelaskan operasi pertama berdurasi 10 jam dilaksanakan pada 2 Februari lalu.
’’Sekitar 17 dokter dari berbagai disiplin ilmu tergabung dalam satu tim menangani Rafky-Rifky,’’ jelasnya. Dokter yang terlibat diantaranya empat oarng spesialis bedah syaraf, tujuh dokter spesialis anestesi, enam orang dokter bedah plastik, serta 15 orang perawat.
Operasi dilanjutkan kembali pada 4 Februari dan memakan waktu selama 18 jam. Pada operasi kedua inilah kembar siam Rafky-Rifky berhasil dipisahkan.
’’Pada operasi pertama fokus pada pembedahan,’’ jelasnya.
Didi menjelaskan operasi kedua ini memakan waktu lama karena selain pemisahan, juga dilakukan rekonstruksi kulit kepala bayi.
Koordinator tim dokter bedah syaraf dr Syamsul Ashari SpBS menjelaskan kondisi kembar siam ini dempet pada tulang kepala bagian atas atau ubun-ubun. Selain itu otak keduanya juga menempel, tetapi berhasil dipisahkan pada bagian selaputnya.
’’Jadi otaknya menempel, tetapi bukan satu kesatuan. Berhasil kita pisahkan,’’ katanya.
Tantangan paling besar yang dialami dalam pemisahan Rafky-Rifky adalah sistem pembuluh darah Sinus sagitalis yang saling terkait. Jadi darah di tubuh Rafky mengalir juga ke tubuh Rifky dan sebaliknya. Lagi-lagi dibekali sejumlah peralatan medis yang canggih, tim dokter berhasil memisahkan pembuluh darah keduanya. Sehingga Rafky-Rifky benar-bernar bisa dipisahkan.
Untuk sementara tulang kepala kedua bayi itu belum ditutup. Operasi pemisahan ini menghasilkan lubang dengan diameter 7 cm sampai 7 cm di bagian kepala. Namun lapisan kulit kepalanya sudah berhasil ditutup dengan baik menggunakan kulit bagian paha dan betis. Di antara skenario lanjutannya adalah menutup kepala keduanya dengan tulang buatan. Lama-kelamaan tulang kepalanya akan tumbuh sendiri.
Sampai sekarang belum ada kepastian kapan Rafky-Rifky bisa pulang ke rumah. Keduanya masih menjalani perawatan intensif di ICU. Setelah stabil, keduanya akan masuk kamar perawatan anak seperti pasien bayi lainnya.
Keberhasilan operasi pemisahan Rafky-Rifky ini mengulang sukses operasi pemisahan Yuliana-Yuliani, bayi kembar dempet kepala asal Tanjungpinang, Kepri, 30 tahun silam.
Yuliana dan Yuliani menjalani operasi pemisahan kepala pada 21 Oktober 1987. Ketika itu, Yuliana dan Yuliani berusia 2 bulan 21 hari.
Si kembar siam ini melakukan operasi pemisahan kepala di RSCM Jakarta. Dengan melibatkan banyak dokter, akhirnya Yuliana dan Yuliani selamat dalam operasi tersebut.
Adalah Padmosantjojo, ahli bedah saraf RSCM yang berperan banyak pada operasi pemisahan si kembar Yuliana-Yuliani. Dengan ketelitiannya, pria kelahiran Kediri, 26 Februari 1937, itu memisahkan selaput otak (duramater) yang berlekatan dengan pisau bedah biasa dan mata telanjang. Operasi pada 21 Oktober 1987 itu jadi tonggak sejarah bidang kedokteran di Indonesia, khususnya bedah saraf.
Bagi Padmosantjojo, operasi Yuliana-Yuliani menjadi karya adiluhung (masterpiece) dalam kariernya sebagai dokter.
“Aku tak ingin karyaku rusak, mati karena mencret misalnya. Maka harus aku openi (rawat),” ujarnya, kala itu.
Kini, Yuliana-Yuliani tumbuh menjadi wanita yang sehat dan pintar. Yuliana saat ini sedang penelitian untuk gelar Doktor IPB, sementara Yuliani menjadi dokter. (wan/jpgrup)